A. LATAR BELAKANG
Anak berbakat memiliki kepribadian yang unik. Umumnya mereka memiliki minat yang kuat terhadap berbagai bidang yang menjadi interestnya, sangat tertarik terhadap berbagai persoalan moral dan etika, sangat otonom dalam membuat keputusan dan menentukan tindakan. Sejumlah karakteristik yang unik ini jika tidak dipahami dengan benar oleh para pendidik dan orang tua, maka akan menimbulkan persepsi seolah-olah anak berbakat adalah individu yang keras kepala, tidak mau kompromi bahkan ada yang secara ekstrim menilai anak berbakat rendah sikap.
Mempertimbangkan keunikan karakteristik kepribadian anak berbakat seperti tersebut di atas maka diperlukan cara-cara khusus dalam mengelola atau memfasilitasi kegiatan belajar anak berbakat. Sikapnya yang otonom dipadu dengan task commitment yang tinggi dan minatnya terhadap banyak aspek kehidupan serta nilai-nilai moral maka wajar jika anak berbakat memiliki perilaku belajar yang berbeda dengan anak umum.
Mereka membutuhkan layanan pendidikan spesifik agar potensi keberbakatannya dapat berkembang sehingga mencapai aktualisasi diri yang optimal. Mendorong aktualisasi potensi keberbakatan anak, pada perkembangannya akan menjadi salah satu pilar kekuatan bangsa dalam pertarungan dan persaingan antar bangsa-bangsa di era global. Tanpa pelayanan pendidikan yang relevan, anak berbakat akan menjadi kelompok marjinal yang gagal memberikan sumbangan signifikan bagi kemajuan bangsa ini. Jika hal itu dibiarkan terus berlangsung maka sesungguhnya kita telah melakukan “penganiayaan” dan menyia-nyiakan anugerah Ilahi yang amat besar.
Salah satu koridor pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa adalah melalui program akselerasi (percepatan belajar). Sebagaimana dikatakan E. Mulayasa Menyediakan program-program khusus sebagai usaha untuk penanganan anak berbakat diantaranya adalah dengan diselenggarakannya program akselerasi sebagai layanan terhadap perbedan perorangan dalam diri siswa.
Melihat kecepatan perkembangan teknologi yang menuntut adanya SDM berkualitas, dunia pendidikan perlu segera melangkah menyelenggarakan program akselerasi (percepatan belajar). Ini perlu dilakukan sebagai pemikiran dan alternatif yang berwawasan masa depan untuk menyiapkan anak bangsa sedini mungkin sebagai calon pemimpin berkualitas namun tetap bermoral dengan menjunjung budaya dan adat ketimuran dalam menghadapi globalisasi teknologi yang penuh kompetisi. Untuk itu, siswa pemilik bakat dan kecerdasan luar biasa jauh di atas normal (yang memiliki skor IQ 125 ke atas) harus mendapat perhatian khusus. Mereka cenderung lebih cepat menguasai materi pelajaran. Keadaan ini memungkinkan, kemunculan perilaku baru, mereka akan membuat kelas kurang tertib. Disamping itu, lambat laun akan menjadikan bersangkutan melakukan perbuatan di luar kontrol. Melihat hal tersebut, siswa berkemampuan luar biasa perlu ditangani secara khusus agar dapat berkembang secara alamiah dan optimal. Yaitu lewat proses akselerasi (percepatan) belajar.
Program akselerasi atau program percepatan merupakan suatu program untuk peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa atau dengan kata lain program untuk mempercepat mas studi bagi peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan tinggi yang berhak untuk mendapat perhatian khusus agar dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya. Misalnya SD diselesaikan dalam 4 tahun, SMP dalam 2 tahun begitu juga dengan SMA. Dengan kata yang lebih klise, menyiapkan “pendekar” calon pemimpin masa depan.
Jaminan pemerintah terhadap pelayanan pendidikan bagi anak berbakat akademik (intelektual) atau lazim disebut peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dinyatakan dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Bab IV pasal 5 ayat (2) yang berbunyi: “warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan / atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.
Diperjelas dalam pasal 5 ayat (4) yang berbunyi: “warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Disebutkan juga dalam pasal 12 ayat (1) point b yaitu: “mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya”. Dan point f yang berbunyi: “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Ketentuan mengenai semua amanat tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Mengenai Kesungguhan untuk mengembangkan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ditekankan pula oleh Presiden Rebuplik Indonesia ketika menerima anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tanggal 19 Januari 1991, yang menyatakan bahwa: “agar lebih memperhatikan pelayanan pendidikan terhadap anak-anak yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa”.
Pada tahun pelajaran 2001/2002, pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Luar Biasa, menetapkan kebijakan untuk melakukan sosialisasi atau melaksanakan pemerataan terhadap sekolah yang mengajukan proposal untuk menyelenggarakan program percepatan belajar, khususnya di ibu kota beberapa propinsi.
Namun sayangnya, penanganan anak berbakat belum mendapatkan perhatian serius baik dari pihak pemerintah maupun masyarakat. Layanan pendidikan untuk anak berbakat di Indonesia masih relatif terbatas, kesadaran para guru dan orang tua akan kebutuhan anak berbakat juga dirasa kurang. Moegiadi Dkk dalam Nugroho menjelaskan bahwa berpuluh tahun orientasi kebijakan pendidikan di Indonesia memang lebih diarahkan untuk mengatasi masalah pemerataan kesempatan mendapatkan pendidikan dari pada memperhatikan kelompok-kelompok khusus dengan kebutuhan layanan pendidikan yang spesifik seperti yang dibutuhkan oleh anak-anak berbakat
Sejarah penyelenggaraan pendidikan anak berbakat di Indonesia memang belum mantap seperti di negara-negara maju yang telah memulai pendidikan anak berbakat lebih awal. Jika dicermati berbagai upaya memberikan pelayanan pendidikan untuk anak berbakat yang ditempuh oleh pemerintah mengalami pasang-surut (timbul-tenggelam) dan terkesan kurang konsisten. Oleh karena itu bisa dimaklumi jika hasil yang dicapai juga belum optimal, bahkan disana sini terkesan masih mencari bentuk atau sebatas proyek-proyek uji coba.
Pendidikan Agama Islam adalah salah satu pendidikan yang mempunyai fokus (emphasis) untuk lebih memberikan nilai-nilai dan norma-norma yang memberi arah, arti dan tujuan hidup manusia. Pendidikan Agama Islam sebagai apresiasi bentuk kesadaran beragama secara ideal merupakan suatu kegiatan yang menanamkan nilai-nilai etika dan moral baik secara khusus maupun universal mulai dari lingkup besar (suatu negara atau bangsa). Negara yang memiliki pengakuan terhadap suatu agama akan melakukan pendidikan moral melalui pendidikan agama (sekolah agama).
Istilah "Pendidikan Agama Islam " memuat dua masalah yang sangat fundamental bagi kehidupan manusia yaitu masalah pendidikan dan masalah agama Islam. Keduanya secara langsung menyangkut kepentingan umum. Dalam konteks ini pendidikan agama secara yuridis formal termuat dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI pasal 15 yang berbunyi: “ jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus”. Diperjelas lagi dalam pasal 37 ayat (1) yang menyatakan: “ kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahsa; d. matematika; e. ilmu pengetahuan alam; f. ilmu pengetahuan sosial; g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. keterampilan/kejuruan; dan j. muatan lokal”.
Dicantumkannya pendidikan agama dalam UUSPN itu, merupakan suatu kebijakan politik pemerintah yang sekaligus memberikan rambu-rambu kepada pengelola dan pelaksana pendidikan agama yaitu meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki implikasi moral dan etika yang tinggi. Pendidikan Agama Islam (PAI) yang dimaksud dalam kajian ini adalah: “usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati, dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.”
Banyak sekali usaha yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas Pendidikan Agama Islam. Suatu usaha yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan di Indonesia, dan sekaligus hendak memberikan konstribusi dalam menjabarkan makna Pendidikan Nasional yang berfungsi:
“Mengembangkan kemampuan dan membangun watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.”
Oleh karena itu, menjadi penting Pendidikan Agama Islam bagi anak yang memiliki kecerdasan dan keberbakatan tingkat tinggi ini. Melewati proses pembelajaran yang mengejewantahkan tentang penanaman nilai-nilai Islam, dengan tidak melupakan etika sosial. Dalam hal ini Pendidikan Agama Islam bagi anak berbakat memiliki kontribusi besar, agar anak itu mampu menjadi siswa akseleran yang berkualitas; memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang berimbang. Sehingga dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan bentuk sikap berbudi pekerti luhur dan bermartabat serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam skripsi ini diambil judul Implementasi Program Akselerasi Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA Negeri 3 Malang. Bagaimana Pendidikan Agama Islam (PAI) dalam ranah kognitif dipelajari dalam sebuah kelas khusus bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (Berbakat) dengan jangka waktu yang lebih cepat dalam menyelesaikan pendidikannya dibandingkan dengan kelas reguler pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta, 2002.
Djunaidi, Almanshur. Metodelogi PenelitianPendidikan Pendekatan Kuantitatif. UIN-Malang PERS, Malang, 2009
Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Pusat studi agama, politik dan masyarakat (PSAPM) bekerja sama dengan Pustaka Pelajar, Surabaya, 2003.
Muhaimin. Paradigma Pendidikan Islam. Rosda Karya, Bandung, 2002.
Mulyasa, E. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003.
Nurhadi, Dkk. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri Malang, Malang, 2004.
Tilaar, H.A.R. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta, Jakarta, 2000.
Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003.
Zuhairini & Abdul Ghofir. Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. UM Malang bekerja sama dengan Fak. Tarbiyah UIN Malang, 2004.
Selasa, 22 Juni 2010
Minggu, 20 Juni 2010
EFEKTIFITAS PONDOK RAMADHAN TERHADAP PENGEMBANGAN MATERI PENDIDIDKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM
A. LATAR BELAKANG
Kompleksitas problematika kehidupan di era globalisasi telah menawarkan banyak tantangan dan keuntungan bagi kelangsungan hidup manusia. Dan tantangan yang paling berat dalam hal ini adalah persoalan pilihan nilai moral, budaya, dan keagamaan, terutama bagi kalangan remaja. Hal ini disebabkan oleh faktor psikologis mereka yang mengalami masa pubertas (masa pencarian nilai-nilai/ norma yang dirasa sesuai dengan dunianya). Tantangan tersebut nampaknya menjadi problematika tersendiri bagi para guru agama untuk segera diatasi atau bahkan diantisipasi sedini mungkin.1
Abu Ahmadi juga menjelaskan bahwa penanaman nilai-nilai agama Islam sejak dini sangatlah diperlukan guna mendukung dan mewujudkan tujuan dari pendidikan agama Islam. Terutama pada masa seperti saat ini, di mana multi krisis telah sangat akrab dengan kehidupan kita, khususnya masalah krisis moral. Selain itu, agama Islam memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Atau, dengan kata lain bahwa ajaran Islam berisi pedoman–pedoman pokok yang harus digunakan untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera di dunia sekarang dan di akhirat nanti. 2
Dengan demikian, peran guru agama Islam di sekolah sangat berpengaruh dalam pembinaan karakter/ kepribadian siswa yang dididiknya. Sebab materi pendidikan agama yang diajarkan lebih sering menyentuh masalah moral dan perilaku manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini, guru agama diharapkaan dapat mengembangkan potensi positif yang dimiliki oleh setiap siswanya. Karena pada dasarnya setiap insan itu membawa potensi kebaikan sebagaimana telah disabdakan Rasulullah saw:
حَدَّثَناَ عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا يُوْنُسُ عَنِ الزُّهْرِى أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ سَلْمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تَحُسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ.(من صحيح البخاري كتاب الجنائز, رقم: 1270, إذا أسلم الصبي)
ِArtinya: Rasulullah saw bersabda: "Tiada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi sebagaimana binatang ternak yang dicocok hidungnya dan apakah kamu menganggap hal itu sebagai suatu paksaan"(H.R. Bukhori, Kitab Jenazah, no 1270, Bab ketika seorang anak masuk Islam).3
Masruhi Sudiro4 dalam bukunya “Islam Melawan Narkoba” menyatakan bahwa kurang lebih 30% penduduk Indonesia adalah remaja yang berusia 10-24. tahun. Selain merupakan potensi yang luar biasa bagi usaha-usaha pembangunan, maka usia tersebut merupakan sasaran utama penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut akan menjadi semakin runyam manakala kita ketahui bahwa kegiatan kejahatan narkotika adalah kejahatan yang terorganisasi dengan rapi dan bersifat internasional yang beroperasi dengan sistem jaringan yang tertutup dan rahasia.
