Senin, 29 Desember 2008

GLOBAL WARMING “ The Inconvenient truth”

From http://id.shvoong.com/



Pemanasan Global sekarang sedang melanda dunia dan sekarang sangat familier untuk kita, kata inipulalah yang mendorong Al Gore menguak kenyataan menyedihkan tentang bumi lewat film documenter dan bukunya Inconvenient Truth.

Awal Desember 2007 ini. Indonesiapun menyediakan diri menjadi tuan rumah konferensi Internasional perubahan iklim yang diselenggarakan PBB ( United Nations Climate Change Conference ). Pemicu perubahan iklim adalah Pemanasan global yang menaikkan suhu bumi. Penyebab pemanasan ini utamanya adalh meningkatnya emisi karbon akibat penggunaan energi fosil, seperti bahan baker minyak, batu bara dan sejenisnya, yang tidak dapat diperbaharui. Akibat pemanasan global, menurut temuan Intergovermental panel and Climate Change (IPCC), Sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara diseluruh dunia, pada 2005 terjadi peningkatan suhu didunia sebesar 0.6 -0,7 derajat Celcius. Sedangkan asia lebih tinggi, yaitu 10 derajat Celcius .

Selanjutnya adalah ketersediaan air di negeri-negeri tropis yang berkurang 10-30 % dan melelehkan gletser(Gunung es ) di Himalaya dan Kutub Selatan. Yang juga dirasakan oleh selurah dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas dan makin pendeknya musim hujan, serta makin maraknya badai dan banjir dikota-kota besar ( El nino) diseluruh dunia. Suhu udara disetiap wilayah juga meningkat seperti yang terasa dikota-kota yang dulunya dikenal sejuk. Contohnya kota Malang dijawa timur, kawasan puncak Bogor, serta Ruteng di Nusa Tenggara. Selain itu terjadi naiknya permukaan laut, indikatornya adalah naiknya gelombang pasang yang terjadi baru-baru ini diwilayah Jakarta Utara sehingga menyebabkan wilayah tersebut kebanjiran rob (air laut naik ke daratan ).

Ramalan IPCC juga menyebutkan, dalam 30 tahun kedepan, akibat musim hujan yang pendek sementara kemarau semakin panjang akan menyebabkan gagal panen di bidang pertanian akibat kekurangan air. Bukan hanya berdampak pada perubahan cuaca, pemanasan global ternyata memperparah kondisi penyakit endemik seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, dan malaria.

Melihat kenyataan dan ramalan diatas, setiap individu diplanet bumi sudah selayaknya bertanggung jawab agar kerusakan bumi tidak semakin parah. Cara yang paling mudah dapat dibiasakan sejak kecil adalah revolusi gaya hidup. Salah satu bentuknya mengurangi penggunaan energi baik listrik maupun bahan baker yang tak tergantikan, ditambah dengan penghematan sumber dengan penghematan sumber daya air, tentunya.

Daftar Pustaka
GLOBAL WARMING “ The Inconvenient truth” oleh Santi hartono. 2008

Kurangi Efek Global Warming

Kamis, 23 Oktober 2008 , 13:12:00
From http://www.metropontianak.com/

Global warming adalah ancaman yang berbahaya bagi bumi ini. Saya punya sedikit tips yang sederhana untuk mengurangi efek dari global warming.
1. Ganti lampu Anda!
Ganti lampu bohlam Anda menjadi lampu hemat energi (yang cahayanya berwarna putih bukan kuning!)
2. Kontrol AC Anda! Kalau tidak terlalu panas, matikan AC dan gunakan kipas angin sebagai penggantinya. Bila terpaksa menggunakan AC, pastikan ruangan tertutup dengan rapat. Jangan biarkan jendela dan pintu terbuka!
3. Hindari plastik belanja! Karena produksi plastik belanja menghasilkan banyak polusi. Mulailah membawa tas belanja saat akan berbelanja ke pasar atau toko
4. Kontrol kendaraan bermotor! Jangan sampai Anda menggunakan kendaraan bermotor untuk tujuan yang dekat. Pakai sepeda sebagai alternatif
5. Menanam dan merawat pohon! Coba tanam pohon di akhir pekan, atau setidaknya tanam 1 pohon setiap umur Anda bertambah 1 tahun.
6. Tonton film tentang global warming! Film yang paling terkenal adalah "An Inconvenient Truth: A Global WARNING" oleh Al Gore, mantan wapres AS.

Ada juga film "the 11th Hour" oleh Leonardo DiCaprio.Dengan menonton film tersebut, Anda bisa mengenal lebih dekat tentang global warming.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa klik : http://id.wikipedia.org/wiki/Pemanasan_global
http://www.epa.gov/climatechange/

Ibnu Nawila
blink2_noe@yahoo.co.id

Scientists warn Christmas lights harm the planet

SCIENTISTS have warned that Christmas lights are bad for the planet due to huge electricity waste and urged people to get energy efficient festive bulbs.

By Graham Readfearn
December 24, 2008 08:06am
From http://www.news.com.au/

CSIRO researchers said householders should know that each bulb turned on in the name of Christmas will increase emissions of greenhouse gases.

Dr Glenn Platt, who leads research on energy demand, said Australia got 80 per cent of its electricity by burning coal which pumps harmful emissions into the atmosphere.

He said: "Energy efficient bulbs, such as LEDs, and putting your Christmas lights on a timer are two very easy ways to minimise the amount of electricity you use to power your lights."

He said the nation's electricity came from "centralised carbon intensive, coal-based power stations" which were responsible for emitting over one third of Australia's greenhouse gas emissions.

Dr Platt added: "For a zero-emission Christmas light show, you may consider using solar powered lights or sourcing your electricity from verified green power suppliers."

Global warming trends

Government report warns of possible rise in sea level and extended Southwest drought

Mon, Dec 29, 2008 (2:05 a.m.)
From http://www.lasvegassun.com/

A new study led by the U.S. Geological Survey on the possibility of abrupt climate change in this century adds weight to the argument that international solutions to the potential hazards of global warming are urgently needed.

It is noteworthy that the report was commissioned by the U.S. Climate Change Science Program, which coordinates the climate change research of 13 federal agencies.

One key finding in the report released Dec. 16 is that rapid melting of glaciers and ice sheets could lead to rises in sea level that “substantially exceed” the projections made last year by the United Nations Intergovernmental Panel on Climate Change. That is because of inadequacies in climate models scientists use to make their predictions.

“Small changes in sea-level rise have significant societal and economic impacts through coastal erosion, increased susceptibility to storm surges and resultant flooding, groundwater contamination by salt intrusion, loss of coastal wetlands, and other issues,” the report stated.

The researchers also sounded a warning that the Southwestern United States “may be beginning an abrupt period of increased drought.” It is no secret that Southern Nevada has been suffering from a drought over the past several years, with no relief in sight.

But it could get even more acute. The report pointed to evidence of drying in the planet’s subtropical zones because of greenhouse-gas-induced global warming. The researchers predicted that this drying effect will move northward into the Southwestern United States, which would make our drought conditions worse.

The irony is that wet areas of the planet could experience worse flooding and erosion.

We encourage both our federal government and other nations to advance this research by investing the money necessary to develop climate models that will help scientists make more accurate predictions about the probabilities of sea level increases, drought conditions and other perilous environmental changes caused by global warming.

Global Warming 2007, Tahun Terpanas Kedua di Bumi

By ivie • Jan 23rd, 2008 at 10:08 am •
From http://langitselatan.com/

Menurut para ahli klimatologi di NASA, tahun 2007 merupakan tahun kedua terpanas pada abad ini, bersaing dengan tahun 1998. Dan diperkirakan kecil kemungkinan tahun 2008 akan menjadi tahun dengan rata-rata temperatur global yang berbeda. Dengan adanya erupsi vulkanik, kemungkinan yang terjadi rekor temperatur global tahun ini akan melampaui temperatur rata-rata di tahun 2005 dalam beberapa tahun ke depan, saat El Nino berikutnya terjadi sebagai akibat trend pemanasan global yang terus meningkat akibat gas rumah kaca.


Grafik temperatur permukaan global tahunan relatif terhadap temperatur rata-rata tahun 1951-1980. Data udara dan lautan dari stasiun cuaca, kapal, dan satelit. Titik tahun 2007 merupakan anomali di bulan ke 11. Kredit gambar: GISS

Pemanasan terbesar pada tahun 2007 terjadi di Artik dan daerah sekitarnya yang memiliki lintang tinggi. Pemanasan global sendiri memiliki efek yang sangat besar di area kutub dengan menghilangnya salju dan memicu peningkatan air terbuka (lautan) yang menyerap lebih banyak cahaya dan panas matahari. Salju dan es memantulkan cahaya matahari, nah saat mereka menghilang maka menghilang pula kemampuan mereka untuk mengalihkan panas matahari. Anomali paling besar di Artik pada tahun 2007 konsisten dengan rekaman geografi terhadap lautan es Artik di bulan September 2007.


Anomali temperatur thn 2007 relatif terhadap temperatur rata-rata tahun 1951-1980. Area yang panas berwarna merah, yang lebih dingin berwarna biru. Peningkatan terbesar terjadi di belahan utara. Kredit gambar: GISS

Menurut direktur NASA Goddard Institute for Space Studies (GISS), James Hansen, keadaan tahun 2007 yang lebih panas dari tahun 2006 memang sudah diprediksikan sebelumnya. Keadaan ini meneruskan tren efek pemanasan yang semakin kuat selama 30 tahun terakhir dan diperkirakan berasal dari efek peningkatan gas rumah kaca yang dihasilkan manusia.

sumber : NASA

New York Times Fans Global Warming Film Controversy with NASA Memos

Keith Cowing
Sunday, April 25, 2004
From http://www.spaceref.com/



On May 28th the disaster film "The Day After Tomorrow" will premiere. The premise is that global warming will lead to a catastrophic alteration in Earth's climate and the ensuing chaos will threaten human society.

Global warming - its causes and it consequences - is a topic that many people have a deep philosophical attachment to - either embracing it or disputing it - often with a ferocity that matches the events portrayed in this film. That schism seems is at the heart of an article that appeared in this weekend's online and print versions of the New York Times.

In an article titled "NASA Curbs Comments on Ice Age Disaster Movie", the New York Times says

"But the prospect that moviegoers will be alarmed enough to blame the Bush administration for inattention to climate change has stirred alarm at the space agency, scientists there say. "No one from NASA is to do interviews or otherwise comment on anything having to do with" the film, said the April 1 message, which was sent by Goddard's top press officer. "Any news media wanting to discuss science fiction vs. science fact about climate change will need to seek comment from individuals or organizations not associated with NASA." Copies of the message, and the one from NASA headquarters to which it referred, were provided to The New York Times by a senior NASA scientist who said he resented attempts to muzzle climate researchers."

The article goes on to describe NASA's reaction to the release of this memo stating:

"Late last week, however, NASA appeared to relax its stand on discussing the movie. Though she did not disavow the e-mail, Gretchen Cook-Anderson, a spokeswoman at NASA headquarters, said on Thursday that the agency would make scientists available to discuss issues raised by the film."

What is missing from all of this is the context within which these memos were written and the relationship between the space agency and the film's producers.

According to NASA sources the New York Times article wasn't quite accurate. Indeed they got the polarity of the email's intent reversed. There was indeed an email and it was quoted correctly.

However, that email message had to do with NASA employees who had worked on the film (as individuals) proactively seeking interviews by the media in conjunction with the movie. The email had nothing to do with concerns over the editorial content or any attempt to limit response by NASA employees if asked.

The film's directors had apparently worked with NASA's Earth Science people on the script, but, after working with NASA personnel for several years, they failed to eventually sign a Space Act agreement. Signing such an agreement, as was the case with films such as "Mission to Mars" and "Armageddon" is a standing requirement for any project NASA cooperates with. In fact, word has it that NASA is waiting for the film to be released to see if it illegally uses the agency's logo.

Some of NASA's Earth science people were actually anxious to get out there and talk about the movie. NASA is reportedly ready to respond to any and all inquiries but the agency is concerned that it not be seen to promote the film in any way. It would seem that the NY Times did not follow this story to the depth it needed to be followed - and got the story wrong.

We will endeavor to get both the NASA HQ and NASA GSFC memos online - verbatim - in the next day or so.

