Persoalan pertama yang kita hadapi adalah adanya tegangan antara dimensi humanistis pendidikan dan tuntutan praktis kepentingan pasar (baca, kepentingan tenaga profesional dalam dunia industri dan teknologi). Ada tegangan antarpendidikan manusia vs pelatihan untuk ekonomi pasar. Ada ketimpangan atau ketidakterkaitan antara keluaran (output) suatu lembaga pendidikan dengan tuntutan yang ada dalam dunia kerja. Dunia kerja membutuhkan masukan (input) berupa orang-orang yang memiliki kemampuan profesional teknis agar mereka tetap dapat menjaga keberlangsungan roda produksinya di tengah persaingan bebas.
Dunia industri, perusahaan jasa, dll, akan macet jika tidak disertai kehadiran tenaga-tenaga profesional yang menyokong eksistensi mereka. Dari mana mereka memperoleh tenaga-tenaga profesional ini? Tenaga-tenaga profesional ini hanya dapat dipenuhi dari lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Karena itu secara struktural dunia industri dan jasa mesti memiliki hubungan erat dengan lembaga pendidikan jika ingin tetap hidup. Dunia industri memperoleh sumber-sumber personalia yang handal dan terampil dari lembaga pendidikan. Karena itu, hubungan antara dunia industri dan dunia pendidikan adalah mutlak.
Sebaliknya, meskipun lembaga pendidikan merupakan satu-satunya tempat di mana perusahaan memperoleh sumber tenaga profesional yang dapat diandalkan, tidak berarti bahwa tujuan pendidikan secara mutlak adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Dalam kerangka ini, hubungan antara dunia pendidikan dengan dunia industri menjadi relatif karena pendidikan memiliki tujuan lebih luas daripada sekedar memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan pasar.
Ada dua tujuan yang perlu dipertimbangkan peranannya dalam dunia pendidikan. Yang pertama adalah pendidikan yang memiliki tujuan lebih filosofis (philosophical), mengarahkan dirinya untuk mengkontemplasikan dan menemukan gagasan-gagasan umum. Yang lainnya memiliki tujuan lebih mekanik berupa pengetahuan praktis terapan terhadap dunia di luar dirinya.
Pendidikan yang memiliki tujuan filosofis menganggap bahwa kegiatan belajar itu bernilai di dalam dirinya sendiri karena kondisi alamiah manusia menuntut agar dirinya senantiasa belajar secara terus menerus tentang banyak hal, tentang diri, lingkungan, keterbatasan dan kemungkinan dari keberadaannya. Belajar dan mencari ilmu merupakan salah satu proses aktualisasi diri manusia yang autentik. Bahkan seandainya tidak memiliki kepentingan praktis atas kepemilikian ilmu itu sendiri. Menjadi orang yang berilmu sudah merupakan nilai di dalam dirinya sendiri.
Meminjam kata-kata Henry Newman, "pengetahuan.itu bernilai karena karena ia ada dan hadir dalam diri kita, meskipun ia sama sekali tidak dipergunakan untuk satu kepentinganpun, atau bahkan jika tak diarahkan demi tujuan tertentu.
Keinginan mencari ilmu adalah tanda kesempurnaan keluhuran manusia yang secara alamiah dibekali oleh Sang Pencipta dengan akal budi. "Kita semua terdorong untuk mencari ilmu setinggi langit karena setiap usaha dalam mengejar kesempurnaan merupakan perilaku luhur (exellent), sedangkan kesalahan, kekeliruan, ketidaktahuan, keterkecohan (to be deceived) merupakan cacat dan perendahan martabat (disgrace)."Selain itu, "ada pengetahuan yang diinginkan meski tak ada hasil apapun dari kepemilikan pengetahuan ini, ia menjadi semacam harta karun di dalam dirinya sendiri, cukuplah bila dianggap sebagai upah atas kerja keras bertahun-tahun."
Rupanya pemahaman akan tujuan pendidikan yang integral seperti inilah yang tidak disadari para pengambil keputusan ketika menerapkan program Link and Match dengan memperkenalkan Pendidikan Sistem Ganda (PSG).
Pendidikan Sistem Ganda, sering secara populer disebut dengan model belajar sambil magang kerja, merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja dan terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu.
Tidak ada yang salah dengan Pendidikan Sistem Ganda. Yang salah adalah kedok ideologis dan kerancuan visi pendidikan dibalik program ini. Link and match digembar-gemborkan sebagai sebuah keharusan yang mesti diterapkan di seluruh jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Link and match lantas menjadi jargon populer. Semua orang mengucapkannya. Berbagai macam kerja sama yang terjadi antara sekolah dan dunia usaha lantas segera diberi label Link and Match. Orang tak bisa membedakan antara Link and Match dengan promosi gratis dan publikasi produk dengan sasaran kaum terpelajar. Inilah kekerasan terselubung dunia industri yang dibiarkan begitu saja merangsek dunia pendidikan kita.
Di Madiun misalnya, ketika perusahaan Telkom menggelar acara pawai kebudayaan, konser, pengenalan produk-produk terbaru telkom melalui pameran terbuka yang melibatkan berbagai instansi pendidikan baik di dalam maupun luar negeri, kegiatan inipun lantas dicatut sebagai realisasi Link and Match. Orang semakin rancu melihat apa yang sesungguhnya di link dan apa yang di match.