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi para guru agama untuk mengabaikan masalah kontekstualisasi pengajaran agama agar para siswanya dapat menyerap esensi dari ajaran agama tersebut dengan baik dan benar. Dengan demikian, penafsiran al-Qur'an secara kontekstual sangat diperlukan, mengingat bahwa al-Qur'an diturunkan bukan saja untuk berdialog dengan orang-orang yang hidup di masa sekarang, maupun untuk orang-orang yang hidup di masa yang akan datang.5
Proses pemwahyuan al-Qur'an meski secara bertahap, tetapi cakupan maknanya menjangkau ke seluruh ruang dan waktu manusia. Karena autentitas al-Qur'an selalu diperhadapkan kepada dua hal pokok. Pertama, bagaimana al-Qur'an selalu aktual dan koheren dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, bagaimana orisinalitas keberadaan al-Qur'an tetap terjaga meski penafsiran atasnya tetap berubah-ubah.6
Dan seorang guru agama, hendaknya sebelum menanamkan nilai-nilai agama harus mencermati berbagai pendekatan dan metode yang tepat untuk diterapkan. Sebab, tujuan yang baik belum tentu mendapat respon positif, jika metode penyampaiannya tidak sesuai dengan karakter yang dimiliki siswa, begitu juga dengan karakteristik materi yang akan disampaikan. Sebaiknya para guru agama melakukan pedekatan yang bersifat dialogis dan sosiologis, bukannya pendekatan yang bersifat normatif dogmatis sebagaimana yang telah terjadi di beberapa sekolah selama ini.
Kadang-kadang ada perlunya siswa kita ajak mengalami proses inter-disiplinaritas dalam menghadapi kasus-kasus yang kompleks, agar pengetahuan siswa berkembang menjadi lebih luas, terintegrasi, dan tersusun logis, untuk menghindari berpikir yang sempit dan kerdil.7
Dalam hal ini, sekolah seringkali memanfaatkan momen yang sangat berharga bagi umat Islam yaitu bulan suci Ramadhan, karena bulan ini merupakan kesempatan yang sangat berarti sekali bagi para guru agama untuk lebih memperdalam pemahaman siswa terhadap ajaran agamanya. Beraneka model kegiatan yang dilakukan dalam menyemarakkan bulan suci ini. Kegiatan–kegiatan semacam ini lebih dikenal dengan kegiatan pondok Ramadhan.
Pondok Ramadhan merupakan suatu kegiatan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal baik yang berbasis umum maupun agama. Di samping itu kegiatan semacam ini merupakan aset nasional dalam pembinaan moral remaja sebagai langkah preventif dan kuratif yang cukup efektif dan efisien. Sebab tindakan semacam ini dapat digolongkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti bidang studi agama, walaupun sifatnya insidental.
Pendekatan yang dilakukan oleh para pembina pondok Ramadhan diharapkan dapat menyentuh rohani mereka untuk melihat lebih jauh peran mereka di dunia ini. Setidaknya fenomena seperti ini menjadi suatu tradisi yang perlu dipertahankan dan dilestarikan serta dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa mencapai target dengan efektif dan efisien. Dan tentunya selama masa-masa perkembangannya, pondok Ramadhan memiliki dinamika tersendiri yang seharusnya mendapat perhatian serius dari para pihak sekolah atau para pemerhati pendidikan, terutama untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai bentuk dekadensi moral remaja, seperti free sex yang semakin membudaya sebagai akibat dari pergaulan bebas yang selama ini telah berubah menjadi trend anak muda.
Pada dasarnya kegiatan pondok Ramadhan ini menjadi sarana tafaqquh fi al-din (pendalaman agama) yang mengemban misi kerasulan Nabi Muhammad saw, sekaligus melestarikan ajaran Islam yang selama ini mulai dikesampingkan oleh anak-anak dan kaum remaja sekolah yang notabene mereka tergolong masyarakat terpelajar dan terdidik. Di samping itu, melalui kegiatan pondok Ramadhan diharapkan internalisasi nilai-nilai dan pesan moral agama dapat tercapai dengan baik.
Dan maksud Tuhan untuk menurunkan firman-firman-Nya sebagai hudan (petunjuk), nur (cahaya), tibyan (penjelas), dan syifa' (obat) menjadi tidak bisa ditangkap oleh manusia lantaran mayoritas umat Islam masih terpaku pada makna teks. Akhirnya, bagaimana sebuah pemahaman wacana qur'anik mesti dihidupkan adalah dengan menciptakan ide-ide yang bisa diterima oleh semua umat manusia dan berbagai fungsi penurunan al-Qur'an itu bisa dipenuhi. Cita cita al-Qur'an bukan eksklusif, tapi humanis dan universal sebagai rahmatan li al-'alamiin.8
Salah satu unsur utama dalam kegiatan pondok Ramadhan agar berjalan optimal adalah pengembangan variasi metode pengajarannya. Karena suatu materi yang berkualitas tinggi, jika tidak disampaikan dengan menggunakan strategi yang jitu, maka mustahil dapat mencapai target ataupun tujuan yang telah ditentukan dengan rapi dalam perencanaan sebelumnya secara efektif dan efisien.
Meskipun kegiatan semacam ini sangat membantu meringankan para guru agama sebagai pengemban misi moral di sekolah, namun tidak akan berhasil dengan baik, jika tidak didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan kata lain, metode, materi, media dan unsur pendidikan lainnya harus benar-benar dijadikan sebagai konsentrasi awal dalam proses pembinaan moral siswa-siswinya, terutama yang seringkali bermasalah dengan guru bimbingan konseling.
Namun realita menyatakan adanya bentuk-bentuk pengajaran yang hanya mencapai proses transfomasi ilmu pengetahuan tanpa ada penanaman nilai-nilai yang seharusnya tertancap dalam diri setiap siswanya. Di samping itu, saat ini sangat minim sekali pihak sekolah yang mengadakan program-program kegiatan pondok Ramadhan yang didesain khusus bagi kalangan remaja yang lebih menantang dan merangsang mereka untuk berpartisipasi secara utuh dalam mengikuti kegiatan ini.
Kompleksitas problematika kehidupan di era globalisasi telah menawarkan banyak tantangan dan keuntungan bagi kelangsungan hidup manusia. Dan tantangan yang paling berat dalam hal ini adalah persoalan pilihan nilai moral, budaya, dan keagamaan, terutama bagi kalangan remaja. Hal ini disebabkan oleh faktor psikologis mereka yang mengalami masa pubertas (masa pencarian nilai-nilai/ norma yang dirasa sesuai dengan dunianya). Tantangan tersebut nampaknya menjadi problematika tersendiri bagi para guru agama untuk segera diatasi atau bahkan diantisipasi sedini mungkin.1
Abu Ahmadi juga menjelaskan bahwa penanaman nilai-nilai agama Islam sejak dini sangatlah diperlukan guna mendukung dan mewujudkan tujuan dari pendidikan agama Islam. Terutama pada masa seperti saat ini, di mana multi krisis telah sangat akrab dengan kehidupan kita, khususnya masalah krisis moral. Selain itu, agama Islam memuat ajaran tentang tata hidup yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Atau, dengan kata lain bahwa ajaran Islam berisi pedoman–pedoman pokok yang harus digunakan untuk menyiapkan kehidupan yang sejahtera di dunia sekarang dan di akhirat nanti. 2
Dengan demikian, peran guru agama Islam di sekolah sangat berpengaruh dalam pembinaan karakter/ kepribadian siswa yang dididiknya. Sebab materi pendidikan agama yang diajarkan lebih sering menyentuh masalah moral dan perilaku manusia baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Dalam hal ini, guru agama diharapkaan dapat mengembangkan potensi positif yang dimiliki oleh setiap siswanya. Karena pada dasarnya setiap insan itu membawa potensi kebaikan sebagaimana telah disabdakan Rasulullah saw:
حَدَّثَناَ عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا يُوْنُسُ عَنِ الزُّهْرِى أَخْبَرَنِيْ أَبُوْ سَلْمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تَحُسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ.(من صحيح البخاري كتاب الجنائز, رقم: 1270, إذا أسلم الصبي)
ِArtinya: Rasulullah saw bersabda: "Tiada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan suci, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi sebagaimana binatang ternak yang dicocok hidungnya dan apakah kamu menganggap hal itu sebagai suatu paksaan"(H.R. Bukhori, Kitab Jenazah, no 1270, Bab ketika seorang anak masuk Islam).3
Masruhi Sudiro4 dalam bukunya “Islam Melawan Narkoba” menyatakan bahwa kurang lebih 30% penduduk Indonesia adalah remaja yang berusia 10-24. tahun. Selain merupakan potensi yang luar biasa bagi usaha-usaha pembangunan, maka usia tersebut merupakan sasaran utama penyalahgunaan narkotika. Hal tersebut akan menjadi semakin runyam manakala kita ketahui bahwa kegiatan kejahatan narkotika adalah kejahatan yang terorganisasi dengan rapi dan bersifat internasional yang beroperasi dengan sistem jaringan yang tertutup dan rahasia.
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi para guru agama untuk mengabaikan masalah kontekstualisasi pengajaran agama agar para siswanya dapat menyerap esensi dari ajaran agama tersebut dengan baik dan benar. Dengan demikian, penafsiran al-Qur'an secara kontekstual sangat diperlukan, mengingat bahwa al-Qur'an diturunkan bukan saja untuk berdialog dengan orang-orang yang hidup di masa sekarang, maupun untuk orang-orang yang hidup di masa yang akan datang.5
Proses pemwahyuan al-Qur'an meski secara bertahap, tetapi cakupan maknanya menjangkau ke seluruh ruang dan waktu manusia. Karena autentitas al-Qur'an selalu diperhadapkan kepada dua hal pokok. Pertama, bagaimana al-Qur'an selalu aktual dan koheren dengan kebutuhan masyarakatnya. Kedua, bagaimana orisinalitas keberadaan al-Qur'an tetap terjaga meski penafsiran atasnya tetap berubah-ubah.6
Dan seorang guru agama, hendaknya sebelum menanamkan nilai-nilai agama harus mencermati berbagai pendekatan dan metode yang tepat untuk diterapkan. Sebab, tujuan yang baik belum tentu mendapat respon positif, jika metode penyampaiannya tidak sesuai dengan karakter yang dimiliki siswa, begitu juga dengan karakteristik materi yang akan disampaikan. Sebaiknya para guru agama melakukan pedekatan yang bersifat dialogis dan sosiologis, bukannya pendekatan yang bersifat normatif dogmatis sebagaimana yang telah terjadi di beberapa sekolah selama ini.
Kadang-kadang ada perlunya siswa kita ajak mengalami proses inter-disiplinaritas dalam menghadapi kasus-kasus yang kompleks, agar pengetahuan siswa berkembang menjadi lebih luas, terintegrasi, dan tersusun logis, untuk menghindari berpikir yang sempit dan kerdil.7
Dalam hal ini, sekolah seringkali memanfaatkan momen yang sangat berharga bagi umat Islam yaitu bulan suci Ramadhan, karena bulan ini merupakan kesempatan yang sangat berarti sekali bagi para guru agama untuk lebih memperdalam pemahaman siswa terhadap ajaran agamanya. Beraneka model kegiatan yang dilakukan dalam menyemarakkan bulan suci ini. Kegiatan–kegiatan semacam ini lebih dikenal dengan kegiatan pondok Ramadhan.
Pondok Ramadhan merupakan suatu kegiatan pendidikan keagamaan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan formal baik yang berbasis umum maupun agama. Di samping itu kegiatan semacam ini merupakan aset nasional dalam pembinaan moral remaja sebagai langkah preventif dan kuratif yang cukup efektif dan efisien. Sebab tindakan semacam ini dapat digolongkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang dapat menunjang keberhasilan siswa dalam mengikuti bidang studi agama, walaupun sifatnya insidental.