The 11th Hour

Sumber http://rafflesia.wwf.or.id/



Sebuah film dokumenter menggambarkan tentang dampak aktivitas manusia terhadap ekosistem bumi dan apa yang bisa kita lakukan untuk bumi. Film yang dinarasikan Leonardo Di Caprio ini masuk seleksi Festival Film Cannes. Sebelumnya Leonardo Di Caprio juga menarasaikan dua film lingkungan berjudul Global Warming dan Planet Water. “Pada masa kritis dalam sejarah manusia ini, sudah menjadi tugas generasi kita untuk mengembalikan kerusakan dari peradaban industri”, ujar Leonardo Di Caprio.

Dalam The 11th Hour turut ditampilkan dialog dengan orang-orang terkemuka dari berbagai negara seperti mantan perdana menteri Uni Soviet, Mikhail Gorbachev; peneliti terkemuka, Stephen Hawking; mantan kepala CIA, R., James Woolsey; dan sekitar 50 peneliti terkemuka, pengamat, dan pemimpin dunia yang memaparkan fakta dan berdiskusi tentang isu-isu terpenting dunia yang dihadapi planet kita.

DVD The 11th Hour diproduksi dengan 100% bahan-bahan yang bersertifikat dan dapat digunakan kembali. Sebagian keuntungan akan didonasikan untuk Global Green. ** (Nazla)

Poster buat "menjaga-bumi.blogspot.com"



Punya blog baru memang susah untuk bersaing dengan blog yang udah lama dan punya trafik yang bagus.. Ya, mau ga mau saya berusaha buat gimana cara-nya blog saya terkenal..

Nah salah satu usaha saya adalah dengan mempromosikannya secara offline, alias dikenalin ke teman-teman kos, kampus, dan lain-lain dengan cara membuat poster.. Semoga blog saya bisa dikunjungi banyak orang dan harapannya juga bisa bermanfaat bagi para pembaca..

Semoga (lagi) kita bisa menang di Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3 ini.. Amin..

Salam Admin "warga kos 188"

Ganti Logo "Ide-Kamu" dan tukaran link buat para blogger



Sehubungan berbagai pertimbangan dan masukan dari teman-teman kos, akhirnya logo untuk "Ide-Kamu" diganti. Ada pun pertimbangan itu antara lain:

1. Logonya terlalu besar
2. Warnanya kurang cerah
3. Susah untuk diletakkan di blog yang sidebarnya kecil

Logo yang baru dibuat ini lebih terlihat cerah dengan warna biru, ceria, dan kecil sehingga bisa diletakkan di mana pun di dalam blog..

Bagi teman-teman blogger yang ingin tukaran link, copy & paste kode yang ada di samping logo "Ide-Kamu", trus silahkan berikan komentar apa pun pada tulisan ini sertakan dengan url blog kalian ok..

Minggu, 28 Desember 2008

Menang Lomba Poster "Save Our Planet" di UNY

Wah.. Senang banget ketika menang lomba poster ini, hadiahnya lumayan, bisa makan mie ayam untuk 1000 orang.. Berikut cuplikan pengumumannya:

Nama- nama pemenang Lomba Poster "Save Our Planet" :

1. Juara I : Wahyu Sya'ban (UAD), Judul Karya : Green Planet
2. Juara II : Kartika Handayani (UNY), Judul Karya : Save Our Planet
3. Juara III : Arief Raharjo (UNY), Judul Karya : Stop Global Warming

Selamat kepada para pemenang dan terima kasih kepada semua yang telah berpartisipasi dalam Lomba Poster "Save Our Planet" BEM FBS UNY 20008.

Pengumuman:
  • Bagi pemenang lomba poster hadiah dan sertifikat akan diberikan pada acara "Pentas Akhir Tahun" BEM FBS pada tanggal 24 Desember 2008 di FBS.
  • Syarat pengambilan hadiah membawa kartu identitas yang sama pada waktu pendaftaran.
  • Bagi peserta yang lain sertifikat bisa diambil mulai tanggal 22 desember 2008 di BEM FBS.
  • Karya yang telah dikumpulkan menjadi hak panitia

Sumber: http://bemfbs.co.nr/

Semoga kemenangan ini menjadi bagian dari usaha saya untuk menjadi sahabat bumi ini, bermanfaat untuk melindungi bumi ini dari kerusakan.. Amin. Satu lagi do'a-nya:

Semoga saya juga menang Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3 ini.. Amin, amin, Ya Rabbal 'Alamin..

NASA Study Links Severe Storm Increases, Global Warming

From http://www.sciencedaily.com/

ScienceDaily (Dec. 28, 2008) — The frequency of extremely high clouds in Earth's tropics -- the type associated with severe storms and rainfall -- is increasing as a result of global warming, according to a study by scientists at NASA's Jet Propulsion Laboratory, Pasadena, Calif.



Extremely high clouds, known as deep convective clouds, are typically associated with severe storms and rainfall. In this AIRS image of Hurricane Katrina, taken August 28, 2005, the day before Katrina made landfall in Louisiana, the eye of the storm was surrounded by a "super cluster" of 528 deep convective clouds (depicted in dark blue). The temperatures of the tops of such clouds are colder than 210 degrees Kelvin (-82 degrees Fahrenheit). (Credit: NASA/JPL)

In a presentation today to the fall meeting of the American Geophysical Union in San Francisco, JPL Senior Research Scientist Hartmut Aumann outlined the results of a study based on five years of data from the Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) instrument on NASA's Aqua spacecraft. The AIRS data were used to observe certain types of tropical clouds linked with severe storms, torrential rain and hail. The instrument typically detects about 6,000 of these clouds each day. Aumann and his team found a strong correlation between the frequency of these clouds and seasonal variations in the average sea surface temperature of the tropical oceans.

For every degree Centigrade (1.8 degrees Fahrenheit) increase in average ocean surface temperature, the team observed a 45-percent increase in the frequency of the very high clouds. At the present rate of global warming of 0.13 degrees Celsius (0.23 degrees Fahrenheit) per decade, the team inferred the frequency of these storms can be expected to increase by six percent per decade.

Climate modelers have long speculated that the frequency and intensity of severe storms may or may not increase with global warming. Aumann said results of the study will help improve their models.

"Clouds and rain have been the weakest link in climate prediction," said Aumann. "The interaction between the daytime warming of the sea surface under clear-sky conditions and increases in the formation of low clouds, high clouds and, ultimately, rain is very complicated. The high clouds in our observations—typically at altitudes of 20 kilometers (12 miles) and higher—present the greatest difficulties for current climate models, which aren't able to resolve cloud structures smaller than about 250 kilometers (155 miles) in size."

Aumann said the results of his study, published recently in Geophysical Research Letters, are consistent with another NASA-funded study by Frank Wentz and colleagues in 2005. That study found an increase in the global rain rate of 1.5 percent per decade over 18 years, a value that is about five times higher than the value estimated by climate models that were used in the 2007 report of the Intergovernmental Panel on Climate Change.

JPL manages the AIRS project for NASA's Science Mission Directorate, Washington. For more information on AIRS, visit http://airs.jpl.nasa.gov/ .

Abrupt Climate Change: Will It Happen this Century?

From http://www.sciencedaily.com/

ScienceDaily (Dec. 27, 2008) — The United States faces the potential for abrupt climate change in the 21st century that could pose clear risks to society in terms of our ability to adapt.


"Abrupt" changes can occur over decades or less, persist for decades more, and cause substantial disruptions to human and natural systems.

A new report, based on an assessment of published science literature, makes the following conclusions about the potential for abrupt climate changes from global warming during this century.

* Climate model simulations and observations suggest that rapid and sustained September arctic sea ice loss is likely in the 21st century.
* The southwestern United States may be beginning an abrupt period of increased drought.
* It is very likely that the northward flow of warm water in the upper layers of the Atlantic Ocean, which has an important impact on the global climate system, will decrease by approximately 25-30 percent. However, it is very unlikely that this circulation will collapse or that the weakening will occur abruptly during the 21st century and beyond.
* An abrupt change in sea level is possible, but predictions are highly uncertain due to shortcomings in existing climate models.
* There is unlikely to be an abrupt release of methane, a powerful greenhouse gas, to the atmosphere from deposits in the earth. However, it is very likely that the pace of methane emissions will increase.

The U.S. Geological Survey led the new assessment, which was authored by a team of climate scientists from the federal government and academia. The report was commissioned by the U.S. Climate Change Science Program with contributions from the National Oceanic and Atmospheric Administration and the National Science Foundation.

"This report was truly a collaborative effort between world renowned scientists who provided objective, unbiased information that is necessary to develop effective adaptation and mitigation strategies that protect our livelihood," said USGS Director Mark Myers. "It summarizes the scientific community's growing understanding regarding the potential for abrupt climate changes and identifies areas for additional research to further improve climate models."

Further research is needed to improve our understanding of the potential for abrupt changes in climate. For example, the report's scientists found that processes such as interaction of warm ocean waters with the periphery of ice sheets and ice shelves have a greater impact than previously known on the destabilization of ice sheets that might accelerate sea-level rise.

To view the full report, titled Synthesis and Assessment Product 3.4: Abrupt Climate Change, and a summary brochure on abrupt climate change, visit http://www.climatescience.gov/default.php.

Bali dan Kaltim Raih Award Film Dokumenter di Global Warming Competition

oleh Redaksi pada Kam, 17/01/2008 - 02:19.
From http://ruangfilm.com/



Jakarta-RuangFilm. Antisipasi penanggulangan dampak pemanasan global akhir-akhir ini kerap menjadi pemberitaan di media massa nasional. Salah satunya melalui ajakan metode audio visual, yaitu film dokumenter.

Mengacu pada Konferensi Perubahan Iklim di Bali pada 3-14 Desember 2007, Sains Estetika dan Teknologi (SET) Film Workshop, pimpinan Garin Nugroho dengan menggandeng Sinar Mas Forestry (SMF), Eka Tjipta Foundation, dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), menyelenggarakan workshop dan lomba iklan layanan masyarakat, film dokumenter, poster serta foto, sebagai ajang pelajar dan mahasiswa mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap pelestarian lingkungan.

Rabu (16/1) siang di Jakarta, Awarding Global Warming Competition 2008 mengumumkan daftar pemenang kompetisi sekaligus penyerahan Piala Meneg LH, Piagam Sinar Mas, dan total uang tunai 30 juta untuk kategori film dokumenter.

Juara kategori umum pertama diraih oleh Achmad Thaouviek (Mollo di Tanah Timor-Jakarta) dan juara kedua oleh Gede Sugiarta (Helping People to Help Themselves-Bali), lalu kategori mahasiswa diraih M. Takwin (Bantaranku Berbenah-Kaltim), kemudian untuk pelajar diraih Pande Nyoman Bayu Titayasa (Kertas Nyawa Bumiku-Bali).

Penyerahan hadiah untuk kategori film dokumenter diserahkan langsung oleh Garin Nugroho (sutradara dan produser film) dan Gerzon (praktisi film dokumenter IKJ).

Selama pendaftaran kompetisi dari tanggal 13 Agustus hingga 20 November 2007, tercatat lebih dari 600 karya dari seluruh kategori yang masuk ke panitia penjurian.

“Dari semua peserta, yang banyak mandaftar justru dari generasi pelajar sekolah,” ujar Garin Nugroho, pimpinan SET Film Workshop, saat jumpa pers Awarding Global Warming Competition, Rabu (16/1) siang, di Blitz Megaplex, Jakarta.

Pengumuman pemenang juga dihadiri oleh Rachmat Witoelar (Meneg LH), Sarwono Kusumaatmadja (ketua DPD RI), Prof. Emil Salim (Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali 2007), dan G. Sulistyono (Managing Director Sinar Mas).

Serangkaian acara bernama Sinar Mas Award yang telah dimulai sejak Agustus 2007 dalam rangka memperingati RI ke 62 bertema 'Merdeka Dari Kerusakan Lingkungan' sebelumnya telah mengadakan workshop di tiga kota, yaitu Jakarta, Pekanbaru dan Denpasar.