Program mata pelajaran muatan lokal seperti tercantum dalam PP No. 28 Tahun 1990 yang diterapkan di jenjang pendidikan dasar pun tak luput dari jargon Link and Match ini. Mata pelajaran muatan lokal pun juga dilihat dalam kerangka mempersiapkan ketrampilan kerja siswa pada tingkat dasar begitu ia lulus.
Di daerah Bantul, misalnya di Kasongan, kerajinan tradisional yang terkenal dan secara ekonomis menghidupi banyak warga serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) adalah keramik. Semestinya muatan lokal yang diberikan adalah pengetahuan dan ketrampilan tentang seni keramik. Namun ternyata mata pelajaran muatan lokal yang diberikan adalah ketrampilan mengetik, elektronika dan pendidikan kesejahteraan keluarga (PKK). Karena ketidakcocokan atas pemberian materi muatan lokal ini, sekolah dasar itu lantas segera dikritik sebagai tidak Link and Match dalam program pendidikannya.
Berharap bahwa pendidikan kita ikut serta mempersiapkan para alumninya untuk memasuki dunia kerja merupakan sebuah harapan yang wajar. Sebab, jika pendidikan dipahami sebagai proses pertumbuhan seorang pribadi dalam totalitasnya, termasuk keberadaannya pada masa kini maupun kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa depan dalam hidupnya, kehadiran sebuah lembaga pendidikan yang mempersiapkan para alumninya terjun ke masyarakat dengan membekalinya berbagai macam kemampuan yang dibutuhkan sehingga kemampuan dan bakat-bakat yang dimilikinya bertumbuh, mempersiapkan para alumni dengan ketrampilan dan kecakapan merupakan sebuah sikap bijak yang mesti dikembangkan oleh setiap lembaga pendidikan.
Lembaga pendidikan tinggi yang responsif terhadap kemajuan iptek, memiliki sumbangan yang besar untuk menciptakan kinerja yang semakin baik bagi sebuah sistem sosial. Untuk ini ia harus tetap terus menerus mampu menyediakan orang-orang yang memiliki berbagai macam ketrampilan (skills) yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sebab hanya dengan demikian masyarakat mampu melanggengkan dirinya dan mempertahankan kohesi internalnya.
Karena itu, menciptakan sebuah kebijakan dalam dunia pendidikan agar tetap relevan kehadirannya dalam masyarakat merupakan sebuah tuntutan yang mendesak. Namun, reformasi pendidikan tidak dapat efektif jika sekedar mendasarkan diri pada sikap reaktif, horison pendidikan terbatas serta kesalahan dalam mendiagnosis permasalahan. Dunia pendidikan memiliki fungsi lebih esensial dalam proses humanisasi daripada sekedar sebuah pabrik robot yang siap mencetak tenaga kerja profesional yang dibutuhkan pasar. Menganggap bahwa tujuan pendidikan semata-mata demi memenuhi kebutuhan praktis sesaat, atau bahkan dunia pendidikan mesti 'menghambakan diri pada kepentingan dunia industri' membuat dunia pendidikan kehilangan relevansi dalam mengemban amanat kemanusiaan, meningkatkan harkat hidup, dan membantu manusia memaksimalkan berbagai macam potensi dan talenta yang dimilikinya.
Mengaitkan kriteria kemajuan pendidikan dengan dimensi eksternal dunia material merupakan perwujudan ketidakpahaman dalam memahami keluhuran sebuah karya pendidikan. Intuisi Antonio Gramsci (1891-1937) tentang situasi pendidikan di Italia pada awal abad-19 dimana mulai terjadi konflik kepentingan antara lembaga pendidikan dan dunia industri membenarkan kenyataan ini. "Tidak ada situasi eksternal dan kondisi material yang dapat memuaskan sebuah kinerja pendidikan. Sebab, karya pendidikan adalah sebuah kenyataan etis, sebuah peristiwa intelektual yang menyentuh kemampuan manusiawi pada tingkatan yang lebih tinggi, dan karena itu tidak dapat begitu saja dengan mudah merupakan cerminan mekanistis suatu masyarakat.
Dunia pendidikan bukanlah sekedar cerminan kebutuhan material masyarakat, melainkan juga sebuah kinerja terus menerus, sebuah usaha pembaharuan yang membutuhkan penegasan berkesinambungan sebab yang terlibat di dalamnya adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang mestinya menjadi orientasi pendidikan, bukan kepentingan pasar. Untuk inilah reformasi di bidang pendidikan merupakan kerja keras yang tidak mudah.
"Perjuangan melawan sekolah model kuno memang dibenarkan, namun gerakan pembaharuan atasnya tidaklah semudah seperti yang dibayangkan, sebab pembaharuan tidak berkaitan dengan program yang tersistematis, melainkan berkaitan dengan manusia, bukan manusia yang sejak awal menjadi guru ( maestri ), melainkan seluruh kompleksitas permasalahan sosial di mana manusia merupakan ekspresinya.
Kerancuan dalam visi pendidikan membawa akibat degradasi kemanusiaan. Lembaga pendidikan bukanlah pabrik yang menciptakan orang-orang yang nantinya diletakkan di salah satu fungsi mesin besar industri, seperti sebuah rantai, mur, atau tombol yang membuat seluruh mesin berfungsi. Karena itu, pertama-tama yang perlu dijernihkan adalah pemahaman visi tentang pendidikan dalam relasinya dengan kepentingan pasar. Dunia industri dalam artian tertentu memang mutlak memiliki kaitan dengan dunia pendidikan, namun tidak demikian halnya dengan dunia pendidikan.