Pendekatan yang dilakukan oleh para pembina pondok Ramadhan diharapkan dapat menyentuh rohani mereka untuk melihat lebih jauh peran mereka di dunia ini. Setidaknya fenomena seperti ini menjadi suatu tradisi yang perlu dipertahankan dan dilestarikan serta dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa mencapai target dengan efektif dan efisien. Dan tentunya selama masa-masa perkembangannya, pondok Ramadhan memiliki dinamika tersendiri yang seharusnya mendapat perhatian serius dari para pihak sekolah atau para pemerhati pendidikan, terutama untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai bentuk dekadensi moral remaja, seperti free sex yang semakin membudaya sebagai akibat dari pergaulan bebas yang selama ini telah berubah menjadi trend anak muda.
Pada dasarnya kegiatan pondok Ramadhan ini menjadi sarana tafaqquh fi al-din (pendalaman agama) yang mengemban misi kerasulan Nabi Muhammad saw, sekaligus melestarikan ajaran Islam yang selama ini mulai dikesampingkan oleh anak-anak dan kaum remaja sekolah yang notabene mereka tergolong masyarakat terpelajar dan terdidik. Di samping itu, melalui kegiatan pondok Ramadhan diharapkan internalisasi nilai-nilai dan pesan moral agama dapat tercapai dengan baik.
Dan maksud Tuhan untuk menurunkan firman-firman-Nya sebagai hudan (petunjuk), nur (cahaya), tibyan (penjelas), dan syifa' (obat) menjadi tidak bisa ditangkap oleh manusia lantaran mayoritas umat Islam masih terpaku pada makna teks. Akhirnya, bagaimana sebuah pemahaman wacana qur'anik mesti dihidupkan adalah dengan menciptakan ide-ide yang bisa diterima oleh semua umat manusia dan berbagai fungsi penurunan al-Qur'an itu bisa dipenuhi. Cita cita al-Qur'an bukan eksklusif, tapi humanis dan universal sebagai rahmatan li al-'alamiin.8
Salah satu unsur utama dalam kegiatan pondok Ramadhan agar berjalan optimal adalah pengembangan variasi metode pengajarannya. Karena suatu materi yang berkualitas tinggi, jika tidak disampaikan dengan menggunakan strategi yang jitu, maka mustahil dapat mencapai target ataupun tujuan yang telah ditentukan dengan rapi dalam perencanaan sebelumnya secara efektif dan efisien.
Meskipun kegiatan semacam ini sangat membantu meringankan para guru agama sebagai pengemban misi moral di sekolah, namun tidak akan berhasil dengan baik, jika tidak didukung dengan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan kata lain, metode, materi, media dan unsur pendidikan lainnya harus benar-benar dijadikan sebagai konsentrasi awal dalam proses pembinaan moral siswa-siswinya, terutama yang seringkali bermasalah dengan guru bimbingan konseling.
Namun realita menyatakan adanya bentuk-bentuk pengajaran yang hanya mencapai proses transfomasi ilmu pengetahuan tanpa ada penanaman nilai-nilai yang seharusnya tertancap dalam diri setiap siswanya. Di samping itu, saat ini sangat minim sekali pihak sekolah yang mengadakan program-program kegiatan pondok Ramadhan yang didesain khusus bagi kalangan remaja yang lebih menantang dan merangsang mereka untuk berpartisipasi secara utuh dalam mengikuti kegiatan ini.
Minggu, 13 Juni 2010
INTELEGENSI EMOSIONAL
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Inteligensi
Ada beberapa rumusan difinisi inteligensi yang diketengahkan para ahli psikologi. Namun, karena antara definisi yang satu dengan yang lainnya berbeda, maka belum diperoleh satu definisi pun yang tepat. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang inteligensi, berikut ini dikemukakan beberapa definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli yaitu:
a. Edward Thorndike. Menurutnya, inteligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or fact. Artinya, inteligensi merupakan kemampuan individu untuk memberikan respons yang tepat terhadap stimulus yang diterimanya.
b. Witherington. Menurutnya, inteligensi bukan suatu kekuatan, bukan suatu daya, bukan suatu sifat. Inteligensi adalah suatu konsep, suatu pengertian.
c. William Stren. Menurutnya, inteligensi adalah kesanggupan jiwa untuk menghadapi dan mengatasi keadaan-keadaan atau kesulitan baru dengan sadar, dengan berpikir cepat dan tepat.
d. Bigot-Koshtamm. Inteligensi adalah suatu kemampuan untuk melakukan perbuatan jiwa dengan cepat.
Beberapa definisi diatas menunjukan bagaimana cara individu bertingkah laku dalam memecahkan masalah. Inteligensi berkenaan dengan fungsi mintal yang kompleks yang dimanifestasikan dalam tingkah laku. Inteligensi meliputi aspek-aspek kemampuan bagaimana individu memerhatikan, mengamati, mengingat, memikirkan, menghafal, dan bentuk-bentuk kejiwaan lainnya.
Suatu ciri dari inteligensi yang tinggi adalah abilitas untuk menangkap hubungan antara unsur-unsur dalam suatu situasi dengan stuasi yang lain. Dengan demokian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pada dasarnya inteligensi adalah suatu kesanggupan atau kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan dengan cepat, mudah, dan tepat (memadai). Namun, dalam perguncangan sehari-hari kita sering dikacaukan dengan pengertian intelek dan inteligensi. Istilah intelek berarti pikiran, sedangkan inteligensi kecerdasan pikiran.
b. Pengertian Kecerdasan Emosional Dan Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
a. Kecerdasan emosi
Kadang kala istilah emosi sukar ditafsirkan kerana ia lebih banyak merujuk kepada hal peribadi sebagai manusia. Kita pasti tidak dapat lari dari melakukan kesilapan dan ini adalah disebabkan tahap pemahaman diri seseorang itu begitu rendah ketika cuba memahami maksud yang ingin disampaikan oleh rakan.
Disebabkan itu, konflik mungkin berlaku apabila individu itu mempunyai tahap kecerdasan emosi yang cukup rendah yang menyebabkan mereka kurang peka dengan persekitaran dan perasaan orang yang berada di sisi mereka. Begitu juga dengan perasaan diri sendiri, mereka mungkin tidak tahu kemahuan diri ataupun tidak tahu mengawal diri apabila berlaku kejadian yang tidak diingini.
Terdapat tiga aspek emosi iaitu dapat dijelaskan dengan perkataan, seperti mimik muka, bahasa badan, postur dan Physiological-biochemical (aktiviti otak, suhu badan, kadar denyutan jantung). Hanya aspek behavior-expressive dapat dilihat dengan jelas manakala dua aspek yang lain biasanya sukar dilihat.
Istilah kecerdasan emosi mula-mula sekali digunakan pada tahun 1990 oleh pakar-pakar psikologi Peter Salovey (Universiti Harvard) dan John Mayer (Universiti New Hampshire). Ia digunakan bagi menjelaskan kualiti-kualiti penting bagi mencapai kejayaan.
Kemudian Daniel Goleman (1995) menulis dalam bukunya ‘Emotional Intelligence’ dan berjaya membangkitkan kesedaran orang ramai tentang konsep ini. Konsep ini bermula dengan implikasinya dalam mendidik kanak-kanak sehinggalah kepentingannya di tempat kerja dan merangkumi hubungan manusia.
Seandainya individu itu berkebolehan mengenal perasaan atau emosi apabila ianya timbul, individu itu mempunyai sedikit kesedaran kendiri dan seterusnya kecerdasan emosi. Sekiranya individu itu dapat mengenali emosi secara mendalam, beliau merasa lebih mudah menjalani kehidupannya.
Perkara paling penting dalam pembentukan kesedaran kendiri adalah keupayaan memberi perhatian kepada gerak hatinya. Dengan mengenali gerak hatinya, maka dia dapat bertindak untuk kebaikan dirinya sendiri.
Emosi
Berdasarkan Kamus Bahasa Melayu (1994), emosi bermaksud perasaan pada jiwa yang kuat (seperti sedih, marah dan lain-lain). Oxford Advanced Learners’ Dictionary (1995), menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dan pelbagai jenis (kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu, keseronokan atau gangguan pada perasaan). The Oxford Dictionary of Current English (1986) menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dari dalam terutamanya daripada aspek mental atau naluri, seperti kasih sayang ataupun takut. Oleh itu, emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang mempamerkan perasaan-perasaan kuat yang berpunca daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi.
Kecerdasan
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, menghitung, berketrampilan daripada segi kata dan angka yang menjadi fokus pendidikan formal sekolah. Ia mengarahkan individu mencapai kejayaan dalam bidang akademik. Pandangan baru yang berkembang adalah tentang wujudnya kecerdasan lain di luar IQ seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional dan aspek-aspek lain yang harus juga dikembangkan.
Kecerdasan emosi mencakupi pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi kekecewaan, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga supaya beban tekanan tidak melumpuhkan kemampuan berfikir bagi membaca perasaan dalaman orang lain (empati) dan berdoa bagi memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin. Keterampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati kurang memiliki kendali diri yang mampu membuatkan mereka menderita kerana kekurangan motivasi.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah yang melibatkan individu perlu membuat keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan kadang kala lebih penting daripada naluri. Emosi itu memperkayakan model pemikiran dan orang yang tidak menghiraukan emosi adalah orang yang mempunyai model pemikiran yang jumud. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia seperti kepercayaan, harapan, pengabdian dan cinta, semuanya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah bererti apa-apa apabila emosi berkuasa. Kecerdasan emosi dapat menambahkan sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Konsep EQ atau ‘Emotional Intelligence’ yang juga dikenali sebagai kecerdasan emosi adalah konsep kecerdasan yang lebih luas dan ada kaitan dengan kesedaran emosi dan perasaan dan bagaimana perasaan dapat berinteraksi dengan kecerdasan mental atau IQ. Goleman menyatakan, 80% kejayaan individu adalah bergantung kepada EQ atau kecerdasan emosinya berbanding dengan lebih kurang 20% sahaja yang disebabkan oleh IQ atau kecerdasan mental. Pendapat ini adalah sejajar dengan pandangan yang menyatakan kita sebenarnya memerlukan lebih kecerdasan otak (IQ) supaya lebih berjaya dalam hidup. Individu itu mestilah berusaha membentuk dan meneruskan kebolehan berhubung dan berkomunikasi secara sihat dengan orang lain.
Jelas dilihat peranan hati menjadi tunjang kepada perasaan dan emosi (EQ). Ia mempunyai pertalian yang begitu rapat dengan kejayaan manusia dalam melayari kehidupan sehariannya. Pendapat Goleman tentang peranan EQ bagi menjana kejayaan dalam hidup adalah tidak dapat dinafikan.
Menurut Mayer dan Salovey merupakan pelopor yang mula-mula memperkenalkan konsep EQ ini. Menurut mereka;
“Emotional Intelligence allows us to think more creatively and to use our emotions to solve problems. Emotional Intelligence probably overlaps to some extent with general intelligence”.
Mayer dan Salovery seterusnya menyatakan ;
“The emotionally intelligent person is skilled in four areas:identifying emotions, using emotions, understanding emotions and regulating emotions.”
Konsep ini menjelaskan bahwa individu yang berupaya mengenal pasti ataupun menyedari emosinya, menggunakan emosinya dengan bijak, memahami emosinya dan mengawal emosinya, mereka dianggap mempunyai kecerdasan emosi (EQ).
Goleman menonjolkan pandangan yang lebih luas tentang EQ. Beliau menyatakan EQ mengandungi beberapa faktor iaitu memahami emosi sendiri, kebolehan mengendalikan emosi, memotivasikan diri, menyedari emosi orang lain, dan mengendalikan hubungan silaturahim dengan orang lain.
Mayer dan Salovey mengkategorikan EQ kepada enam domain yaitu:
1. Kesedaran kendiri
Kecerdasan paling asas adalah keupayaan menyedari satu-satu perasaan dan dapat memberikannya identifikasi tertentu. Aras ini juga merujuk kepada kesedaran tentang hubungan antara buah fikiran, perasaan dan tindakan. Menyedari tentang pemikiran yang mana (jenis apa) yang mampu merangsang perasaan tertentu serta menyedari apakah perasaan yang akan terbit akibat satu-satu tindakan.