Beberapa narasumber workshop diantaranya, Garin Nugroho (sutradara dan produser film), Iman Brotosono (ketua umum Asosiasi Pekerja Film Iklan Indonesia), Arthuro GP. (sutradara dan creative director), RTS Masli (presiden Internasional Advertising Association Chapter Indonesia), Ari Muhammad (koordinator nasional UNFCC), dan Aulia Rahman (WWF Indonesia). (Ceppy Febrinika Bachtiar)

ABOUT AN INCONVENIENT TRUTH

From http://www.climatecrisis.net/

Humanity is sitting on a ticking time bomb. If the vast majority of the world's scientists are right, we have just ten years to avert a major catastrophe that could send our entire planet into a tail-spin of epic destruction involving extreme weather, floods, droughts, epidemics and killer heat waves beyond anything we have ever experienced.

If that sounds like a recipe for serious gloom and doom -- think again. From director Davis Guggenheim comes the Sundance Film Festival hit, AN INCONVENIENT TRUTH, which offers a passionate and inspirational look at one man's fervent crusade to halt global warming's deadly progress in its tracks by exposing the myths and misconceptions that surround it. That man is former Vice President Al Gore, who, in the wake of defeat in the 2000 election, re-set the course of his life to focus on a last-ditch, all-out effort to help save the planet from irrevocable change. In this eye-opening and poignant portrait of Gore and his "traveling global warming show," Gore also proves himself to be one of the most misunderstood characters in modern American public life. Here he is seen as never before in the media - funny, engaging, open and downright on fire about getting the surprisingly stirring truth about what he calls our "planetary emergency" out to ordinary citizens before it's too late.

With 2005, the worst storm season ever experienced in America just behind us, it seems we may be reaching a tipping point - and Gore pulls no punches in explaining the dire situation. Interspersed with the bracing facts and future predictions is the story of Gore's personal journey: from an idealistic college student who first saw a massive environmental crisis looming; to a young Senator facing a harrowing family tragedy that altered his perspective, to the man who almost became President but instead returned to the most important cause of his life - convinced that there is still time to make a difference.

With wit, smarts and hope, AN INCONVENIENT TRUTH ultimately brings home Gore's persuasive argument that we can no longer afford to view global warming as a political issue - rather, it is the biggest moral challenges facing our global civilization.

Paramount Classics and Participant Productions present a film directed by Davis Guggenheim,
AN INCONVENIENT TRUTH. Featuring Al Gore, the film is produced by Laurie David, Lawrence Bender and Scott Z. Burns. Jeff Skoll and Davis Guggenheim are the executive producers and the co-producer is Leslie Chilcott.

Sabtu, 27 Desember 2008

Polusi Udara, Sorotan Utama Panitia Olimpiade 2008



28/07/2008 06:28 - Olimpiade 2008
From http://www.liputan6.com/

Liputan6.com, Beijing: Panitia penyelenggara Olimpiade 2008 harus bekerja keras menyelesaikan masalah polusi udara. Polusi udara menyebabkan dua tempat penyelenggaraan utama yakni National Stadium serta National Aquatic Center hanya tampak dalam jarak pandang 0,8 kilometer karena kabut yang seringkali menutup dua tempat itu.

Sebagai usaha menekan polusi udara, jumlah kendaraan pribadi dibatasi dengan menggilir kendaraan berdasarkan nomor pelat ganjil dan genap. Pemerintah Cina juga menghentikan kegiatan operasional pabrik-pabrik yang berlokasi di wilayah-wilayah yang dekat dengan Beijing.

Sementara tim basket Amerika Serikat terus melakukan persiapan serius. Tim berjuluk The Redeem Ream ini mencatat hasil positif saat ujicoba dengan Kanada. Kobe Bryant dan kawan kawan menang telak 120-56. Dwayne Wade menjadi bintang dengan mencetak 20 poin. Kemenangan ini menjadi modal berharga untuk merebut emas olimpiade.(JUM)

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Carbon Dioxide and the "Climate Crisis" - Avoiding Plant and Animal Extinctions

An Investigative Documentary by CO2Science
From http://www.co2science.org/
Available Now in Both NTSC and PAL Formats!

NASA's James Hansen claim that in response to CO2-induced global warming, "polar species can be pushed off the planet, as they have no place else to go," and that life in alpine regions "is similarly in danger of being pushed off the planet," while England's Sir John Houghton says "we are in danger of losing thousands, if not millions, of species because of climate change."

These ominous words of warning sound logical enough, but are they true? In this second DVD of our CARBON DIOXIDE AND THE "CLIMATE CRISIS" series, we explore this question via a review of the findings of numerous researchers who have reported their real-world observations -- as opposed to the hypothetical scenarios of Hansen and Houghton -- in peer-reviewed scientific literature. What they have found will truly amaze you.

Regional Code: All.
Languages: English.
Format: Available in both NTSC and PAL.
Picture Format: 16:9.
Length: (approx) 37 minutes.
Original Release Date: 2008, by CO2Science
Other: Full PDF transcript with references on disk, Interactive Menu, Chapter Selection.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

New York conference expected to draw up to 1,000 scientists and experts Global warming crisis "cancelled" by new scientific discoveries

From http://www.heartland.org/

The organizers of a March 2008 conference that brought together more than 500 scientists, economists, and other experts on global warming today unveiled plans to hold a second conference on March 8-10, 2009, once again in New York City.

The 2009 International Conference on Climate Change will serve as a platform for scientists and policy analysts from around the world who question the theory of man-made climate change. This year's theme, "Global Warming Crisis: Cancelled," calls attention to new research findings that contradict the conclusions of the latest Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) report.

Hosting the conference for the second consecutive year will be The Heartland Institute, a 24-year-old national nonpartisan think tank based in Chicago. "All of the event's expenses are being covered by individual and foundation donors to Heartland," said Dan Miller, executive vice president of the institute. "No corporate dollars earmarked for the event were solicited or accepted."

The 2008 conference featured presentations by more than 100 prominent scientists and economists from the U.S. and around the world, including Dr. Robert Balling (Arizona State University), Dr. Stanley Goldenberg (NOAA), Dr. William Gray (Colorado State University), Dr. Yuri Izrael (IPCC), Dr. Patrick Michaels (University of Virginia), Dr. Paul Reiter (Institut Pasteur, Paris), Dr. S. Fred Singer (Science and Environmental Policy Project), Dr. Willie Soon (Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics), and Dr. Roy Spencer (NASA).

The 2008 event attracted extensive media attention in the U.S. and internationally, including news coverage by The Wall Street Journal, New York Times, Washington Post, Associated Press, Reuters, National Geographic, ABC, BBC, CBS, NBC, Fox News, and others.

"Last March we proved that the skeptics in the debate over global warming constitute the center or mainstream of the scientific community, while the alarmists are on the fringe," said Heartland President Joseph Bast. "In the past six months, the science has grown even more convincing that global warming is not a crisis. Opinion polls and political events, including the defeat of 'cap-and-trade' legislation in the U.S. Senate, also suggest this 'crisis' is over. It has been cancelled by sound science and common sense."

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Belajarlah (Ramah Lingkungan) dari Jepang

Jum'at, 11 Juli 2008 | 15:00 WIB
From http://www.tempointeraktif.com/

TEMPO Interaktif, Toyota City: -- Sebuah pabrik mobil di Toyota City, di pinggiran Nagoya, Jepang, sebagian bangunannya dicat hijau muda yang sejuk di sela-sela gedung pabrik yang berwarna kelabu beton. Tempo, saat berkunjung ke pabrik itu sebulan silam, semula berpikir warna hijau ini cuma selera artistik para petinggi Toyota. Ternyata kesimpulan buru-buru ini salah.

Cat hijau itu, lewat proses fotokatalis, bisa memecah gas berbahaya, seperti nitrogen oksida dan sulfur oksida, menjadi zat yang tidak berbahaya, seperti karbon monoksida dan oksigen. Cat ini yang ditorehkan di dinding pabrik--akan selesai seluruhnya tahun ini--setara dengan 2.000 batang pohon poplar.

Toyota memang menjadikan pabrik di Toyota City--dikenal sebagai Pabrik Tsutsumi--sebagai salah satu proyek yang memperlihatkan bagaimana sebuah industri bisa lebih ramah lingkungan, mengurangi karbon yang dikeluarkan, dan lebih hemat energi.

"Toyota sudah bertahun-tahun aktif menerapkan prakarsa terkait lingkungan dan energi (dalam proses pembuatan kendaraan)," kata Presiden Toyota Motor Corporation Katsuaki Watanabe dalam acara lingkungan di Tokyo bulan lalu.

Toyota, seperti industri Jepang lain, memang mesti pintar dalam soal ini karena negeri itu nyaris tidak memiliki sumber daya alam terkait energi. Industri Jepang berusaha menguasai teknologi agar energi yang dikonsumsi jauh lebih hemat.

Isu lingkungan ini juga dibawa Jepang dalam pertemuan negara maju, G8, yang sedang berlangsung di sana. Jepang juga sangat membanggakan prestasi ini. "Teknologi superior dan semangat nasional menghindari limbah menjadikan Jepang memiliki struktur energi paling efisien di dunia," kata Perdana Menteri Yasuo Fukuda saat menjelaskan agenda dalam pertemuan G8 seperti dilansir New York Times.

Hasilnya, setiap dolar yang dikeluarkan Jepang untuk energi menghasilkan dua kali lipat kegiatan ekonomi dibanding Eropa atau Amerika Serikat pada 2005. Dibanding negara seperti Cina dan India, lebih banyak lagi. Setiap dolar energi Jepang menghasilkan delapan kali lipat kegiatan ekonomi dibanding dua negara berpenduduk terbanyak dunia itu.

Banyak contohnya bagaimana industri menghemat energi. Pabrik semen Taiheiyo di Kumagaya, misalnya, mengalirkan panas yang semula terbuang dalam proses ke ketel air. Ketel ini menghasilkan uap dan akhirnya menjadi listrik.
Sedangkan pabrik baja Keihin di Tokyo, yang dioperasikan oleh pabrik baja nomor dua Jepang, JFE, menggunakan panas dalam proses peleburan, yang semula dibiarkan terbuang atau dibakar, untuk mendidihkan air dan menggerakkan generator. Listrik yang dihasilkan di sini bisa memasok 90 persen listrik pabrik. Perubahan ini juga membuat energi untuk pabrik ini sebanyak 35 persen lebih sedikit dibanding 30 tahun silam.

Toyota, secara alamiah, mengikuti tren industri Jepang. Mereka bahkan membuat rencana jangka panjang untuk menghemat energi dan membuat lingkungan lebih hijau. Mereka bahkan sedang membuat target perencanaan baru. Gara-garanya? "Kami bisa mencapai tujuan target yang mestinya dicapai Maret 2011 pada Maret 2008," kata Watanabe.

Target ini dicapai tidak hanya dengan cat yang membuat adem itu. Pabrik Tsutsumi juga melakukan sejumlah upaya. Pertama, tentu saja, penghijauan. Di Indonesia, sebuah negeri tropis, bukan hal yang aneh satu tempat dihijaukan agar udara lebih adem. Tapi di Jepang, negeri empat musim, biasanya kompleks pabrik, ya sebuah pabrik. Kalaupun ada, jumlah pohon sangat terbatas.

Toyota juga membuat generator listrik lebih efisien. Generator ini dijalankan dengan mesin bertenaga gas. Semula pembangkitnya hanya seperti ini: gas menjalankan generator dan sisanya menjadi emisi.

Belakangan ini digunakan cara agar panas dari emisi ini dimanfaatkan lagi untuk mendidihkan air dan menggerakkan mesin uap. Energi yang semula terbuang pun dipakai kembali.

Listrik juga masih ditambah dengan panel surya di atap pabrik. Saat ini panel surya yang terpasang, menurut Toyota, terbesar di dunia. Energi yang dihasilkan mencapai 2 megawatt atau setara dengan sekitar 500 ribu liter setahun minyak mentah.

Toyota juga memikirkan proses untuk menghemat energi. Proses pengecatan misalnya. "Proses pengecatan menelan sekitar seperempat energi dalam proses manufaktur," kata Wakil Presiden Toyota Takeshi Uchiyamada, yang bertanggung jawab pada urusan pembuatan mobil.

Pabrik itu membuang satu tahapan pengecatan teknologi baru sehingga kualitas tidak berkurang. Selain itu, robot disempurnakan sehingga bisa menggunakan ruang yang lebih kecil untuk mengurangi energi.
Toyota optimistis pabrik-pabrik mereka, tidak hanya Tsutsumi, makin hijau. "Ke depan, kami akan lebih mengurangi emisi CO2 lewat kegiatan pabrik berkelanjutan di seluruh dunia," kata Watanabe. Jadi, jangan heran cat ajaib itu bakal muncul di pabrik-pabrik Toyota lain.

NURKHOIRI

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Peugeot Hadirkan Mobil Ramah Lingkungan dan Tangguh

Monday, 27 August 2007
From http://www.astraworld.com/

Kesadaran akan pelestarian lingkungan kini sudah menjadi bagian visi dan misi banyak perusahaan otomotif ternama, termasuk Peugeot. Apalagi konsumen juga sudah semakin mengerti dan mampu memilih serta memilah mobil bermutu dan ramah lingkungan.

Seperti dilansir easier.com, upaya menghadirkan mobil yang ramah lingkungan (environmentally friendly vehicle) ini didasarkan pada beberapa kriteria, seperti ukuran, model (style), harga, kepraktisan dan konsumsi bahan bakar.

Untuk menjawab kebutuhan pasar ini, Peugeot yang juga memiliki visi kesadaran lingkungan (environmentally aware), berupa memenuhinya dengan menciptakan mobil keluarga. Keberhasilan menciptakan mobil jenis ini menjadikan perusahaan otomotif terdepan Perancis ini memperoleh sejumlah penghargaan.

Adalah Peugeot 207 1.6 HDi 90 S yang beberapa waktu lalu di luncurkan di Inggris. Mobil ini dirancang sebagai mobil yang memiliki kemampuan mesin tangguh dan cocok sebagai mobil harian untuk segala medan lintasan. Dengan disain sasis yang kokoh, mobil ini mampu menahan getaran hingga tingkat maksimal. Apalagi untuk urusan kaki-kaki (ban), 207 1.6 HDi 90 ditopang Bridgestone Potenza dengan ukuran 205/45R17W. Belum lagi adanya rear spoiler yang mampu meningkatkan aerodinamika mobil ini hingga mencapai tingkat efisiensi maksimal.

"Industri otomotif saat ini sedang memasuki era revolusi hijau (green revolution)," ujar Pierre Louis Colin, Managing Director Peugeot Inggris. Menurutnya, keinginan konsumen adalah dengan dana yang dimiliki bisa mendapatkan mobil yang bagus, irit dan ramah lingkungan.

Peugeot 207 1.6 HDi 90 menggamit mesin 1.6 liter dengan THP (Turbo High Pressure), di mana dengan mesin ini tenaga yang dihasilkan mencapai 175 bhp dengan torsi maksimal 180 lb ft mulai dari percepatan 1.600 rpm. peugeot.co.uk, dengan teknologi THP, torsi keluaran maksimum bisa mencapai 4.500 rpm, sehingga kecepatan maksimal bisa terangkat hingga 195 lb ft.

Peugeot 207 1.6 HDi 90 dilengkapi dengan teknologi ESP system, di mana dengan teknologi mampu tersebut mobil ini mampu “memanipulasi” kecepatan hingga tingkat maksimal. Tak heran, jika banyak pengamat otomotif –seperti dikutip peugeot.co.uk, merekomendasikan mobil sebagai kendaraan yang cocok untuk arena balap.

Teknologi ESP juga didukung dengan SSP function (Steering Stability Program). Konsep electric power steering ini mampu mengatasi kendali mobil saat melintasi permukaan tak datar.

Disain interior Peugeot 207 1.6 HDi 90 juga dirancang sporty dan dinamis. Tempat duduk dengan kapasitas empat penumpang dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan kenyamanan tingkat tinggi, misalkan bahan pembalut jok/kursi terbuat dari material berkualitas. Selain kelembutan bahan, pegas-pegas yang ada di bawahnya juga turut membantu kenyamanan pengemudi. Bentuk sculpted dan ergonomis dari disain kursinya, memang dibuat perancangnya untuk konsep mobil sport, yang bukan sekadar enak dilihat, namun juga fungsional.

Sementara untuk keamanan, 207 1.6 HDi 90 dilengkapi dengan 6 airbags sebagai kelengkapan standar, plus 2 Isofix child safety mounting pada bagian rear-nya. Dengan tingkat proteksi keamanan maksimal mobil generasi 207 memperoleh penghargaan Euro NCAP.

Peugeot 207 1.6 HDi 90 juga dilengkapi alat bantu pengemudi dan sistem keamanan maksimal yang meliputi; rear parking aid, headlamp bentuk ellips, sepasang speed limiter dengan cruise control, kemudian automatic headlamps dan wipers. Tak ketinggalan dual zone climate control air conditioning, tyre under-inflation sensors, folding electric door mirrors dan electro-chrome interior rear-view mirror.
(kano/pra)

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Mobil Ramah Lingkungan Sulit Berkembang di Indonesia

Jumat, 18/07/2008 14:30 WIB
Suhendra - detikFinance
From http://www.detikfinance.com/

Jakarta - Pengembangan mobil ramah lingkungan di Indonesia masih sulit. Selain kendala alih teknologi, pengembangan mobil 'hijau' di Indonesia terkendala oleh infrastruktur.

Infrastruktur itu terutama terkait penyediaan bahan bakar gas. Bahkan fasilitas infrastruktur yang terkait bahan bakar gas yang sempat dikembangkan justru berjalan di tempat atau mengalami kemunduran. Termasuk pengembangan compressed natural gas (CNG).

"Kita sudah mencoba mempopulerkan CNG tapi keterbatasan suplai untuk SPBU. Problem yang dihadapi adalah habis disuatu tempat maka sulit mengisinya," kata Menteri Perindustrian Fahmi Idris, di Gedung Departemen Perindustrian (Depperin), Jakarta, Jumat (18/7/2008).

Dikatakan Fahmi, Indonesia cukup tertinggal dengan negara lainnya seperti India yang sudah banyak memakai pakai CNG.

Sedangkan untuk pengembangan mobil tenaga listrik, Indonesia masih terkendalai dengan alih teknologi dan pengembangan mobil sejenis ini yang masih terbatas di seluruh dunia.

"Generasi berikutnya, dengan sumber energi listrik, yang sekarang bisa digunakan seharian, kalau dulu 4 jam, tetapi sehari mengisinya, kalau sekarang sudah bisa mengisinya 3 jam," papar Fahmi.

"Ada mobil listrik yang memakai energi surya, tetapi belum dikembangkan bahkan belum ada prototipenya," tambahnya.

Namun dari berbagai pilihan tersebut, lanjut Fahmi, pengembangan mobil ramah lingkungan di Indonesia bisa diarahkan pada mobil yang berbahan bakar CNG. Mengingat untuk jenis mobil teknologi listrik memerlukan teknologi tingkat tinggi.

"Yang cocok adalah CNG itu, yang paling mungkin karena terdukung oleh suplai dan teknogi tidak terlalu rumit, tetapi mobil tenaga listrik juga kita bisa, tetapi memang teknologinya rumit," jelasnya.

Hingga kini negara yang paling maju mengembangan mobil ramah lingkungan adalah Jepang, termasuk menggunakan CNG."Yang sudah advance menggunakan ini adalah Jepang," katanya. (hen/qom)

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Jumat, 26 Desember 2008

Earth: Let’s Fall In Love With Our Lucky Planet… Again

By tupang • May 1st, 2008 at 10:47 am • Category: Bumi
From http://langitselatan.com/

“Of all the planets in our universe, there is only one we know can support life. Just the right distance from its sun, with a perfect climate, it’s been called the lucky planet. All life on Earth is built on chance and powered by the Sun, but the delicate balances of our world are faltering as the planet struggles to support our growing demands. This is the time to take stock of what we have, and what we stand to lose.”


– Excerpt from Patrick Stewart’s opening narration



Poster Film Dokumenter Earth, sebuah film yang membahas tentang global warming dengan sangat indah dan apik.

Earth adalah sebuah film dokumenter yang amat indah. Kita diajak melihat keindahan Bumi dan dinamika makhluk hidup yang saling berkait. Keindahan film ini sudah menjeratku semenjak detik pertama. Apalagi dengan suara Patrick Stewart sebagai narator. Bagi yang gak kenal Patrick Stewart, dia adalah yang menghidupkan karakter Captain Jean-Luc Picard dalam serial Star Trek: The Next Generation dan beberapa film layar lebar star trek. Atau kalo gak inget juga, dia adalah Professor Charles Xavier dalam trilogi film X-Men.

Mengutip dari iklannya: “Film ini mengisahkan tentang beruang kutub, gajah dan paus yang berjuang untuk hidup dan menyelamatkan diri dari efek global warming. Beruang kutub berusaha hidup di tengah pecahan es yang semakin mencair, gajah yang harus berjalan jauh mencari air, dan paus bermigrasi ribuan mil untuk mencari plankton makanannya.“. Selain ketiga binatang itu sebagai ‘tokoh utama’, kita juga bisa melihat binatang-binatang lain dan perjuangan mereka untuk bertahan hidup dalam ekologi mereka yang semakin tak nyaman akibat global warming.

Film ini penuh dengan gambar menarik. Misalnya kita bisa melihat bagaimana great white shark berburu anjing laut dengan stunt akrobatnya yang memukau. Ada juga adegan ikan layar yang melesat lincah memburu segerombolan besar ikan-ikan kecil. Beruang kutub yang kelaparan dan lemas tak bisa berkutik di depan segerombolan besar walrus. Gerombolan gajah yang melintasi padang gersang dalam perjalanan panjang menuju sumber air. Singa-singa yang tak punya pilihan selain terpaksa menyerang gajah yang berukuran cukup besar, menyerang secara bergerombol walau mangsa sebesar itu tak lazim bagi mereka. Sejenis burung bangau yang harus terbang tinggi melewati Mount Everest untuk menghindar dari musim dingin yang tak bersahabat. Dan masih banyak adegan menarik lainnya.

Film ini mengajak kita melihat siklus perubahan yang periodik dipermukaan Bumi dalam satu tahun dan bagaimana kehidupan hewan-hewan menyesuaikan diri dengan perubahan Bumi. Sementara itu, secara perlahan, keadaan Bumi juga berubah oleh efek global warming. Global warming ini membuat ekologi di berbagai tempat dipermukaan Bumi menjadi semakin tidak bersahabat. Ujungnya adalah terancam punahnya berbagai spesies. Misalnya jika keadaan seperti saat ini terus berlangsung, pada tahun 2030 beruang kutub akan punah.

Pada bagian akhir film, kita diajak untuk ikut serta mengurangi efek global warming ini. Kita diajak melestarikan keindahan Bumi dengan flora dan faunanya. Kita juga diajak mempertahankan daya dukung hidup planet kita yang pada bagian awal telah disebutkan sebagai lucky planet.

Apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi Global Warming ? Dalam tulisan “Hal Yang Bisa Kamu Lakukan Untuk Menghadapi Global Warming“. Mungkin 15 cara yang disarankan oleh Al Gore dalam tulisan itu bisa kita terapkan untuk ikut menjaga kekayaan hayati planet tercinta kita. Let’s fall in love with Earth. Again.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Terlepasnya Oksigen Dari Atmosfer Bumi

Sumber : http://langitselatan.com/
By ivie • Sep 2nd, 2008 at 5:39 pm • Category: Bumi



Oksigen secara konstan bocor keluar dari atmosfer Bumi dan masuk ke ruang angkasa. Berita tersebut datang dari Cluster satelit milik ESA yang juga mengkonfirmasikan kalau penyebab kebocoran oksigen tersebut justru berasal dari medan magnetik Bumi sendiri. Jadi medan magnetik Bumi mempercepat terlepasnya oksigen ke angkasa.

Data yang dihasilkan Cluster dari tahun 2001-2003 menunjukan selama tahun-tahun tersebut, cahaya bermuatan atom oksigen yang dikenal sebagai ion, keluar dari area kutub menuju angkasa. Cluster juga mengukur kekuatan dan arah medan magnetik Bumi saat cahaya itu ada disana. Hasil analisis data Cluster yang dilakukan oleh Hans Nilsson dari Swedish Institute of Space Physics menunjukan ion oksigen mengalami percepatan akibat perubahan arah medan magnet. Data dari Cluster berhasil memberi informasi kemiringan medan magnetik dan perubahan arahnya berdasarkan waktu.