2. Mengendalikan emosi
Adalah penting kita menyedari apa yang sebenarnya berada di sebalik satu-satu perasaan atau emosi itu. Kepercayaan dan keyakinan memberi kesan yang mendalam pada kebolehan bertindak dan bagaimana satu-satu tindakan dilakukan. Ramai orang selalunya dikuasai oleh fahaman negatif. Harapan dan rasa optimis adalah harta yang amat berguna bagi kejayaan. Adalah penting kita mencari jalan meredakan perasaan meluap kerana marah ataupun kecewa. Kita cuba memahami apa yang terjadi apabila emosi amarah menggelodak seandainya tidak dapat dikawal. Fikirkan sejenak akibat baik dan buruknya satu perkataan yang dihamburkan ketika emosi tidak terkawal. Kebolehan mengalihkan emosi kepada perkara positif adalah anak kunci kepada kecemerlangan sikap.
3. Timbang rasa
Kebolehan menguasai suatu keadaan dan dapat bertindak bijak memerlukan keprihatinan kita pada perasaan orang lain dan melihat dari kaca mata orang lain. Timbang rasa yang membolehkan kita mendengar pendapat orang lain tanpa menjadikan kita terlalu beremosi (emosional) adalah penting. Kebolehan membezakan apa yang dikatakan oleh orang lain daripada tindakan dan penilaian yang bersifat personal adalah amat penting.
4. Berhubung
Kebolehan menjalin hubungan silaturahim yang sihat mempunyai kesan positif kepada semua yang terlibat. Sedar tentang jenis perasaan yang cuba dikomunikasikan pada orang lain. Kegirangan dan pengharapan adalah berkaitan seperti juga‘pesimis’ dan perasaan negatif. Kebolehan melahirkan perasaan atau pendapat tanpa melahirkan kemarahan atau kedongkolan adalah kunci kejayaan.
5. Kerjasama
Kebolehan meletakkan diri dan tahu bila hendak menjadi ketua atau pemimpin dan bila pula menjadi pengikut adalah amat penting dalam kerjasama. Sifat pemimpin yang unggul bukan terletak pada paksaan atau kuasa tetapi lahir daripada kebolehan menggalakkan orang yang dipimpin dapat bekerjasama antara satu sama lain secara baik bagi mencapai satu tujuan bersama. Menyedari tentang kebolehan seseorang dan memberi galakan supaya mengambil bahagian dalam satu-satu aktiviti adalah lebih berkesan dalam menghasilkan satu-satu kebaikan daripada memberi arahan atau mengkritik. Pada masa yang sama, adalah amat perlu kita menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan menyedari kesan atau akibat daripada keputusan yang dibuat dan meneruskan komitmen dengan tidak berbelah bagi.
6. Menyelesaikan konflik
Dalam menyelesaikan masalah kita perlu memahami mekanisme yang hendak digunakan. Orang-orang yang terlibat dalam konflik biasanya dihantui atau terkunci dalam rangkaian emosi yang membakar diri dan mereka jarang dapat melihat isu yang menyebabkan konflik itu secara lebih rasional. Penyelesaian kepada konflik dapat dicapai dengan menggunakan kebolehan emosi seperti yang dibincangkan di atas
B) Kontek Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Intelektual
Kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual).
Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari.
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ).
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Selain multiple dan emosioanal Intekkegence yang banyak dibahas saat ini, adalah kecerdasan spritual atau spritual intelligence. Konsep kecerdasan ubu dikembangkan oleh zohar dan marshall. Pengertian spritual dalam konsep zohar dan marshall bukan dan tidal ada kaitannya dengan spritual dalam konsep agama. Menurut mereka kecerdasan spritual berkenaan dengan kecakapan internal, bawaan dari otak dan psikis manusia, menggambarkan sumber uang oaling dakam dari hati semesta itu sendiri. Kecerdasan sprituak merupakan kecerdasan rohaniyah, yang menintun diri kita memungkinkan kita utuh. Kecerdasan spritual berada pada bagisn yang paling dalam dari diri kita, terkait dengan kebijakan yang berda diatas ego. Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang bukan saja mengetahui nilai-nilai yang ada tetapi juga secara kreatif menumukan nilai-nilai baru.
Zohar dan Marshall, mengemukan beberapa indikator dari kecerdasan spritual tertinggi yaitu:
a) Kemampuan untuk menjadi fleksibel,
b) Derajat kesadaran yan tinggi,
c) Kecakapan untuk mengahadapi dan menyalurkan/memindahkan rasa sakit,
d) Kualitas untuk terilhami oleh visi dan nilai,
e) Enggan melakukan hal yang merugikan,
f) Kecerdasan melihat hubungan antar hal yang berbeda (keterpaduan),
g) Ditandai oleh kecendrungan untuk bertanya mengapa, mencari jawaban mendasar,
h) Mandiri, menentang tradisi,
C) Cara mengukur kecerdasan
Dalam pergaulan sehari-hari di rumah atau masyarakat, dalam situasi belajar di sekolah ataupun dalam hubungan kerja, kita tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan menilai. Menilai perilaku seseorang, kepribadiannya ataupun kecerdasannya. Berkenaan dengan kecerdasan mengkin seseorang mengatakan bahwa temannya sangat cerdas atau pandai sedang yang lainnya bodoh. Penilaian demilian mungkin saja ada benarnya, tetapi mungkin juga meleset sebab yang dinilai sesungguhnya bukan kecerdasannya, tetapi pengetahuan atau bukan keterampilannya. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang berpengetahuan atau sangat trampil sangat dipandang sebagai orang cerdas atau pandai.
Seperti telah dikemukakan diatas bahwa kecerdasan atau inteligensi itu merupakan suatu kapasitas umum atau suatu kecakapan potensial umum, jadi belum merupakan kecakapan nyata. Penilaian atau pengukuran terhadap sesuatu yang masih bersifat potensial sesungguhnya sangat sulit, sebab masih bersifat tertutup penilaian atau pengukuran dilakukan melalui kecakapan nyata juga. Tetapi beda dengan achievement. Pengukuran kecerdasan lebih diarahkan kepada penguku kecakapan berbuat, kecakapan melakukan proses, atau kecakapan dasar yang diperlukan sebagai dasar pengusaan materi atau pengetahuan. Pengukuran kecakapan nyata atau achievement lebih diarahkan mengukur pengusaan pengetahuan atau materi. Pengukuran kecerdasan diusakan benar-benar mengukur kecakapan dasar, bukan hasil belajar, bebas dari pengaruh pengalaman atau kebudayaan. Pengukuran demikian sulit sekali, sebab menusia merupan produk dari suatu proses budaya. Proses perkembangan dan pengalaman. Yang diusahakan oleh para ahli pengukuran psikologis adalah mengurangi ssedikit mungkin pengaruh budaya atau pengalaman belajar ini.
Sejak lama para ahli psikologis mengadakan berbagai upanya pengukuran kecerdasan atau pengetesan inteligensi. Tes kecerdasan tertua disusun oleh Alfred Binet, seorang ahli psikoloi perancis. Tes pertama dari Binet disusun tahun 1905 atas permintaan menteri pendidikan perancis, yang ingin mengetahuai sebab-sebab mengapa pada sat itu murid-murid banyak mengalami kegagalan dalam belajarnya. Pada tahun 1916 direvisi oleh Terman dari Universitas Stanford, yang hasilnya dikenal demgan tes Binet Revisi Starford, kemidian derevisi lagi oleh Terman dan Merril tahun 1937 dan terakhir tahun 1960.
Tes kecerdasan dari Binet diperuntukkan bagi anak yang berumur 2 sampai 15 tahun. Untuktiap tingkat usia isediakan enab sub tes. Satu sub tes untuk setiap bulan. Jumlah sub tes yang biasa dijawab dengan benar menunjukkan usia mental dari anak tersebut.
Apabila usia mental ini dibagi usia kalender akan menunjukkan IQ-nya karena IQ ini menggunakan satuan ratusan maka hasil pembagian tadi dikalikan seratus. Oleh karena itu rumusannya menjadi:
Dengan menggunakan satuan ukuran IQ maka secara ideal kecerdasan individu tersebar antara 0 sampai 200 dengan titik tengah 100. itulah sebabnya maka IQ sekitar 100 (90 s/d 110) diklasifikasikan sebagai normal.
IQ bukanlah satu-satuanya ukuran inteligensi, dapat juga menggunakan skor standar 0-10 atau 0-100 atau bahkan 0-1000 juga sering digunakan persentil (pct = percentile). Persentil populasi. Seorang yang inteligensinya menduduki pct 75 berarti berada di atas 75 % dari seluruh populasi, sesuatu kedudukan yang termasuk tinggi.
Tes kecerdasan lain disusun oleh Wechsler. Tes pertama disusun tahun 1939 dan diberi nama Wechsler Bellevue Intelligence Scale disingkat WBIS, dan direvisi tahun 1955 dengan nama Wechsler Adult Inteligence Scale (WAIS). Tes ini diperuntukan bagi orang dewasa. Untuk anak-anak Wechsler juga menggembangkan tes sejenis yang diberi nama Wechsler Inteligence Scale for Children atau WISC, diterbitkan pada tahun 1949. tes Wechsler terdiri atas dua bentu, yaitu yang berbentuk verbal (verbal scale) dijawab dengan menggunakan bahasa, tulis dan lisan dan tes perbuatan (peform once scale) berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan, seperti menyusun balok, menyusun guntingan gambar dll.
Jenis tes kecerdasan lain adalah progressive matrices disingkat PM, ada yang berwarna yaitu untuk anak kecil (s.d. 10 tahun) dan tidak berwarna untuk anak besar (11 s.d 14 tahun). Untuk orang dewasa juga disediakan Advance Progressive Matrices atau APM.
KESIMPULAN
emosi sebagai perasaan yang kuat dan pelbagai jenis (kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu, keseronokan atau gangguan pada perasaan). The Oxford Dictionary of Current English (1986) menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dari dalam terutamanya daripada aspek mental atau naluri, seperti kasih sayang ataupun takut. Oleh itu, emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang mempamerkan perasaan-perasaan kuat yang berpunca daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah yang melibatkan individu perlu membuat keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan kadang kala lebih penting daripada naluri. Emosi itu memperkayakan model pemikiran dan orang yang tidak menghiraukan emosi adalah orang yang mempunyai model pemikiran yang jumud. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia seperti kepercayaan, harapan, pengabdian dan cinta, semuanya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah bererti apa-apa apabila emosi berkuasa. Kecerdasan emosi dapat menambahkan sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Seperti telah dikemukakan diatas bahwa kecerdasan atau inteligensi itu merupakan suatu kapasitas umum atau suatu kecakapan potensial umum, jadi belum merupakan kecakapan nyata. Penilaian atau pengukuran terhadap sesuatu yang masih bersifat potensial sesungguhnya sangat sulit, sebab masih bersifat tertutup penilaian atau pengukuran dilakukan melalui kecakapan nyata juga. Tetapi beda dengan achievement. Pengukuran kecerdasan lebih diarahkan kepada penguku kecakapan berbuat, kecakapan melakukan proses, atau kecakapan dasar yang diperlukan sebagai dasar pengusaan materi atau pengetahuan. Pengukuran kecakapan nyata atau achievement lebih diarahkan mengukur pengusaan pengetahuan atau materi. Pengukuran kecerdasan diusakan benar-benar mengukur kecakapan dasar, bukan hasil belajar, bebas dari pengaruh pengalaman atau kebudayaan. Pengukuran demikian sulit sekali, sebab menusia merupan produk dari suatu proses budaya. Proses perkembangan dan pengalaman. Yang diusahakan oleh para ahli pengukuran psikologis adalah mengurangi ssedikit mungkin pengaruh budaya atau pengalaman belajar ini.
DAFTAR RUJUKAN
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja. 2003
Akhmad Sudrajat, Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press. 2006
Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga. 2001
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia. 1999
E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2003.
Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2005
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosda Karya Remaja. 2003
Drs. H. Baharuddin, psikologi Pendidikan: refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. Ar-Ruzz. 2007
a. Pengertian Inteligensi
Ada beberapa rumusan difinisi inteligensi yang diketengahkan para ahli psikologi. Namun, karena antara definisi yang satu dengan yang lainnya berbeda, maka belum diperoleh satu definisi pun yang tepat. Oleh karena itu, untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang inteligensi, berikut ini dikemukakan beberapa definisi yang telah dirumuskan oleh para ahli yaitu:
a. Edward Thorndike. Menurutnya, inteligence is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the stand point of truth or fact. Artinya, inteligensi merupakan kemampuan individu untuk memberikan respons yang tepat terhadap stimulus yang diterimanya.
b. Witherington. Menurutnya, inteligensi bukan suatu kekuatan, bukan suatu daya, bukan suatu sifat. Inteligensi adalah suatu konsep, suatu pengertian.
c. William Stren. Menurutnya, inteligensi adalah kesanggupan jiwa untuk menghadapi dan mengatasi keadaan-keadaan atau kesulitan baru dengan sadar, dengan berpikir cepat dan tepat.
d. Bigot-Koshtamm. Inteligensi adalah suatu kemampuan untuk melakukan perbuatan jiwa dengan cepat.
Beberapa definisi diatas menunjukan bagaimana cara individu bertingkah laku dalam memecahkan masalah. Inteligensi berkenaan dengan fungsi mintal yang kompleks yang dimanifestasikan dalam tingkah laku. Inteligensi meliputi aspek-aspek kemampuan bagaimana individu memerhatikan, mengamati, mengingat, memikirkan, menghafal, dan bentuk-bentuk kejiwaan lainnya.
Suatu ciri dari inteligensi yang tinggi adalah abilitas untuk menangkap hubungan antara unsur-unsur dalam suatu situasi dengan stuasi yang lain. Dengan demokian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pada dasarnya inteligensi adalah suatu kesanggupan atau kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan dengan cepat, mudah, dan tepat (memadai). Namun, dalam perguncangan sehari-hari kita sering dikacaukan dengan pengertian intelek dan inteligensi. Istilah intelek berarti pikiran, sedangkan inteligensi kecerdasan pikiran.
b. Pengertian Kecerdasan Emosional Dan Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi
a. Kecerdasan emosi
Kadang kala istilah emosi sukar ditafsirkan kerana ia lebih banyak merujuk kepada hal peribadi sebagai manusia. Kita pasti tidak dapat lari dari melakukan kesilapan dan ini adalah disebabkan tahap pemahaman diri seseorang itu begitu rendah ketika cuba memahami maksud yang ingin disampaikan oleh rakan.
Disebabkan itu, konflik mungkin berlaku apabila individu itu mempunyai tahap kecerdasan emosi yang cukup rendah yang menyebabkan mereka kurang peka dengan persekitaran dan perasaan orang yang berada di sisi mereka. Begitu juga dengan perasaan diri sendiri, mereka mungkin tidak tahu kemahuan diri ataupun tidak tahu mengawal diri apabila berlaku kejadian yang tidak diingini.
Terdapat tiga aspek emosi iaitu dapat dijelaskan dengan perkataan, seperti mimik muka, bahasa badan, postur dan Physiological-biochemical (aktiviti otak, suhu badan, kadar denyutan jantung). Hanya aspek behavior-expressive dapat dilihat dengan jelas manakala dua aspek yang lain biasanya sukar dilihat.
Istilah kecerdasan emosi mula-mula sekali digunakan pada tahun 1990 oleh pakar-pakar psikologi Peter Salovey (Universiti Harvard) dan John Mayer (Universiti New Hampshire). Ia digunakan bagi menjelaskan kualiti-kualiti penting bagi mencapai kejayaan.
Kemudian Daniel Goleman (1995) menulis dalam bukunya ‘Emotional Intelligence’ dan berjaya membangkitkan kesedaran orang ramai tentang konsep ini. Konsep ini bermula dengan implikasinya dalam mendidik kanak-kanak sehinggalah kepentingannya di tempat kerja dan merangkumi hubungan manusia.
Seandainya individu itu berkebolehan mengenal perasaan atau emosi apabila ianya timbul, individu itu mempunyai sedikit kesedaran kendiri dan seterusnya kecerdasan emosi. Sekiranya individu itu dapat mengenali emosi secara mendalam, beliau merasa lebih mudah menjalani kehidupannya.
Perkara paling penting dalam pembentukan kesedaran kendiri adalah keupayaan memberi perhatian kepada gerak hatinya. Dengan mengenali gerak hatinya, maka dia dapat bertindak untuk kebaikan dirinya sendiri.
Emosi
Berdasarkan Kamus Bahasa Melayu (1994), emosi bermaksud perasaan pada jiwa yang kuat (seperti sedih, marah dan lain-lain). Oxford Advanced Learners’ Dictionary (1995), menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dan pelbagai jenis (kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu, keseronokan atau gangguan pada perasaan). The Oxford Dictionary of Current English (1986) menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dari dalam terutamanya daripada aspek mental atau naluri, seperti kasih sayang ataupun takut. Oleh itu, emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang mempamerkan perasaan-perasaan kuat yang berpunca daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi.
Kecerdasan
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis, menghitung, berketrampilan daripada segi kata dan angka yang menjadi fokus pendidikan formal sekolah. Ia mengarahkan individu mencapai kejayaan dalam bidang akademik. Pandangan baru yang berkembang adalah tentang wujudnya kecerdasan lain di luar IQ seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional dan aspek-aspek lain yang harus juga dikembangkan.
Kecerdasan emosi mencakupi pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi kekecewaan, kesanggupan mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga supaya beban tekanan tidak melumpuhkan kemampuan berfikir bagi membaca perasaan dalaman orang lain (empati) dan berdoa bagi memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya, kemampuan menyelesaikan konflik serta memimpin. Keterampilan ini dapat diajarkan kepada anak-anak. Orang-orang yang dikuasai dorongan hati kurang memiliki kendali diri yang mampu membuatkan mereka menderita kerana kekurangan motivasi.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah yang melibatkan individu perlu membuat keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan kadang kala lebih penting daripada naluri. Emosi itu memperkayakan model pemikiran dan orang yang tidak menghiraukan emosi adalah orang yang mempunyai model pemikiran yang jumud. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia seperti kepercayaan, harapan, pengabdian dan cinta, semuanya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah bererti apa-apa apabila emosi berkuasa. Kecerdasan emosi dapat menambahkan sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Konsep EQ atau ‘Emotional Intelligence’ yang juga dikenali sebagai kecerdasan emosi adalah konsep kecerdasan yang lebih luas dan ada kaitan dengan kesedaran emosi dan perasaan dan bagaimana perasaan dapat berinteraksi dengan kecerdasan mental atau IQ. Goleman menyatakan, 80% kejayaan individu adalah bergantung kepada EQ atau kecerdasan emosinya berbanding dengan lebih kurang 20% sahaja yang disebabkan oleh IQ atau kecerdasan mental. Pendapat ini adalah sejajar dengan pandangan yang menyatakan kita sebenarnya memerlukan lebih kecerdasan otak (IQ) supaya lebih berjaya dalam hidup. Individu itu mestilah berusaha membentuk dan meneruskan kebolehan berhubung dan berkomunikasi secara sihat dengan orang lain.
Jelas dilihat peranan hati menjadi tunjang kepada perasaan dan emosi (EQ). Ia mempunyai pertalian yang begitu rapat dengan kejayaan manusia dalam melayari kehidupan sehariannya. Pendapat Goleman tentang peranan EQ bagi menjana kejayaan dalam hidup adalah tidak dapat dinafikan.
Menurut Mayer dan Salovey merupakan pelopor yang mula-mula memperkenalkan konsep EQ ini. Menurut mereka;
“Emotional Intelligence allows us to think more creatively and to use our emotions to solve problems. Emotional Intelligence probably overlaps to some extent with general intelligence”.
Mayer dan Salovery seterusnya menyatakan ;
“The emotionally intelligent person is skilled in four areas:identifying emotions, using emotions, understanding emotions and regulating emotions.”
Konsep ini menjelaskan bahwa individu yang berupaya mengenal pasti ataupun menyedari emosinya, menggunakan emosinya dengan bijak, memahami emosinya dan mengawal emosinya, mereka dianggap mempunyai kecerdasan emosi (EQ).
Goleman menonjolkan pandangan yang lebih luas tentang EQ. Beliau menyatakan EQ mengandungi beberapa faktor iaitu memahami emosi sendiri, kebolehan mengendalikan emosi, memotivasikan diri, menyedari emosi orang lain, dan mengendalikan hubungan silaturahim dengan orang lain.
Mayer dan Salovey mengkategorikan EQ kepada enam domain yaitu:
1. Kesedaran kendiri
Kecerdasan paling asas adalah keupayaan menyedari satu-satu perasaan dan dapat memberikannya identifikasi tertentu. Aras ini juga merujuk kepada kesedaran tentang hubungan antara buah fikiran, perasaan dan tindakan. Menyedari tentang pemikiran yang mana (jenis apa) yang mampu merangsang perasaan tertentu serta menyedari apakah perasaan yang akan terbit akibat satu-satu tindakan.
2. Mengendalikan emosi
Adalah penting kita menyedari apa yang sebenarnya berada di sebalik satu-satu perasaan atau emosi itu. Kepercayaan dan keyakinan memberi kesan yang mendalam pada kebolehan bertindak dan bagaimana satu-satu tindakan dilakukan. Ramai orang selalunya dikuasai oleh fahaman negatif. Harapan dan rasa optimis adalah harta yang amat berguna bagi kejayaan. Adalah penting kita mencari jalan meredakan perasaan meluap kerana marah ataupun kecewa. Kita cuba memahami apa yang terjadi apabila emosi amarah menggelodak seandainya tidak dapat dikawal. Fikirkan sejenak akibat baik dan buruknya satu perkataan yang dihamburkan ketika emosi tidak terkawal. Kebolehan mengalihkan emosi kepada perkara positif adalah anak kunci kepada kecemerlangan sikap.
3. Timbang rasa
Kebolehan menguasai suatu keadaan dan dapat bertindak bijak memerlukan keprihatinan kita pada perasaan orang lain dan melihat dari kaca mata orang lain. Timbang rasa yang membolehkan kita mendengar pendapat orang lain tanpa menjadikan kita terlalu beremosi (emosional) adalah penting. Kebolehan membezakan apa yang dikatakan oleh orang lain daripada tindakan dan penilaian yang bersifat personal adalah amat penting.
4. Berhubung
Kebolehan menjalin hubungan silaturahim yang sihat mempunyai kesan positif kepada semua yang terlibat. Sedar tentang jenis perasaan yang cuba dikomunikasikan pada orang lain. Kegirangan dan pengharapan adalah berkaitan seperti juga‘pesimis’ dan perasaan negatif. Kebolehan melahirkan perasaan atau pendapat tanpa melahirkan kemarahan atau kedongkolan adalah kunci kejayaan.
5. Kerjasama
Kebolehan meletakkan diri dan tahu bila hendak menjadi ketua atau pemimpin dan bila pula menjadi pengikut adalah amat penting dalam kerjasama. Sifat pemimpin yang unggul bukan terletak pada paksaan atau kuasa tetapi lahir daripada kebolehan menggalakkan orang yang dipimpin dapat bekerjasama antara satu sama lain secara baik bagi mencapai satu tujuan bersama. Menyedari tentang kebolehan seseorang dan memberi galakan supaya mengambil bahagian dalam satu-satu aktiviti adalah lebih berkesan dalam menghasilkan satu-satu kebaikan daripada memberi arahan atau mengkritik. Pada masa yang sama, adalah amat perlu kita menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggungjawab dan menyedari kesan atau akibat daripada keputusan yang dibuat dan meneruskan komitmen dengan tidak berbelah bagi.
6. Menyelesaikan konflik
Dalam menyelesaikan masalah kita perlu memahami mekanisme yang hendak digunakan. Orang-orang yang terlibat dalam konflik biasanya dihantui atau terkunci dalam rangkaian emosi yang membakar diri dan mereka jarang dapat melihat isu yang menyebabkan konflik itu secara lebih rasional. Penyelesaian kepada konflik dapat dicapai dengan menggunakan kebolehan emosi seperti yang dibincangkan di atas
B) Kontek Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Intelektual
Kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual).
Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari.
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam.
Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ).