Sebelum era penjelajahan angkasa, dipercahaya medan magnetik Bumi hanya diisi oleh partikel-partikel angin Matahari. Dan diperkirakan partikel-partikel ini membentuk kondisi yang melindungi Bumi dari interaksi langsung dengan angin Matahari.

Menurut Nilsson, saat ini mereka baru menyadari besarnya interaksi yang terjadi diantara angin Matahari dan atmosfer. Partikel energetik dari angin Matahari dapat diteruskan sepanjang medan magnetik. Dan bila terjadi tabrakan dengan atmosfer Bumi, terjadilah aurora. Biasanya fenomena ini terjadi di kutub bumi. Interaksi yang sama memberikan energi yang cukup pada ion oksigen untuk mengalami percepatan dan keluar dari atmosfer menuju ke area medan magnetik Bumi.

Data yang diperoleh Cluster didapat di atas kutub Bumi saat atelit tersebut terbang pada ketinggian 30000 - 64000 km. Data yang pernah diambil sebelumnya pada tahun 1980-an dan 1990-an menunjukan ion yang lepas bergerak semakin cepat pada ketinggian yang lebih tinggi. Dengan demikian diperkirakan ada semacam mekanisme percepatan yang terlibat dan beberapa kemungkinan yang terjadi yang menyebabkan terjadinya perubahan. Dengan data dari Cluster, mekanisme yang berperan dalam sebagian besar proses percepatan bisa diidentifikasi.

Saat ini, lepasnya oksigen dari Bumi bukanlah hal yang harus dikawatirkan. Karena jika dibandingkan dnegan persediaan gas yang mendukung kehidupan di Bumi, jumlah yang lepas tersebut bisa dikatakan sangat kecil. Namun, di masa depan, saat Matahari memasuki masa tuanya dan semakin panas, keseimbangan akan mengalami perubahan dan kehilangan oksigen seperti saat ini akan menjadi hal yang signifikan mempengaruhi kehidupan di Bumi.

Untuk saat ini, Cluster akan terus mengumpulkan data dan memberi pencerahan baru mengenai kompleksnya area magnetik di sekeliling planet biru ini.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Ekologi & Lingkungan Hidup: Budaya Bersepeda di Negara Maju, Cermin Perilaku yang Ramah Lingkungan

Sumber :
Pikiran Rakyat Bandung/Senin, 08 September 2003
PACIFIC FRIEND MAGAZINE
Artikel oleh Hisashi Kondo, judul asli LEAN, CLEAN AND GREEN
Terjemahan & adaptasi bahasa oleh Suksma Ratri Pujasaputra

Sehat dan ramah lingkungan, begitulah benda ini digambarkan di Negeri Sakura. Sepeda dinilai sangat cocok dipakai kota-kota di Jepang, mengacu kepada motto “eco cycle city” yang mulai digalang pemerintah Jepang dalam rangka mempromosikan program ramah lingkungan. Menurut sebuah pepatah Jerman “sebuah sepeda jauh lebih baik daripada satu truk obat-obatan”. Dengan mengendarai sepeda, kesehatan kita akan terjaga dan tidak memerlukan obat-obatan. Setelah riset dan penelitian dilakukan kepada warga yang biasa menggunakan mobil atau kereta, banyak orang terkesima dengan kemajuan kesehatan yang mereka dapatkan sejak beralih mengendarai sepeda setiap hari. Mereka semua setuju bahwa latihan cara baru tersebut telah membuat mereka merasa lebih fit dan segar.

Sepeda baik untuk kesehatan kita, juga baik untuk kenyamanan kota, kenyamanan global dan pemeliharaan lingkungan. Sepeda tidak menghasilkan gas karbon monoksida maupun karbon dioksida, tidak mencemari udara maupun lingkungan serta tidak menyebabkan kemacetan arus lalu lintas. Karena sepeda dioperasikan oleh otot tubuh manusia, maka tidak diperlukan konsumsi bahan bakar berupa bensin ataupun solar. Untuk masalah kenyamanan, sepeda merupakan metode transportasi door-to-door yang canggih. Sepeda telah secara nyata memberikan kenaikan perhatian terhadap isu-isu global lingkungan hidup, sebagai alat transportasi yang ramah lingkungan dan paling cocok untuk kota besar. Tak heran bila kemudian sepeda mulai dipilih dan digunakan sebagai alternatif di luar penggunaan mobil. Beberapa tahun belakangan ini di Jepang telah terjadi perubahan besar menyangkut penggunaan sepeda.

Proses perubahan ini dimulai dengan diselenggarakannya The International Conference on Global Warming di Kyoto pada tahun 1997. Saat itu, pemerintah Jepang menjanjikan penurunan sebanyak 6% atas produksi karbon dioksida dan emisi gas buang lainnya. Secara alamiah hal tersebut memacu kenaikan atas pentingnya peran sepeda sebagai “Green Vehicle” atau kendaraan ramah lingkungan yang tidak memerlukan bahan bakar minyak dan tidak menghasilkan emisi gas buang apapun. Pada tahun berikutnya, rancangan utama pemerintah untuk negara tersebut yang disebut sebagai The 5th Comprehensive National Development Plan mengumumkan penggalakkan penggunaan sepeda sebagai alat transportasi untuk pertama kalinya. Pada tahun yang sama The Measures to Prevent Global Warming menyatakan peran sepeda yang dipertimbangkan kembali sebagai gaya hidup baru. Pada tahun 2001, sebuah amandemen untuk undang-undang yang berkenaan dengan konstruksi jalan menetapkan kewajiban untuk membuat dan menyediakan jalur khusus sepeda pada jalan-jalan yang baru dibuat atau pada saat perbaikan dilakukan pada jalan raya yang banyak dilalui pengendara sepeda. Hal ini dirancang untuk memberi prioritas lebih tinggi kepada pengendara sepeda daripada sebelumnya, serta untuk menurunkan beban lingkungan secara keseluruhan yang diakibatkan oleh penggunaan mobil. Poin tersebut merupakan titik balik yang penting, karena pengelolaan jalan raya sebelumnya difokuskan kepada mobil, namun sekarang justru sebaliknya.

Bagaimanapun, tetap ada satu isu besar yang tidak bisa dihindari saat penggalangan pemakaian sepeda dilaksanakan di Jepang: jumlah sepeda yang dibiarkan begitu saja di tempat umum. Biasanya di area stasiun kereta, selain itu juga di area parkir pusat perbelanjaan, di jalan-jalan dan di trotoar tempat pejalan kaki. Sepeda - sepeda yang terbengkalai merupakan gangguan baru. Begitu banyaknya jumlah sepeda yang terbengkalai, sehingga mengganggu kelancaran arus pejalan kaki dan jalan raya. Mencoba untuk melewati sekumpulan sepeda yang terbengkalai di stasiun kereta, terasa seperti sedang berusaha untuk bernegosiasi tentang satu masalah yang cukup pelik. Pada tahun 2001, diperkirakan ada sekitar 540.000 buah sepeda yang terbengkalai di seluruh pelosok Jepang.

Dua puluh tahun yang lalu ada 990.000 sepeda yang ditinggalkan begitu saja di jalan-jalan, dan pemerintah setempat dipaksa untuk bertindak. Jumlah tempat parkir sepeda dinaikkan dari 500.000, buah pada 20 tahun sebelumnya, menjadi 3.750.000 buah saat ini. Hal tersebut telah mengurangi jumlah sepeda yang terbengkalai di tempat umum sampai dengan setengahnya. Pada kenyataannya Jepang memang terdepan dalam pembuatan tempat parkir sepeda. Namun demikian, naiknya harga tanah membuat pembangunan tempat parkir baru menjadi lebih sulit dan terbatas. Menyediakan area parkir baru bagi sepeda bukanlah hal mudah.
Bila pada satu sisi Jepang mencoba untuk mengedepankan rencana-rencana pemasyarakatan penggunaan sepeda, maka di sisi lain jumlah sepeda yang diparkir atau dibiarkan begitu saja di tempat-tempat umum masih harus dikurangi. Satu-satunya solusi bagi konflik yang ada ini adalah dengan sistem rental.

Warga dapat menikmati fasilitas rental ini dengan membayar iuran keanggotaan. Sepeda jenis standar ditaruh di tempat parkir di luar stasiun kereta. Para penyewa dapat menggunakan salah satu dari sepeda tersebut untuk pulang pada petang atau malam hari. Pada hari berikutnya mereka menggunakan sepeda tersebut ke stasiun dan mengembalikannya ke pusat penyewaan. Kemudian sepeda yang sama akan dapat digunakan oleh penyewa lainnya untuk pergi bekerja atau sekolah. Begitu seterusnya berjalan secara berkesinambungan. Karena banyak orang yang berbeda menggunakan sepeda pada saat yang berbeda, setiap sepeda memiliki 2 pengguna atau lebih, dan sistem ini dinilai sangat efisien. Kenaikan angka yang dilihat oleh pemerintah setempat di Jepang mencerminkan bahwa sistem rental yang diterapkan sangat berguna untuk mengurangi jumlah sepeda yang terlalu banyak di sekitar stasiun, dan juga mengurangi jumlah tempat parkir sepeda yang dibutuhkan.

Seperti halnya sistem rental sepeda, ada pula cara lain yang dipakai di tempat lain di Jepang untuk membuat lingkungan menjadi lebih kondusif bagi pengendara sepeda. Menteri Pertanahan, Infrastruktur & Transportasi telah merancang 19 kota & daerah model sebagai “eco cycle city”, di mana kota dan daerah tersebut membantu mendukung penggunaan kendaraan kayuh. Contoh nyata dari proyek ini adalah persiapan dari jaringan jalan utama yang memisahkan sepeda dengan pejalan kaki di Nagoya – Aichi dan di distrik Chiyoda serta distrik Chuo di Tokyo. Di daerah Takamatsu – Kanagawa, tempat untuk pengendara sepeda dibuat dengan cara mengurangi luas jalan bagi pengendara mobil.

Pada saat yang sama, berbagai eksperimen sosial dilakukan untuk memasukkan sepeda ke dalam rencana transportasi kota. Salah satu contohnya adalah percobaan di kota Matsuyama – Ehime, yang menggunakan fasilitas jalan yang telah ada. Selama satu bulan, sebagian jalur untuk trem digunakan di beberapa tempat digunakan untuk pengendara sepeda saja, dan di tempat lain pemisahan antara pengendara sepeda dengan pejalan kaki diatur dengan memberikan jam pemakaian jalur yang berbeda. Percobaan serupa ini akan berguna untuk menemukan cara terbaik mengimplementasikan gagasan “eco cycle city” di tiap daerah.

Kita semua sekarang hidup di era mobil. Tahun 1965 dikenal sebagai tahun pertama untuk mobil pribadi, dan sejak itu Jepang telah menjadi masyarakat mesin yang berkembang dengan sangat pesat dan cepat. Sebagai hasil, konstruksi jalan yang ada dikonsentrasikan untuk mobil, dan mobil telah menjadi titik utama kehidupan masyarakat. Saat ini hanya ada 0,6% dari jumlah total jalan yang diberikan secara ekslusif kepada pengendara sepeda. Di Belanda, negara yang memiliki budaya bersepeda paling hebat, rasio yang didapat adalah 8,6% - Jepang masih harus berjalan lebih jauh lagi. Bagaimanapun, terdapat pergerakan “bicology” (bike+ecology) yang muncul di pelosok Jepang, yang melawan masyarakat mobil dan menciptakan lebih banyak lagi “eco cycle – friendly city”.

Klarifikasi isu sepeda dikemukakan oleh Profesor Chikae Watanabe dari Fakultas Teknik Universitas Kyushu Tokai; “Masyarakat modern yang menggunakan mobil menghabiskan 40 tahun untuk berkembang, dan hal tersebut akan menyita banyak waktu untuk membalikkan situasi. Mengadaptasi penggunaan sepeda di Amerika & Eropa secara mentah mungkin tidak akan berhasil di Jepang karena perbedaan konteks. Akan lebih baik apabila kota dan daerah di Jepang mencari sendiri metode yang tepat untuk digunakan di masing-masing area. Harapan saya adalah bahwa kita masih bisa bergerak maju melebihi sistem rental sepeda yang sekarang dijalankan, ke arah sistem dengan banyak tempat parkir sepeda di mana warga dapat dengan leluasa meminjam sepeda dari satu tempat dan dikembalikan ke tempat yang berbeda. Dalam beberapa tahun belakangan ini kenaikan jumlah perusahaan kereta, kota dan desa telah memperlihatkan perhatian atas sistem ini. Warga Jepang tidak bermasalah dengan sepeda yang dianggap sebagai alat transportasi yang sudah memasyarakat.”

Kesadaran atas pemeliharaan lingkungan hidup di negara maju memang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di negara berkembang seperti Indonesia. Namun tak ada salahnya bila kita mengadaptasikan beberapa hal positif yang dilakukan di negara lain untuk diterapkan di Indonesia. Dengan mengambil inti pemecahan masalah yang ditempuh, kita juga bisa mulai menumbuhkan rasa memiliki atas lingkungan sekitar kita dan memulai pemeliharaannya dengan lebih serius.

Untuk mengejar hingga taraf yang sama atau mendekati memang sedikit mustahil, tapi menumbuhkan kesadaran akan keterkaitan kita dengan lingkungan dan alam adalah yang terpenting agar kita dapat menghindari tindakan – tindakan yang bersifat merusak dan mengeksploitasi alam.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Tentang SEO: untuk kata kunci kompetisi website kompas muda - im3

Berikut ini adalah pengertian tentang SEO, untuk membantu teman-teman menggunakan kata kunci: kompetisi website kompas muda - im3. (Saya kutip tulisan ini dari http://www.seobali.com/).

Ditulis oleh: Teknik SEO Indonesia

Search Engine Optimization - dikenal luas dengan singkatan SEO - telah menjadi sesuatu yang sangat penting bagi banyak orang dengan berbagai macam latar belakang. Secara sempit SEO adalah segala upaya yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan ranking website kita di search engine (mesin pencari), baik yang kita lakukan langsung pada website kita sendiri (on-page) ataupun faktor-faktor eksternal dari luar website kita (off-page). Biasanya aktifitas ini menyangkut rekayasa terhadap elemen dan isi website kita, dan sebagian besar dilakukan tanpa memerlukan biaya.

Search Engine Marketing - SEM - memiliki cakupan yang lebih luas dari SEO. Secara khusus SEM juga mencakup PPC (pay per click - kita membayar mesin pencari untuk setiap pengunjung yang datang ke website kita melalui mesin pencari tsb.) SEM menyangkut apapun yang kita lakukan untuk mendapatkan sebanyak mungkin pengunjung ke website kita melalui mesin pencari.

Umumnya kita tidak memisahkan keduanya. SEM bertujuan untuk mendatangkan pengungjung sebanyak-banyaknya ke website kita melalui mesin pencari, dimana salah satu caranya adalah dengan memiliki ranking yang tinggi mesin pencari. Kita juga dapat memantaatkan fenomena baru di masyarakat dunia maya, yaitu media sosial. Media sosial adalah suatu bentuk jaringan untuk saling berbagi informasi di internet. Anda dapat melihatnya sebagai bentuk canggih dari cara manusia untuk berbagi informasi yang dianggapnya penting atau menarik dengan kenalan-kenalannya. Penggunaan media sosial untuk meningkatkan kunjungan ke website kita disebut Social Media Marketing (SMM).

Sebaiknya kita tidak terlalu mengkotak-kotakan hal-hal tersebut mengingat semua memiliki persamaan mendasar. Objeknya sama: website kita. Tujuannya sama: mendatangkan pengunjung sebanyak-banyaknya. Semua berada di bawah satu payung: SEM, menyangkut semua metoda yang kita pergunakan untuk mendatangkan pengunjung sebanyak-banyaknya ke website kita. Dengan popularitasnya yang berkembang sangat pesat, media sosial cepat atau lambat akan diperhitungkan mesin pencari dalam sistem rankingnya.

Ketika semua orang beramai-ramai melakukan hal yang sama, sebaiknya kita memisahkan diri dan melakukan sesuatu yang berbeda. Dalam SEO keberanian untuk tampil beda biasanya memberikan hasil yang memuaskan. Semua orang melakukan hal yang sama - tidak berarti anda tidak boleh melakukan hal sama pula. Yang saya maksud adalah anda sebaiknya melakukan hal yang sama dengan cara yang berbeda.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Greenhouse effect

From http://en.wikipedia.org/



The greenhouse effect refers to the change in the thermal equilibrium temperature of a planet or moon by the presence of an atmosphere containing gas that absorbs and emits infrared radiation. Greenhouse gases, which include water vapor, carbon dioxide and methane, warm the atmosphere by efficiently absorbing thermal infrared radiation emitted by the Earth’s surface, by the atmosphere itself, and by clouds. As a result of its warmth, the atmosphere also radiates thermal infrared in all directions, including downward to the Earth’s surface. Thus, greenhouse gases trap heat within the surface-troposphere system. This mechanism is fundamentally different from the mechanism of an actual greenhouse, which instead isolates air inside the structure so that heat is not lost by convection and conduction, as discussed below. The greenhouse effect was discovered by Joseph Fourier in 1824, first reliably experimented on by John Tyndall in the year 1858 and first reported quantitatively by Svante Arrhenius in his 1896 paper.

In the absence of the greenhouse effect and an atmosphere, the Earth's average surface temperature of 14 °C (57 °F) could be as low as −18 °C (−0.4 °F), the black body temperature of the Earth.

Anthropogenic global warming (AGW), a recent warming of the Earth's lower atmosphere as evidenced by the global mean temperature anomaly trend, is believed to be the result of an "enhanced greenhouse effect" mainly due to human-produced increased concentrations of greenhouse gases in the atmosphere. and changes in the use of land

The greenhouse effect is one of several factors which affect the temperature of the Earth. Other positive and negative feedbacks dampen or amplify the greenhouse effect.

In our solar system, Mars, Venus, and the moon Titan also exhibit greenhouse effects according to their respective environments. In addition, Titan has an anti-greenhouse effect and Pluto exhibits behavior similar to the anti-greenhouse effect.

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Kamis, 25 Desember 2008

Kata kunci: kompetisi website kompas muda - im3

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Sekarang ini dunia blogger indonesia lagi serius ngikutin kompetisi website kompas muda - im3. Kata kunci atau keyword sebenarnya tidak lepas dari tekni SEO untuk mendapatkan peringkat di google dan bersaing dengan banyak blog atau website yang lain.

Berikut ini saya ingin membagikan pengetahuan teknik SEO untuk membantu teman-teman menggunakan kata kunci: kompetisi website kompas muda - im3. (Saya kutip tulisan ini dari http://www.seobali.com/).

Memilih Keyword Yang Tepat

Ditulis oleh: Teknik SEO Indonesia
Dipublikasikan pada: September 30th, 2008

Tidak bisa dipungkiri, keyword adalah tonggak keberhasilan (atau kegagalan) SEO maupun pemasaran online secara keseluruhan. Keyword memiliki peran penting untuk menentukan dimana website kita akan tertangking oleh mesin pencari, yang pada akhirnya menentukan apakah calon pengunjung menemukan website kita atau tidak. Karena itu ketika menentukan keyword yang akan menjadi target SEO, sangat penting untuk memastikan bahwa kita memilih keyword yang tepat. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita tau apakah satu keyword tertentu tepat sementara keyword yang lain tidak tepat untuk website kita.

Pemilihan keyword yang tepat untuk website kita akan menentukan apakah website kita akan tenggelam diantara jutaan website lain, atau menjadi pilihan pertama untuk dikunjungi ketika seseorang melakukan pencarian melalui mesin pencari. Secara garis besar ada dua jenis keyword. Yang pertama adalah keyword merk, yaitu keyword yang secara langsung berhubungan atau mengandung merk dagang di dalamnya. Banyak pengunjung website melakukan pencarian dengan menggunakan merk dagang, terutama untuk produk-porduk yang namanya sudah sangat dikenal orang, misalnya daripada melakukan pencarian dengan “bali hotel” mungkin orang akan langsung melakukan pencarian dengan “sheraton bali”. Jika anda memiliki produk dengan nama yang terkenal, atau anda menjual produk jenis ini melalui website anda, maka keyword merk penting untuk anda perhatikan.

Jenis keyword yang kedua adalah keyword generik, yang secara luas dapat diartikan sebagai keyword yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nama perusahaan atau nama dagang tertentu yang anda pasarkan. Jika anda mengelola hotel murah kelas melati di Kuta dengan nama “Hotel Kamboja” misalnya, mungkin anda tidak bisa berharap mendapat pengunjung apalagi pembeli yang datang melalui pencarian dengan nama hotel tersebut sebagai keyword. Dalam hal ini, keyword generik lebih berperan, misalnya “bali budget hotel” atau “hotel in kuta”.

Namun demikian, meskipun mentargetkan untuk keyword yang mengandung nama perusahaan atau merek dagang tidak akan membawa banyak pengunjung, kita tetap perlu untuk mentargetkan kata kunci yang berhubungan atau mengandung nama perusahaan, merk dagang, bidang usaha, kategori produk, dan sebagainya. Jika kita tidak memilikinya, mungkin orang lain akan mengambil manfaat. Misalnya jika “Hotel Kamboja” disukai tamu-tamunya, melalui informasi dari mulut ke mulut atau yang lebih modern seperti forum online, namanya akan semakin dikenal. Sebuah travel agen mungkin mentargetkan satu halaman websitenya untuk keyword “Hotel Kamboja”, dan orang-orang yang mengetahui dan kemudian melalukan pencarian dengan keyword tersebut akan memesan hotel melalui travel agen tersebut, sehingga anda sebagai pengelola hotel harus membayar komisi.

Ketika anda memulai proses pemilihan keyword, sebaiknya mulailah dengan berdiksusi untuk mengumpulkan calon keyword yang berhubungan dengan bdiang usaha atau jenis produk anda. Setiap usaha atau produk memiliki kosa kata tertentu, dan ini perlu anda gali. Berfikirlah sebagai pembeli. Coba untuk tidak berfikir “jika saya mau menjual produk ini, apa yang akan saya sebut”, tapi “jika saya ingin membeli produk yang saya jual, apa yang akan saya sebut”. Mulailah dengan kata kunci yang memiliki cakupan luas, meskipun mungkin karena terlalu luas tidak terlalu banyak mendatangkan pengunjung. Kemudian baru dipersempit menjadi keyword yang lebih spesifik, tetapi mendatangkan pengunjung yang punya ketertarikan membeli lebih besar.

Sebagai contoh anda menjual produk berupa susu rendah lemak yang dikhususkan untuk mereka yang ingin menurunkan berat badan. Katakanlah anda mulai dengan “susu”. Ini relevan dengan produk yang anda jual, tapi cakupannya yang terlalu luas mungkin menyebabkan jumlah pengunjung yang datang dengan melakukan pencarian untuk keyword tersebut, belum tentu membeli. Mungkin ternyata mereka perlu susu bayi, susu berkalsium tinggi untuk orang dewasa, susu untuk ibu-ibu menyusui, sampai susu untuk anjing peliharaan. Mulailah dengan mempersempit “susu untuk dewasa” apakah ini sudah cukup sempit, mungkin belum karena masih ada jenis-jenis lain. Mungkin orang mencari susu untuk pria dewasa yang ingin menjaga kesehatan tulang, wanita dewasa yang sedang menyusui, wanita dewasa yang ingin menurunkan berat badan, dll. Sampai kemudian anda menemukan “susu diet” sebagai keyword yang tepat. Semua yang melalukan pencarian dengan kata kunci tersebut, tertarik dengan jenis produk yang anda jual.

Manfaat Berjalan Kaki

From kompas.com

Description:

Tidak hanya dapat membakar kalori tubuh dan menurunkan berat badan, ternyata berjalan kaki juga mempunyai banyak manfaat. Selain sebagai olahraga dengan risiko cedera paling rendah jalan kaki juga bisa dilakukan tanpa memerlukan banyak persiapan.

Menurut beberapa penelitian, antara lain manfaat dari olahraga adalah:

Baik untuk jantung

Duke University Medical Center mengemukakan penelitiannya bahwa berjalan kaki selama 30 menit dalam sehari dapat mengurangi metabolic syndrome, yaitu sindroma penyebab tingginya risiko terkena penyakit jantung, diabetes dan stroke. Sedangkan di Inggris sebuah penelitian menyatakan bahwa berjalan kaki selama 30 menit dalam sehari mengurangi 11% risiko seorang perempuan terkena penyakit jantung.