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Selain multiple dan emosioanal Intekkegence yang banyak dibahas saat ini, adalah kecerdasan spritual atau spritual intelligence. Konsep kecerdasan ubu dikembangkan oleh zohar dan marshall. Pengertian spritual dalam konsep zohar dan marshall bukan dan tidal ada kaitannya dengan spritual dalam konsep agama. Menurut mereka kecerdasan spritual berkenaan dengan kecakapan internal, bawaan dari otak dan psikis manusia, menggambarkan sumber uang oaling dakam dari hati semesta itu sendiri. Kecerdasan sprituak merupakan kecerdasan rohaniyah, yang menintun diri kita memungkinkan kita utuh. Kecerdasan spritual berada pada bagisn yang paling dalam dari diri kita, terkait dengan kebijakan yang berda diatas ego. Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang bukan saja mengetahui nilai-nilai yang ada tetapi juga secara kreatif menumukan nilai-nilai baru.
Zohar dan Marshall, mengemukan beberapa indikator dari kecerdasan spritual tertinggi yaitu:
a) Kemampuan untuk menjadi fleksibel,
b) Derajat kesadaran yan tinggi,
c) Kecakapan untuk mengahadapi dan menyalurkan/memindahkan rasa sakit,
d) Kualitas untuk terilhami oleh visi dan nilai,
e) Enggan melakukan hal yang merugikan,
f) Kecerdasan melihat hubungan antar hal yang berbeda (keterpaduan),
g) Ditandai oleh kecendrungan untuk bertanya mengapa, mencari jawaban mendasar,
h) Mandiri, menentang tradisi,
C) Cara mengukur kecerdasan
Dalam pergaulan sehari-hari di rumah atau masyarakat, dalam situasi belajar di sekolah ataupun dalam hubungan kerja, kita tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan menilai. Menilai perilaku seseorang, kepribadiannya ataupun kecerdasannya. Berkenaan dengan kecerdasan mengkin seseorang mengatakan bahwa temannya sangat cerdas atau pandai sedang yang lainnya bodoh. Penilaian demilian mungkin saja ada benarnya, tetapi mungkin juga meleset sebab yang dinilai sesungguhnya bukan kecerdasannya, tetapi pengetahuan atau bukan keterampilannya. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang berpengetahuan atau sangat trampil sangat dipandang sebagai orang cerdas atau pandai.
Seperti telah dikemukakan diatas bahwa kecerdasan atau inteligensi itu merupakan suatu kapasitas umum atau suatu kecakapan potensial umum, jadi belum merupakan kecakapan nyata. Penilaian atau pengukuran terhadap sesuatu yang masih bersifat potensial sesungguhnya sangat sulit, sebab masih bersifat tertutup penilaian atau pengukuran dilakukan melalui kecakapan nyata juga. Tetapi beda dengan achievement. Pengukuran kecerdasan lebih diarahkan kepada penguku kecakapan berbuat, kecakapan melakukan proses, atau kecakapan dasar yang diperlukan sebagai dasar pengusaan materi atau pengetahuan. Pengukuran kecakapan nyata atau achievement lebih diarahkan mengukur pengusaan pengetahuan atau materi. Pengukuran kecerdasan diusakan benar-benar mengukur kecakapan dasar, bukan hasil belajar, bebas dari pengaruh pengalaman atau kebudayaan. Pengukuran demikian sulit sekali, sebab menusia merupan produk dari suatu proses budaya. Proses perkembangan dan pengalaman. Yang diusahakan oleh para ahli pengukuran psikologis adalah mengurangi ssedikit mungkin pengaruh budaya atau pengalaman belajar ini.
Sejak lama para ahli psikologis mengadakan berbagai upanya pengukuran kecerdasan atau pengetesan inteligensi. Tes kecerdasan tertua disusun oleh Alfred Binet, seorang ahli psikoloi perancis. Tes pertama dari Binet disusun tahun 1905 atas permintaan menteri pendidikan perancis, yang ingin mengetahuai sebab-sebab mengapa pada sat itu murid-murid banyak mengalami kegagalan dalam belajarnya. Pada tahun 1916 direvisi oleh Terman dari Universitas Stanford, yang hasilnya dikenal demgan tes Binet Revisi Starford, kemidian derevisi lagi oleh Terman dan Merril tahun 1937 dan terakhir tahun 1960.
Tes kecerdasan dari Binet diperuntukkan bagi anak yang berumur 2 sampai 15 tahun. Untuktiap tingkat usia isediakan enab sub tes. Satu sub tes untuk setiap bulan. Jumlah sub tes yang biasa dijawab dengan benar menunjukkan usia mental dari anak tersebut.
Apabila usia mental ini dibagi usia kalender akan menunjukkan IQ-nya karena IQ ini menggunakan satuan ratusan maka hasil pembagian tadi dikalikan seratus. Oleh karena itu rumusannya menjadi:
Dengan menggunakan satuan ukuran IQ maka secara ideal kecerdasan individu tersebar antara 0 sampai 200 dengan titik tengah 100. itulah sebabnya maka IQ sekitar 100 (90 s/d 110) diklasifikasikan sebagai normal.
IQ bukanlah satu-satuanya ukuran inteligensi, dapat juga menggunakan skor standar 0-10 atau 0-100 atau bahkan 0-1000 juga sering digunakan persentil (pct = percentile). Persentil populasi. Seorang yang inteligensinya menduduki pct 75 berarti berada di atas 75 % dari seluruh populasi, sesuatu kedudukan yang termasuk tinggi.
Tes kecerdasan lain disusun oleh Wechsler. Tes pertama disusun tahun 1939 dan diberi nama Wechsler Bellevue Intelligence Scale disingkat WBIS, dan direvisi tahun 1955 dengan nama Wechsler Adult Inteligence Scale (WAIS). Tes ini diperuntukan bagi orang dewasa. Untuk anak-anak Wechsler juga menggembangkan tes sejenis yang diberi nama Wechsler Inteligence Scale for Children atau WISC, diterbitkan pada tahun 1949. tes Wechsler terdiri atas dua bentu, yaitu yang berbentuk verbal (verbal scale) dijawab dengan menggunakan bahasa, tulis dan lisan dan tes perbuatan (peform once scale) berisi tugas-tugas yang harus dikerjakan, seperti menyusun balok, menyusun guntingan gambar dll.
Jenis tes kecerdasan lain adalah progressive matrices disingkat PM, ada yang berwarna yaitu untuk anak kecil (s.d. 10 tahun) dan tidak berwarna untuk anak besar (11 s.d 14 tahun). Untuk orang dewasa juga disediakan Advance Progressive Matrices atau APM.
KESIMPULAN
emosi sebagai perasaan yang kuat dan pelbagai jenis (kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu, keseronokan atau gangguan pada perasaan). The Oxford Dictionary of Current English (1986) menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dari dalam terutamanya daripada aspek mental atau naluri, seperti kasih sayang ataupun takut. Oleh itu, emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang mempamerkan perasaan-perasaan kuat yang berpunca daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah yang melibatkan individu perlu membuat keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan kadang kala lebih penting daripada naluri. Emosi itu memperkayakan model pemikiran dan orang yang tidak menghiraukan emosi adalah orang yang mempunyai model pemikiran yang jumud. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam perasaan manusia seperti kepercayaan, harapan, pengabdian dan cinta, semuanya lenyap dalam pandangan kognitif yang dingin. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah bererti apa-apa apabila emosi berkuasa. Kecerdasan emosi dapat menambahkan sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Seperti telah dikemukakan diatas bahwa kecerdasan atau inteligensi itu merupakan suatu kapasitas umum atau suatu kecakapan potensial umum, jadi belum merupakan kecakapan nyata. Penilaian atau pengukuran terhadap sesuatu yang masih bersifat potensial sesungguhnya sangat sulit, sebab masih bersifat tertutup penilaian atau pengukuran dilakukan melalui kecakapan nyata juga. Tetapi beda dengan achievement. Pengukuran kecerdasan lebih diarahkan kepada penguku kecakapan berbuat, kecakapan melakukan proses, atau kecakapan dasar yang diperlukan sebagai dasar pengusaan materi atau pengetahuan. Pengukuran kecakapan nyata atau achievement lebih diarahkan mengukur pengusaan pengetahuan atau materi. Pengukuran kecerdasan diusakan benar-benar mengukur kecakapan dasar, bukan hasil belajar, bebas dari pengaruh pengalaman atau kebudayaan. Pengukuran demikian sulit sekali, sebab menusia merupan produk dari suatu proses budaya. Proses perkembangan dan pengalaman. Yang diusahakan oleh para ahli pengukuran psikologis adalah mengurangi ssedikit mungkin pengaruh budaya atau pengalaman belajar ini.
DAFTAR RUJUKAN
Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja. 2003
Akhmad Sudrajat, Psikologi Pendidikan. Kuningan : PE-AP Press. 2006
Ary Ginanjar Agustian, ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga. 2001
Daniel Goleman, Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia. 1999
E.Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2003.
Gendler, Margaret E. 1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice. New York: McMillan Publishing.
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. 2005
Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT Rosda Karya Remaja. 2003
Drs. H. Baharuddin, psikologi Pendidikan: refleksi Teoritis Terhadap Fenomena. Ar-Ruzz. 2007
Sabtu, 12 Juni 2010
Human activities are warming the planet at a dangerous rate
By Juliet Eilperin
An international panel of climate scientists said yesterday that there is an overwhelming probability that human activities are warming the planet at a dangerous rate, with consequences that could soon take decades or centuries to reverse.
The Intergovernmental Panel on Climate Change, made up of hundreds of scientists from 113 countries, said that based on new research over the last six years, it is 90 percent certain that human-generated greenhouse gases account for most of the global rise in temperatures over the past half-century.
Declaring that "warming of the climate system is unequivocal," the authors said in their "Summary for Policymakers" that even in the best-case scenario, temperatures are on track to cross a threshold to an unsustainable level. A rise of more than 3.6 degrees Fahrenheit above pre-industrial levels would cause global effects -- such as massive species extinctions and melting of ice sheets -- that could be irreversible within a human lifetime. Under the most conservative IPCC scenario, the increase will be 4.5 degrees by 2100.
ad_icon
Richard Somerville, a distinguished professor at the Scripps Institution of Oceanography and one of the lead authors, said the world would have to undertake "a really massive reduction in emissions," on the scale of 70 to 80 percent, to avert severe global warming.
The scientists wrote that it is "very likely" that hot days, heat waves and heavy precipitation will become more frequent in the years to come, and "likely" that future tropical hurricanes and typhoons will become more intense. Arctic sea ice will disappear "almost entirely" by the end of the century, they said, and snow cover will contract worldwide.
read more www.washingtonpost.com
An international panel of climate scientists said yesterday that there is an overwhelming probability that human activities are warming the planet at a dangerous rate, with consequences that could soon take decades or centuries to reverse.
The Intergovernmental Panel on Climate Change, made up of hundreds of scientists from 113 countries, said that based on new research over the last six years, it is 90 percent certain that human-generated greenhouse gases account for most of the global rise in temperatures over the past half-century.
Declaring that "warming of the climate system is unequivocal," the authors said in their "Summary for Policymakers" that even in the best-case scenario, temperatures are on track to cross a threshold to an unsustainable level. A rise of more than 3.6 degrees Fahrenheit above pre-industrial levels would cause global effects -- such as massive species extinctions and melting of ice sheets -- that could be irreversible within a human lifetime. Under the most conservative IPCC scenario, the increase will be 4.5 degrees by 2100.
ad_icon
Richard Somerville, a distinguished professor at the Scripps Institution of Oceanography and one of the lead authors, said the world would have to undertake "a really massive reduction in emissions," on the scale of 70 to 80 percent, to avert severe global warming.
The scientists wrote that it is "very likely" that hot days, heat waves and heavy precipitation will become more frequent in the years to come, and "likely" that future tropical hurricanes and typhoons will become more intense. Arctic sea ice will disappear "almost entirely" by the end of the century, they said, and snow cover will contract worldwide.
read more www.washingtonpost.com
Rabu, 09 Juni 2010
KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL
Latar Belakang
Perkembangan peserta didik merupakan suatu aspek pendidikan dimana seorang guru dituntut untuk memahami dan mengawal dalam setiap tahap perkembangan, agar proses pendidikan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pendidik dan peserta didik.
Perkembangan itu pun harus dikawal dalam semua lingkungan peserta didik, meliputi: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang akan menjadi budaya bagi peserta didik.
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Ternyata apa yang dihayati oleh siswa seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai tidak berasal dari kurikulum sekolah yang formal, melainkan berasal dari kebudayaan sekolah itu.
Maka dari tu, segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di sekolah, dan lain sebagaimana.
PEMBAHASAN
KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL
A. Kelas sebagai Sistem Sosial
Sekolah merupakan institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik, termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya disebut dengan kebudayaan sekolah.
Dalam struktur kelas terdapat dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.
Menurut Emile Durkheim, sebagaimana dikutip oleh Sanapiah Faisal, bahwa kelas dikenal sebagai masyarakat kecil, moralitas yang seimbang dengan besar ukuranya, corak elemen, dan fungsinya. Di pihak lain, masyarakat kelas agak berbeda dengan masyarakat keluarga. Masyarakat kelas lebih banyak mendekati kelas orang dewasa pada umumnya. Dalam kenyataannya, jumlah orang dalam masyarakat kelas relatif lebih besar dibandingkan dengan masyarakat keluarga.
Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.
1. Struktur Sosial Kelas
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
Komposisi Anggota Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada dikelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antar personalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.
Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.
2. Pola Komunikasi dalam Kelas
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan dikelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan.
Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalansecara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran.
Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasi dalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimen tentang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil eksperimen tersebut mendeskripsikan 4 bentuk komunikasi yang terskema (Horton dan Hunt, 1999).
Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya.
Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.
3. Iklim Sosial di Kelas
Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil dimana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang continue. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (dikelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial.
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dari seorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dari perpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelas yang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara guru- murid dalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupun bersosialisasi didalamnya.
Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut:
Iklim Terbuka
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.
b) Iklim mandiri
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
C) Iklim terkontrol
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d) Iklim persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e) Iklim tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.
B. Sekolah sebagai Sistem Sosial
1. Sekolah sebagai Organisasi Pendidikan Formal
a. Pengertian Organisasi Formal
Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam penyusunan atau penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan maksud menempatkan hubungan antara orang dalam kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Penentuan struktur hubungan tugas dan tanggung jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah tercapainya tujuan bersama. Dengan kata lain organisasi adalah aktivitas dalam membagi-bagi kerja, menggolong-golongkan jenis pekerjaan, memberi wewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung jawab. Sebagaimana terangkum dalam Liweri (1997) beberapa ahli mengemukakan pengertian tentang organisasi.
Victor A.Thompson, 1969 menyatakan bahwa sebuah organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Chester I. Barnard,1970 mendefinisikan organisasi sebagai sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih. E. Wright Bakke,1967 mengatakan suatu organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi dan modal, gagasan dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya yang lain, dalam suatu lingkungan tertentu.
Masing-masing pendapat di atas berbeda-beda pendekatan definitifnya, sebab hal itu disesuaikan dengan konteks dan perspektif orang yang “mendefinisikannya”. Meskipun begitu dari perspektif yang berbeda-beda dapat kita tarik kesamaan teoritis mengenai organisasi, yaitu sebagai berikut:
1) Mempunyai tujuan tertentu dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia;
2) Mempunyai hubungan sekunder (impersonal);
3) Mempunyai tujuan khusus dan terbatas;
4) Mempunyai kegiatan kerja sama pendukung;
5) Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas;
6) Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungan, dan sangat terpengaruh dengan setiap perubahan lingkungan.
b. Sekolah sebagai Organisasi
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Masyarakat modern memanfaatkan fungsi lembaga-lembaga sosialnya dengan pola hubungan dan orientasi sistem jaringan kerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola kegiatan yang formal, impersonal, terstruktur dan rasional. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari organisasi.
Dalam hal pendidikan masyarakat membutuhkan sekolah, universitas maupun institusi departemen yang mengelola sistem pendidikan negara. Pelayanan kebutuhan konsumsi manusia telah diambil alih oleh produk-produk industri barang dan jasa, distribusi dengan sarana transportasi berteknologi tinggi serta melengkapinya dengan lapangan profesi pekerjaan yang spesifik. Masyarakat membutuhkan rumah sakit untuk melayani penderita, “plaza” untuk perbelanjaan, bank untuk menyimpan dan mengambil uang, hotel untuk menginap, kantor pemerintah untuk melayani urusan pemerintah atau pembangunan dan kemasyarakatan. Tidak mengherankan apabila seluruh masyarakat memusatkan perhatiannya terhadap organisasi, terutama melalui tampilan peran, tugas dan fungsi organisasi.
Untuk dunia pendidikan, kerangka sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan menunjukkan bahwa masyarakat sangat memerlukan kehadiran organisasi pendidikan beserta institusi sosialnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu, keberadaan sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan formal merupakan keniscayaan historis dari tingkat perkembangan pranata sosial lembaga pendidikan di zaman modern. Sekolah sebagai inti pranata pendidikan manusia modern sudah seharusnya menggunakan perangkat-perangkat yang dimiliki organisasi modern.
Dari wujudnya, sekolah merupakan organisasi yang memiliki komponen- komponennya dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah organisasi formal. Beberapa kriteria organisasi yang diuraikan di bagian atas dapat kita lihat manifestasi spesifik dalam lembaga sekolah. Pertama, seperti halnya organisasi bisnis atau sebuah rumah sakit sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas. Kedua, dalam organisasi sekolah juga terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan (seperti guru, supervisor dan adminsitrator) dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Analisis organisasional mengetengahkan bahwa sekolah mengemban fungsi sebagai lembaga yang memberi pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, dengan mengkoordinasikan individu-individu yang memiliki tugas dan peran yang berbeda- beda dalam satuan jaringan kerja yang bersifat fungsional.
Guru secara formal bertugas mengajar dan mengelola pembelajaran dengan para siswanya di kelas Supervisor berfungsi mengadakan pembinaan kepada para guru, agar kinerja mereka berlangsung secara efektif dan efisien, sementara tugas administratur sekolah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Sebagai organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah) menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat legal rasional untuk menggerakkan roda organisasi. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy) yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Menurut Reinhard Bendix,1960 (dalam Robinson,1981) organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut:
1) Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan;
2) Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif;
3) Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari suatu hierarki wewenang;
4) Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas;
5) Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan; dan
6) Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi tertulis.
Beberapa prinsip birokrasi tersebut diterapkan dalam komposisi peran dan tugas pada masing-masing warga di sekolah. Semuanya disusun menjadi satu susunan struktur kepemimpinan birokratis di mana kepala sekolah menempati pucuk pimpinan formal. Apabila kita amati bersama pusat pelayanan administrasi telah dilimpahkan pada para staf administrasi, para guru dan pejabat struktural lain melaksanakan fungsi tugasnya sesuai status dan wewenangnya. Murid-murid melakukan tertib kegiatan sebagai pelajar dan bahkan sampai petugas kebersihan sekolah sekalipun juga menjadi salah satu bagian penting dari komposisi peran fungsional yang dilembagakan oleh sekolah. Sehingga di lingkungan sekolah tidak ada seorang individupun yang tercecer statusnya dari jangkauan kekuasaan organisasi.
Selain itu posisi kelembagaan sekolah juga tidak bisa lepas dari konstruksi kekuatan sistem pendidikan makro yang menaungi keberadaan sekolah. Baik sekolah negeri maupun swasta selalu menjadi wilayah koordinasi lembaga dinas pendidikan di tingkat kota, provinsi bahkan sampai kepada departemen terkait di lingkup nasional. Meskipun pengaruh susunan kekuatan lembaga tersebut bersifat gradual di mana semakin memuncak maka koordinasi teknis terhadap sekolah semakin menipis namun dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu wilayah luas yang memperlihatkan jaringan koordinasi kelembagaan dalam sebuah mekanisme organisasi besar berkapasitas makro dan sekolah merupakan bagian-bagian kecil dari lembaga tersebut.
Terminologi sosiologi juga mengungkapkan bahwa organisasi tidak sekadar dipandang suatu kesatuan yang bersifat statis belaka melainkan merupakan sebuah bentuk kesatuan yang selalu dinamis dan sifatnya tergantung pada makna yang diberikan anggota, masyarakat luar serta para klien yang memanfaatkan jasa organisasi (Miflen, 1985). Sebagaimana penuturan August Comte, 1844 ( dalam Sunarto, 2000) mengungkap bahwa lingkup kajian sosiologi mencakup dua bagian besar yakni statika sosial, yaitu
Suatu kajian terhadap tatanan sosialnya dan dinamika sosial, yaitu suatu kajian terhadap perubahan dan perkembangan sosialnya. Menurut Comte tersebut, kacamata sosiologi melihat organisasi melalui dua aspek pandangan tersebut. Pertama, organisasi dalam koridor statika sosial akan melandasi pembahasan pada aspek struktur, tatanan peran dan fungsi-fungsi formal yang melekat di dalam organisasi. Sedangkan yang kedua yakni segi dinamika sosialnya mengamati dan mempelajari segala bentuk hubungan dinamika para anggota, perubahan-perubahan kontruksi, bermacam interpretasi dan persepsi para anggotanya, ataupun konflik-konflik yang muncul. Sehingga selain memiliki struktur peranan formal, sebuah organisasi akan merangkul pula aneka ragam makna yang ditangkap berbagai macam orang.
Secara sederhana sekurang-kurangnya ada 4 jenis sasaran organisasi sekolah, di mana masing-masing sasaran akan mencakup titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah. Dari empat sasaran tersebut akan kita dapatkan pengertian yang cukup lengkap tentang kompleksitas organisasi sekolah.
Pertama, sasaran formal. Ruang lingkup sasaran ini meliputi tujuan formal dari sebuah organisasi. Wujud dari sasaran ini tercantum dalam aturan-aturan tertulis, konstitusi dan segala ketentuan formal yang melandasi orientasi organisasi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan formal ini tercapai sepenuhnya. Kita mengetahui unsur personal di dalam lingkungan sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawan dan murid. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada dibawah instansi atasan baik itu kantor dinas atau kantor wilayah departemen yang bersangkutan.
Di negara kita, kepala sekolah adalah jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga ia berperan sebagai pemimpin sekolah dan dalam struktur organisasi sekolah ia didudukkan pada tempat paling atas. Tuntutan formal organisatoris menghendaki agar tugas- tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuan dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan kemampuan, fungsi dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur organisasi yang ada tersebut, orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, tugas guru dan karyawan sekolah.
Kedua, sasaran informal. Organisasi pada umumnya tidak sepenuhnya bekerja sesuai ketentuan-ketentuan formal. Dalam banyak hal, mereka dimodifikasi oleh masing-masing anggotanya sesuai dengan kapasitas pemaknaan kesadaran mereka tentang organisasi. Di sekolah, seorang kepala sekolah mungkin mendapat tanggung jawab sebagai pemimpin dan penguasa formal tertinggi. Akan tetapi penerimaan, pola pikir dan tingkah laku kepala sekolah tersebut adalah konstruksi pemahaman subjektifnya dalam melangsungkan hubungan dengan berbagai pihak di lingkungan sekolahnya. Sehingga sasaran informal merupakan interpretasi dan modifikasi sasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibat langsung pada wadah organisasi. Sasaran ini mencakup pula persepsi masing-masing individu dan menjadi tujuan kegiatan pribadi di dalam organisasi. Masing-masing siswa tentunya memiliki tujuan yang bervariasi dalam melangsungkan statusnya sebagai pelajar. Mungkin ada yang berharap mendapat prestasi akademik tinggi atau mengidamkan ijasah dan tidak sedikit pula yang sekadar menjalankan tradisi masyarakat. Seorang guru dapat saja mengajar hanya untuk mencari gaji namun banyak pula yang masih berpegang teguh pada loyalitas pekerjaan sebagai seorang pendidik.
Ketiga, sasaran ideologis. Sebagaimana tersirat di dalam istilah tersebut, sasaran ini menyangkut seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang diyakini bersama. Dalam hal ini, nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka bernaung (Goodenough, 1971; Spradley, 1972; Geertz, 1973) dalam Sairin (2002) merupakan penjabaran dari dari pengaruh ideologis terhadap organisasi. Sasaran ini menyoroti pengaruh interaktif kultur-ideologis yang dianut oleh sebagian besar manusia dalam menangkap, menyikapi dan merespon eksistensi organisasi. Masyarakat kita memiliki semangat yang tinggi untuk meraih prestasi vertikal, sementara sekolah merupakan wadah yang cukup strategis bagi manusia untuk menopang ambisi mobilitas vertikalnya. Maka bisa diasumsikan hampir sebagian besar warga sekolah maupun masyarakat akan mengarahka keyakinan kultural tersebut dalam memaknai keberadaan sekolah.