Mengurangi risiko kanker payudara

Journal of the American Medical Association dalam penelitiannya menyebutkan bahwa berjalan kaki beberapa jam dalam sepekan dapat mengurangi risiko kanker payudara, karena ketika berjalan timbunan lemak akan berkurang dan akan menjadi sumber estrogen.

Membuat tidur lebih nyenyak

Berjalan kaki cepat dapat meningkatkan hormon serotonin, dan berjalan kaki cepat di sore hari dapat membuat tidur lebih nyenyak (National Sleep Foundation).

Membuat langsing

Brown University dan University of Pittsburg menyebutkan bahwa berjalan kaki selama lima hari dalam sepekan dan mengkonsumsi 1.500 kalori setiap hari dapat megurangi berat badan sebanyak 11,3 Kg dalam setahun.

Mengurangi keropos tulang

Berjalan kaki selama 30 menit sebanyak tiga kali dalam seminggu dapat memperkuat tulang.

PRESIDEN: KALAU BISA SATU ORANG TANAM SATU POHON

November 28, 2008, 3:31 pm From http://www.depkominfo.go.id/
Bogor, 28/11/2008 (Kominfo-Newsroom) -

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar semua pihak memiliki tanggung jawab atas pengelolaan dan kelestarian alam di sekitarnya, dan kalau bisa tahun depan dicanangkan gerakan nasional "Satu Manusia Satu Pohon".

Himbauan Presiden itu disampaikan dalam acara Hari Menanam Pohon Indonesia di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong, Jawa Barat, Jumat (28/11).

“Masa lalu ada kecerobohan, ada penebangan hutan. Mari hentikan perilaku itu, dan merusak lingkungan,” kata Presiden Yudhoyono.

Presiden Yudhoyono mengatakan, fungsi hutan sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia di masa sekarang dan masa depan. Oleh karena itu, semua pihak dapat ikut serta menjaga kelestarian hutan melalui kegiatan tanam pohon.

Kalau bisa tahun depan kita canangkan gerakan nasional satu manusia satu pohon, one man one tree,” katanya.

Menurutnya, perusakan alam dengan melakukan penebangan pohon tidak sesuai aturan, dapat mengakibatkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Selain itu, penebangan hutan juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim.

Hutan dapat menjadi sabuk pengaman dalam keberlangsungan hidup,” kata presiden seraya berharap masyarakat dapat me lanjutkan tradisi dan kebiasaan tanam pohon setiap tahunnya.

Dalam kesempatan itu, Presiden mengharapkan agar adanya penanaman pohon secara nasional baik mulai dari pemimpin pusat hingga daerah yang juga diikuti oleh seluruh rakyat Indonesia. Kalau jumlahnya 230 juta, berarti ada penanam pohon 230 juta pula setiap tahunnya.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kehutanan MS Kaban merasa puas atas realisasi penanaman pohon yang dicanangkan sejak 2007 lalu.

Dari target menanam 79 juta pohon, ternyata yang terealisasi sebanyak 86 juta pohon. Sedangkan target 12 juta menanam pohon bagi ibu-ibu yang dikomandoi oleh Ibu Ani Ydhoyono, yang terealisasi sejumlah 14 juta pohon.

“Jadi nanti kita bikin kontes pohon. Jangan hanya Miss Universe saja yang dikonteskan,” ujar Kaban.

Tampak hadir dalam acara itu, Menteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa, Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Panglima TNI Djoko Santoso, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan 1000 undangan. (T.Ys/toeb/b).

KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG:
Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Selasa, 23 Desember 2008

Shaving Emissions

Posted on October 27, 2008
By Shannon Arvizu
From http://blogs.nationalgeographic.com/

We live in an exciting time for alternative car technologies. Innovations to increase energy efficiency and decrease unhealthy emissions are emerging at a rapid rate. From the popular Toyota Prius to the sexy Tesla Roadster, new green cars use less (or no) petroleum while satisfying driver demand for top performance.

Purchasing a new green car, however, may not be the greenest choice - particularly if your current vehicle works fine. Proper maintenance of your car (such as properly inflated tires and regularly scheduled filter changes) helps, as does driving at a moderate speed (see fueleconomy.gov for more tips).

A new product on the market, Sabertec's Blade, may also give your car a boost. The Blade is a small attachment that connects to your car's tailpipe. It improves the air flow in the catalytic converter and acts as a filter, capturing toxic exhaust particles that would otherwise circulate into the air. It was originally developed in Curitiba, Brazil (known as one of the greenest cities in South America) for city bus use and has since been adapted for passenger vehicles.

So, just how much cleaner and more fuel-efficient can your car be with Blade? An extensive review by Automotive Testing and Development Services Inc. (an independent lab licensed by the California Air Resources Board) found that Blade improved fuel efficiency on a 2004 Honda Civic an average of 2.7 mpg/city and 5 mpg/hwy. Blade also reduced the CO2 emissions of this vehicle by up to 12 percent.

Blade works best on four -cylinder cars like Honda Civics or Toyota Corollas, but has also shown improvements in light-duty trucks, sedans, SUV s and hybrids. Keep in mind, however, that Blade will only fit on a 1 7/8s- to 2 -inch tail pipe and can be damaged by extreme driving. You can install Blade yourself or have an authorized installer do it for you. Blade retails for $199. For more information, see bladeyourride.com.

Results tagged “energy” from The Green Room

Posted on December 3, 2008
By Paul McRandle
From http://blogs.nationalgeographic.com/

At the UN climate conference in Poland this week, concerns have been raised that the current economic woes may pose a roadblock to taking the carbon out of our energy sources and investing in greener energy production. However, the real question may be how to avoid short-sighted investments in dirty power plants that have to be replaced as the effects of climate change worsen. It's a question Robert F. Kennedy, Jr. took up Monday evening, speaking at a Lexus Hybrid Living "eco-salon" and fund-raiser for Waterkeeper, where he argued that carbon is the principal drag on the U.S. economy, with $700 billion of US spending going to foreign oil annually, not to mention $1.3 trillion annually in subsidies to the oil industry. If we open up the field of energy production to other sources, he notes, we may spur the same sort of boom in innovative thinking that resulted in the England's industrial revolution following the ban on slavery and the cheap energy it provided.

These innovations might well include the opportunity for homeowners to sell energy back to utilities at market rates, something currently not allowed in any state. To do so, we'll need a "smart" electricity grid, the unglamorous backbone that must be built if we're to make wind and solar our major energy sources. A smart grid would not only make possible the expansion of wind and solar power throughout the states, but would also store that energy for later use. As the Department of Energy points out, if the grid were just 5 percent more efficient, that would have the same impact on global warming as taking 53 million cars off the road. Now that would be good news this week in Poland.

Senin, 22 Desember 2008

Global Warming 101: The Science

From http://www.globalwarming.org/



A “planetary emergency—a crisis that threatens the survival of our civilization and the habitability of the Earth”—that is how former Vice President Al Gore describes global warming. Most environmental groups preach the same message. So do many journalists. So do some scientists.

You have probably heard the dire warnings many times. Carbon dioxide (CO2) from mankind’s use of fossil fuels like coal, oil, and natural gas is building up in the atmosphere. Carbon dioxide is a greenhouse gas—it traps heat that would otherwise escape into outer space. Al Gore warns that global warming caused by carbon dioxide emissions could increase sea levels by 20 feet, spin up deadly hurricanes. It could even plunge Europe into an ice age.

Science does not support these and other scary predictions, which Gore and his allies repeatedly tout as a “scientific consensus.” Global warming is real and carbon dioxide emissions are contributing to it, but it is not a crisis. Global warming in the 21 st century is likely to be modest, and the net impacts may well be beneficial in some places. Even in the worst case, humanity will be much better off in 2100 than it is today.

Red Hot New Book a Must-Read for Climate Realists

Cooler Heads
December 18, 2008
From http://www.globalwarming.org/




From the author of the New York Times bestselling Politically Incorrect Guide(tm) to Global Warming (and Environmentalism) comes Red Hot Lies, an exposé of the hypocrisy, deceit, and outright lies of the global warming alarmists and the compliant media that support them. Did you know that most scientists are global warming skeptics? Or that environmental alarmists have knowingly promoted false and exaggerated data on global warming? Or that in the Left's efforts to suppress free speech (and scientific research), they have compared global warming dissent with "treason"? Shocking, frank, and illuminating, Chris Horner's Red Hot Lies explodes as many myths as Al Gore promotes.

Meet the New Climate Change Kid on the Block

By David N. Bass on 12.19.08 @ 6:07AM
From http://www.spectator.org/archives/2008/12/19/meet-the-new-climate-change-ki/

Barack Obama announced his new energy team at a press conference Monday, sending a subtle slap down to President Bush by saying his administration would "value science" and "make decisions based on the facts."

The four appointments are a precursor to what will be the most enviro-activist administration in American history. Among others, Obama tapped Carol Browner, former EPA chief in the Clinton administration, to head up a new office in the White House designed to coordinate environmental policies. In a move that will please multiple facets of his leftist base, he also picked Nancy Sutley (an open lesbian and current deputy mayor in Los Angeles) to lead the White House Council on Environmental Quality.

The press conference underscored the Obama agenda for curbing so-called catastrophic climate change. That agenda will doubtless extend to supporting nonprofit organizations like the Climate Registry.

If you've never heard of it, don't worry. The California-based nonprofit has kept out of the headlines. But it has the potential to be a major player in the ongoing debate over climate-change policy. It's also a prime example of the snug relationship between environmentalist groups and state governments.

The Climate Registry's mission is simple: convince companies, organizations, state and local governments, and other entities to sign on and report their greenhouse gas emissions. There are several groups devoted to that cause around the country, but the registry, a 501(c)(3) tax-exempt organization, is the most far-reaching. Thirty-nine states, the District of Columbia, nine Canadian provinces, six Mexican states, and three Native American tribes have signed on as members.

Members are not required to report their emissions on a state-, province-, or tribe-wide basis. Instead, they serve as the registry's funding factory, appointing a board member, signing a statement of principles and goals, and paying a voluntary annual fee ranging from $20,000 to $50,000, depending on the state or region's population.

They also serve as a catalyst for recruiting entities within the state, province, or tribe as "reporters." For the privilege of tracking their own emissions, reporters are required to pay an annual membership fee ranging from $450 to $10,000. Nearly 300 entities have joined as reporters nationwide.

The registry has created what it calls a Climate Registry Information System that reporters use to input their greenhouse gas emissions data. The public then has access to the verified emissions reports. The "benefit" for companies is getting a leg up on tracking carbon dioxide emissions in preparation for Obama's inevitable cap-and-trade system.

That brings up the cozy relationship between the registry and state governments. The group's IRS Form 990 is not yet available, but a budget projection circulated by the group estimated $1 million in contributions from member states, provinces, or tribes for the 2008 fiscal year, well over half of the registry's estimated budget.

The funds, ostensibly, are "seed money" to get the registry up and running. Once enough reporters sign on and begin paying dues, the payments will no longer be necessary, supporters say. But stop and consider what that means: state governments across the country are serving as grantors to an out-of-state nonprofit without generating any tangible benefit for taxpayers, aside from (supposedly) fighting the giant boogieman of climate change.

State-level environmental regulatory agencies also have a dubious connection with the registry. In North Carolina, for example, the Department of Environment and Natural Resources sent a letter on agency stationery trying to recruit DENR-regulated companies to join the registry and pay membership fees. Adding to the conflict of interest, agency staffers have used taxpayer funds to travel on behalf of the registry, tried to convince other states to join the fold, and even opened up agency offices for registry recruitment sessions.

The registry claims to be policy neutral, but it's partially funded by grants from climate-change alarmist groups such as the Kendall Foundation, the Merck Family Fund, and the Energy Foundation. Its agenda is clear. In addition to advocating the voluntary reporting system, the group supports state-level mandatory reporting of greenhouse gas emissions.

Only ten states have yet to join the registry: Alaska, the Dakotas, Nebraska, Texas, Indiana, West Virginia, Louisiana, Arkansas, and Mississippi. With Obama stepping up efforts to create a national cap-and-trade system -- maybe with the registry at the forefront -- any last holdouts will face enormous pressure.

In the past, Americans have valued liberty above safety. That's changing. Today, we fork out trillions in the name of economic stabilization, surrender civil liberties in the name of fighting the war on terror, and sign away our freedoms in the name of reducing temperatures and sea levels. Forgotten is that the chief purpose of government is securing our God-given liberty, not securing us.

Kyoto Veteran Has Deja Vu

Iain Murray
December 18, 2008

Rep. Jim Sensenbrenner was present at the Kyoto negotiations back in 1997, and predicted their failure because of the inability to get the developing nations like China to commit to emissions reductions. He has recently returned from the Poznan Conference of the Parties aimed at drawing up Kyoto II, and is of the opinion that nothing has been learned from history. He has set out his concerns in a letter to President-elect Obama (copy below).

Of course, in many ways the developing nations are right to object to the imposition of emissions restrictions. Emissions represent the fastest way out of poverty for their peoples. That's why, as I argue here, we need to think again and move away from the emissions reduction paradigm as the only solution to the global warming risk. Nevertheless, Rep. Sensenbrenner is to be congratulated for calling attention to at least one reason why the current approach is doomed to failure.

Letter follows.

+++++

The Honorable Barack Obama

President-Elect of the United States

451 6th St., N.W.

Washington, D.C. 20002

Dear Mr. President-Elect:

On November 18, speaking by videotape to the Bi-Partisan Governors’ Global Climate Summit, you invited Members of Congress who would be attending the 14th Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) in Poznań, Poland to report back to you on what they learned there. I have just returned from serving as the only Member of the U.S. House of Representatives to observe the negotiations and the only Member of Congress to observe the entire final week. I am happy to accept your invitation.

By way of background, I currently serve as the Ranking Republican Member of the Select Committee on Energy Independence and Global Warming, a committee created by House Speaker Nancy Pelosi in the 110th Congress to study policies, strategies and technologies to substantially and permanently reduce emissions that contribute to global warming. I have attended three prior UNFCCC Conferences of Parties and led the U.S. House delegation to Japan, which observed the 1997 negotiations that produced the Kyoto Protocol.

I am deeply concerned that the current negotiations, which are intended to lead to a new international treaty to replace the Kyoto Protocol next year in Copenhagen, are recreating Kyoto’s fatal flaws. Specifically, any treaty that does not include legally binding and verifiable greenhouse gas emissions reductions from developing countries will not be ratified by the U.S. Senate because it will not accomplish the fundamental goal of reducing global emissions.

You are aware of the Byrd-Hagel Resolution, which the U.S. Senate adopted by a 95-to-0 vote on July 25, 1997, expressing the sense of the Senate that the U.S. should not be a signatory to an agreement that does not include specific scheduled commitments to limit greenhouse gas emissions for developing countries or will result in serious harm to the U.S. economy. Because the Kyoto Protocol failed to satisfy these requirements, neither President Clinton nor President Bush submitted the treaty to the Senate for ratification. At a meeting in Poznań, Senator John Kerry and Vice President Al Gore agreed that an international treaty must include mandatory emissions reductions from developing countries.

The current negotiations seem to be leading toward a similarly flawed outcome. At another meeting in Poznań, I met with negotiators from foreign countries, including China and India. These countries, the first and third largest CO2 emitters in the world, clearly stated that they would not accept legally binding emissions reductions.

The impasse that international negotiators have reached indicates that a new strategy is necessary. I am eager to assist you in emphasizing that, without legally-binding, verifiable commitments from all nations, global reductions in greenhouse gas emissions are neither scientifically nor politically achievable.

I look forward to scheduling a more detailed briefing.

My best wishes to you and your family during this holiday season.


Sincerely,


F. James Sensenbrenner


Sumber: http://www.globalwarming.org/
KOMPETISI DESAIN DAN PENULISAN WEB / BLOG: Kompetisi Website Kompas MuDA - IM3

Sabtu, 20 Desember 2008

Kampanye Hemat Energi, Efektifkah ?

A Susana Kurniasih (Suara Pembaruan)

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berusaha menekan pertumbuhan permintaan tenaga listrik dengan cara mengkampanyekan penggunaan lampu hemat energi. Efektifkah cara ini ?

anajemen PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pusing tujuh keliling. Target pertumbuhan listrik yang dicanangkan hanya sebesar enam persen per tahun di Jawa, selalu terlewatkan. Padahal, dengan alasan kondisi ekonomi sedang tidak baik, pelanggan masih keberatan membayar tarif listrik sesuai harga keekonomiannya.

Akibat pertumbuhan yang pesat, cadangan listrik yang dimilikinya makin cepat berkurang, bahkan lebih rendah dari cadangan normal yang seharusnya ada, yakni 30 persen.

Berencana membangun pembangkit baru dengan kekuatan finansial sendiri, sungguh tidak mungkin karena kemampuan perusahaan tak ada. Sementara mengundang investor pun masih sulit dilakukan karena rendahnya tarif.

Tingkat kepanikan PLN makin tinggi ketika pada Januari 2003 lalu terbetik kabar realisasi pembangunan PLTU Tanjung Jati B di Jawa Tengah terancam terlambat lagi. Padahal proyek itu dijadwalkan untuk menyelamatkan pasokan listrik di Jawa pada 2005.

Ganjalan realisasi proyek adalah aturan dari Departemen Perindustrian yang menginginkan agar investor pelaksana proyek melakukan imbal dagang ketika mendatangkan peralatan dari luar negeri untuk membangun proyek itu.

Keharusan itu membuat Sumitomo, si pelaksana proyek merengut. Mereka keberatan karena saat negosiasi, kewajiban itu tidak pernah dibicarakan. Sementara kalau kewajiban itu diikuti, Sumitomo harus melibatkan pihak ketiga. Maklum, ia bukan importir. Akibatnya, perusahaan pun juga harus mengeluarkan dana ekstra.

PT PLN, yang bakal menjadi mitra Sumitomo ikut khawatir menunggu penyelesaian masalah ini. Sebab keterlambatan proyek akan membawa dampak yang cukup mengkhawatirkan.

Contoh nyata telah terjadi. Ketika realisasi pembangunan Tanjung Jati B mundur satu tahun karena skema pendanaannya belum disetujui pemerintah, PLN harus menyiapkan sumber listrik baru untuk menambal kekurangan listrik di Jawa pada tahun itu. Untuk itu, pada tahun 2003 BUMN itu harus pontang-panting mencari pinjaman dan mengeluarkan obligasi, untuk membangun 6x100 MW PLTU Muara Tawar di Jawa Barat.

"Padahal keberadaan PLTU Tanjung Jati B belum menutup seluruh kekurangan pasokan listrik di Jawa. Pada tahun 2005 masih ada kekurangan 400 MW. Setahun kemudian masih akan ada kekurangan 900 MW," kata Direktur Utama PT PLN, Eddie Widiono beberapa waktu lalu.

Hemat Energi

Agar rongga kekurangan tidak semakin besar, PT PLN mulai mengkampanyekan program-program untuk hemat energi listrik yang harus diproduksinya. Salah satunya adalah mengkampanyekan program lampu hemat energi ke rumah tangga kecil, yakni RI 450 VA dan 900 VA.

Sasaran dijatuhkan pada kelompok pelanggan ini karena jumlah mereka lah yang paling banyak, yakni mencapai 18 juta pelanggan. Padahal mereka hanya menggunakan listrik pada sore hari, yakni pada saat beban puncak.

Direktur Operasi PT PLN, Tunggono menargetkan pada tahun 2003 kelompok pelanggan ini akan mengganti 20 juta titik lampu yang digunakannya dengan lampu hemat energi. Kalau target tercapai, maka akan ada penghematan konsumsi listrik sebesar 640 MW pada saat beban puncak.

Bagi PLN, penghematan sebesar ini sangat besar dampaknya karena berarti bisa menghemat investasi di sisi pembangkitan, karena 600 MW itu setara PLTU Tanjung Jati B yang bakal menghabiskan investasi US$ 2,5 miliar.

Di sisi lain, konsumen juga akan diuntungkan karena rekening listriknya akan turun. Hitungannya, satu bohlam lampu 40 watt diganti dengan lampu hemat energi 8 watt, maka akan ada penghematan 32 watt. Dengan tarif rata-rata Rp 300 per KwH, maka setiap bulan satu titik lampu yang digantikan itu akan menghasilkan penghematan sekitar Rp 2.500, atau tepatnya Rp 32.000 per tahun.

Agar target tercapai, PLN akan memberikan subsidi kepada pelanggan Rp 3.000 per lampu, sehingga harganya menjadi sekitar Rp 12 ribu per buah. Namun pelanggan yang berhak mendapatkan diskon hanyalah pelanggan rumah tangga kecil 450 VA dan 900 VA. Sepanjang tahun 2003, setiap pelanggan hanya berhak membeli tiga buah bohlam lampu.

Cara mendapatkannya, setiap pelanggan datang ke loket pelayanan PLN di daerah masing-masing dengan membawa rekening listrik bulan sebelumnya. Setelah rekening dicocokkan dengan data administrasi kami, pelanggan bisa mendapatkan bohlam lampu yang disubsidi tersebut.

Untuk itu, PLN juga telah menjalin kerja sama dengan lima produsen lampu hemat energi, yakni Philips, General Electic, Osram, Chiyoda dan National.

"Mereka akan memberikan kemasan khusus pada lampu hemat energi ini," kata Tunggono. Selain itu semua produsen akan memberikan garansi selama satu tahun kepada konsumen bila ternyata lampu yang dijualnya tidak bisa digunakan selama 6.000 jam pemakaian atau sekitar empat tahun.

Efektifkah ?

Namun Ketua Umum Asosiasi Industri Perlampuan Listrik Indonesia, John Manoppo menyangsikan efektivitas program yang digelar PLN itu. Berkaca pada hasil program serupa yang digelar pada tahun lalu, Manoppo bahkan memperkirakan lampu hemat energi yang akan terjual pada tahun ini hanya 35 persen dari target PLN. Penyebabnya, harga lampu terlalu mahal.

"Tahun lalu, ketika PLN mulai mengenalkan program lampu hemat energi dan menjualnya pada harga Rp 19.000, yang terjual hanyalah 300.000 buah lampu. Padahal pelanggan PLN mencapai 30 juta dan diperkirakan ada 120 juta titik lampu," katanya pesimistis. Agar target tercapai, Manoppo mengusulkan agar PLN memberi diskon yang lebih besar lagi, bahkan kalau memungkinkan subsidinya Rp 12 ribu per buah lampu, sehingga pelanggan hanya membeli pada harga Rp 3 ribu. Manoppo yakin subsidi yang besar ini tidak akan merugikan PLN karena hanya akan memaksa BUMN itu mengeluarkan dana Rp 240 miliar.

"Dana itu masih jauh lebih kecil dibanding kalau PLN harus membangun pembangkit berkekuatan setara listrik yang dibutuhkan untuk menyalakan 20 juta titik lampu 40 watt," katanya.

Keuntungan lain yang bakal diperoleh Indonesia, produsen-produsen lampu akan berinvestasi di Indonesia untuk memproduksi lampu hemat energi. Kalau permintaannya masih rendah seperti saat ini, Indonesia malah akan menguntungkan Cina, sebagai sentra produsen lampu hemat energi Asia Pasific saat ini.

Catatan Aperlindo, produsen lampu di Indonesia seperti Philips, GE dan Osram saat ini hanya memproduksi lampu pijar. Sementara yang memproduksi lampu hemat energi hanyalah Chiyoda Focus dan Matsushita Lighting Indonesia. Itupun sangat sedikit.

Sebagai gambaran, setiap tahun Cyoda yang bernaung di bawah bendera PT Sinar Angkasa Rungkut memproduksi 215 juta lampu pijar, 60 juta lampu neon dan 10 juta lampu hemat energi. Sementara Matsushita Lighting Indonesia yang memproduksi merek lampu National Panasonic memproduksi 7 juta lampu neon dan 5 juta lampu hemat energi.

"Jadi kalau pemakaian lampu sangat terbatas, barang Cina akan makin banyak yang masuk Indonesia. Bisa-bisa hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah buruh pabrik lampu di Indonesia," kata Manoppo.

Sebagai catatan tambahan, 80 persen konsumsi lampu hemat energi yang dikonsumsi Indonesia pada tahun 2002 masih didatangkan dari Cina. Mereka masuk secara legal maupun ilegal.*

Sumber : Suara Pembaruan