Keempat, sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan eksistensinya dalam situasi di luar kondisi biasa. Berkurangnya pendaftaran disekolah-sekolah dan universitas dapat merubah secara luas peran para guru atau organisasi ruang sekolah, termasuk rasio guru terhadap siswa beserta kelas-kelas yang terspesialisasi. Jika tidak, maka sejumlah besar guru akan terancam menganggur. Keempat sasaran atau pandangan organisasi tersebut mengisyaratkan suatu pola pandangan yang berbeda dari pandangan umum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan sekadar tumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis serta jalur-jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Mekanisme tersebut mengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam penafsiran para anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalam mengemban peran dan status yang berbeda-beda di dalam organisasi sekolah.
2. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
a. Pengertian Sistem
Banyak pendapat tentang pegertian sistem. Namun secara umum pengertian sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja sama secara keseluruhan berdasarkan suatu tujuan ber- sama. Di dalam sistem masing-masing unsur saling berkaitan, saling bergantung dan saling berinteraksi atau suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lainnya, dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut selaras dengan pendapat Johnson, Kast dan Rosenwig,1973 sebagaimana dikutip oleh Soenarya (2000) menyatakan bahwa sistem adalah suatu tatanan yang kompleks dan menyeluruh. Dengan kata lain, satu kesatuan dari sesuatu sehingga merupakan kesatuan yang menyeluruh. Sedangkan Middleton dan Wedemeyer,1985 memandang sistem sebagai kumpulan dari berbagai bagian (unsur) yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan, di mana hasil keseluruhan lebih berarti dari pada hasil sejumlah bagian (Soenarya, 2000: 12).
Bachtiar (1985) mengemukakan bahwa sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang biasanya berusaha mencapai tujuan tertentu. Pada bagian yang sama, Bachtiar menambahkan bawa sistem adalah seperangkat ide atau gagasan, asas, metode dan prosedur yang disajikan sebagai suatu tatanan yang teratur. Cleland dan King (1988) menyatakan bahwa sistem adalah sekelompok sesuatu yang secara tetap saling berkaitan dan saling bergantungan sehingga membentuk suatu keseluruhan yang terpadu. Adapun menurut Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 849) menyebutkan bahwa sistem adalah (1) seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, (2) susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya, dan (3) metode.
Mendasarkan pendapat diatas, sesuatu dapat dinamakan sistem bila terjadi hubungan atau interelasi dan interdependensi baik internal maupun eksternal antar subsistem. Interaksi, interelasi, dan interdependensi itu disebut hubungan internal. Bila interaksi, interelasi, dan interdependensi itu terjadi antarsistem, hubungan itu disebut hubungan eksternal. Bila hubungan antar subsistem atau antarkomponen di mana hubungan itu terjadi dengan sendirinya dan tergantung dari subsistem atau komponen lain, hubungan itu disebut hubungan determenistik. Sebaliknya, bila hubungan itu tidak pasti bahwa sesuatu itu dapat berfungsi, maka suatu komponen tidak perlu bergantung pada suatu komponen yang lain. Bola lampu mempunyai akibat deterministik terhadap penerangan karena tanpa bola lampu dengan berbagai jenis dan bentuknya akan mengakibatkan kegelapan. Namun terang dan gelap lampu tidak ada hubungannnya dengan kipas angin. Hubungan yang demikian itu disebut nondeterministik. Apabila terdapat pengaruh yang menunjang, memperkuat, mempercepat fungsi perubahan atau pertumbuhan suatu sistem atau subsistem, maka hubungan itu menimbulkan pengaruh yang menghambat atau mencegah, maka hubungan itu disebut disfungsional.
Lingkungan merupakan batas antara suatu sistem dengan sistem lainnya. Makin terbuka suatu sistem, makin perilakunya terpengaruh oleh lingkungan. Lingkungan suatu sistem meru- pakan pembeda antara suatu sistem dengan sistem yang lain. Lingkungan dapat merupakan sumber yang memberikan kesempatan kepada suatu sistem untuk berkembang dalam mencapai fungsi dan tujuannya, atau sebaliknya dapat pula merupakan penghambat.
b. Sistem Sosial
Salah satu pendekatan di dalam sosiologi yang menggali konsep sistem sosial adalah pendekatan fungsional struktural. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakat seperti layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan memelihara hubungan integratif-sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga. Menurut Nasikun (1984) pendekatan fungsional struktural
sebagaimana telah dikembangkan oleh Parson dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah asumsi dasar sebagai berikut:
1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu sama lain;
2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antar bagian tersebut bersifat ganda dan interaktif;
3) Meskipun integrasi sosial sulit mencapai kesempurnaan, namun secara mendasar sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis; menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem beserta akibatnya dapat diminimalisasi;
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan- penyimpangan senantiasa terjadi, namun dalam jangka panjang keadaan tersebut akan berakhir pula melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial secara sempurna tidak pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah tersebut;
5) Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul melalui tiga macam kemungkinan yaitu penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial itu terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra system change), pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional, serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat; dan
6) Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan sistem sosial adalah konsensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu. Setiap masyarakat, menurut pandangan fungsional struktural selalu memiliki tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu yang mendapat keyakinan kuat dari sebagian besar anggota masyarakat dan dipercaya memiliki kebenaran mutlak. Sistem nilai tersebut bukan sekadar sumber kekuatan yang menyebabkan integrasi sosial, namun sekaligus merupakan unsur yang menstabilkan sistem sosial budaya tersebut.
Dari beberapa asumsi di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah sistem sosial merupakan sistem dari tindakan-tindakan manusia. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antar berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dalam standar penilaian umum serta mendapat kesepakatan bersama dari para anggota masyarakat. Yang paling penting dari berbagai standar penilaian umum adalah apa yang disebut sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Pengaturan interaksi sosial antaranggota masyarakat tersebut dapat terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, proses ini memungkinkan bagi mereka untuk menemukan keselarasan antarsatu sama lain sehingga pada proses selanjutnya menghasilkan suatu tingkat integrasi sosial. Dalam posisi tersebut, equilibrium terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang mengendalikan hasrat-hasrat para anggota demi terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosioalisasi dan pengawasan sosial (social control).
Dari anggapan-anggapan di atas itulah para penganut fungsional struktural menganggap bahwa disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan- penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan masyarakat sehingga memunculkan terjadinya diferensiasi sosial yang semakin komplek, adalah akibat dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Namun anggapan-anggapan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang melekat. Kelemahan tersebut terletak pada bahwa pendekatan fungsional struktural mengabaikan beberapa kenyataan, antara lain:
1) Setiap struktur sosial selalu mengandung konflik dan kondiksi-kontradiksi yang bersifat internal, lalu pada gilirannya justru menjadi sumber terjadinya perubahan sosial;
2) Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systeme change) tidak selalu bersifat adjustive;
3) Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu tertentu dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle;dan
4) Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian lunak, akan tetapi juga terjadi secara revolusioner (Nasikun, 1984: 15).
Dari beberapa asumsi tersebut telah jelas bahwa pendekatan fungsional struktural terlalu menekankan asumsi dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dalam menelaah tingkah laku sosial, khususnya proses-proses yang paling mikro di tingkat individu. Pandangan tersebut menegaskan bahwa setiap individu merupakan kontributor teknis yang melembagakan tegaknya norma-norma sosial demi menjamin stabilitas sosial. Pendekatan tersebut telah melupakan hakikat dualistis yang selalu terkandung dalam realitas hidup. Salah satunya realitas sosial bahwa selain kemapanan empiris yang mencerminkan tertibnya tatanan hidup ada sisi gelap yang terselubung dan perlahan-lahan menjadi potensi konflik yang bersifat laten. Dalam konteks sosialnya, istilah tersebut dinamakan sub-stratum, yakni disposisi-disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life chances dan kepentingan- kepentingan tertentu.
Oleh karena itulah, maka pendekatan fungsional struktural dipandang kurang lengkap dalam menelaah hakikat sistem sosial. Beberapa ahli yang lalu mengkritisi teori fungsional struktural menambahkan analisisnya untuk memperlengkap kajian sosiologi tentang sistem sosial. Oleh masyarakat pendekatan mereka dinamakan pendekatan konflik. Pendekatan tersebut memperhatikan kekurangan-kekurangan yang melekat di dalam fungsional struktural lalu mencoba menemukan formulasi teoretis yang lebih representatif. Beberapa asumsi yang dimiliki oleh pendekatan konflik tersebut antara lain yaitu:
1) Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain, perubahan sosial merupakan gejolak yang melekat dalam setiap masyarakat;
2) Setiap masyarakat selalu mengandung konflik-konflik yang terselubung, atau dengan kata lain konflik adalah gejala yang niscaya ada di masyarakat manapun;
3) Setiap unsur dalam suatu masyarakat selalu memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial; dan
4) Setiap masyarakat terintegrasi di bawah kekuatan atau dominasi golongan tertentu yang memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar masyarakat (Nasikun, 1984: 16-17).
Perubahan sosial oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat pada kehidupan masyarakat, namun lebih dari itu merupakan sumber yang berasal dari faktor-faktor internal di dalam sebuah masyarakat. Perubahan sosial muncul disebabkan oleh pertentangan unsur-unsur sosial. Kontradiksi internal tersebut bersumber pada tegaknya sistem struktur yang tidak merata dalam level kekuasaan. Kenyataan ini menjadi faktor munculnya dua entitas kepentingan yang senantiasa bertentangan yakni, pengemban otoritas dan mereka-mereka yang dikuasai. Dari pendekatan konflik dapat disadari satu substansi kodrat sosial yang tidak bisa dilupakan, yaitu dengan perbedaan serta diferensiasi sosial bukanlah sekadar menjadi sarana penyokong integrasi maupun fungsionalisasi peran. Perbedaan juga memiliki peran kontroversial yang memicu merebaknya disintegrasi sosial. Kenyataan ini mendorong terciptanya akomodasi kepentingan yang mampu merombak tatanan sosial untuk menjadi lebih representatif dan berdaya guna bagi masyarakat.
c. Sistem Sosial di dalam Sekolah
Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001), menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya.
Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku para pengemban status dan peran di sekolah. Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal.
Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas, administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga disini fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai satu-satunya
Pedoman mendasar atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah. Manifestasi peran mendasar norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas kesadaran yang tinggi.
Sementara itu, pendekatan konflik lebih menekankan porspenilaian subjektif para pelaku peran di sekolah dan konsekuensi objektif atas wujud sekolah sebagai lembaga yang memelihara sistem kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain dari tertibnya perilaku masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrat-hasrat individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif. Lockwood melihat bahwa setiap situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial yang bersifat normatif serta sub-stratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya sistem nilainormatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah bukan berarti melenyapkan potensi-potensi konflik. Oleh sebab itu, stabilitas sosial yang dicerminkan oleh pengaturan peran dan status seperti guru, kepala sekolah, pejabat struktural sekolah, pengawas sekolah, murid, administratur sekolah, orang tua siswa, petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk pengaturan manifes atas masing-masing kepentingan yang sebenarnya saling bertentangan.
Secara lebih radikal beberapa penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial yang ada (termasuk di sekolah) merupakan hasil kekuasaan dominan baik itu bersumber dari paksaan secara fisik maupun kekerasan simbolik (symbolic violence). Artinya kelas sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang menghegomoni kesadaran seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai objektif yang pada hakikatnya banyak berpihak pada golongan atau kelas yang berkuasa. Di dalam sekolah, seorang kepala sekolah selain memiliki kedudukan formal sebagai pemimpin sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan dan otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf administrasi dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala sekolah menjalankan fungsi formalnya, maka ada titik pertentangan yang menggoyahkan otonomi peran guru dalam mengelola b elajar mengajar. Di satu sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasil dalam belajar dengan proses pengajaran yang efektif, efisien serta mampu mencapai target penguasaan materi yang banyak. Di sisi lain, harapan yang melambangkan kepentingan status kepala sekolah tersebut tentunya membebani peran sekaligus otonomimkedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Faisal dan Yasik (1985) menyatakan bahwa dari pendekatan konflik bisa ditarik dua asumsi dasar yang muncul pada lembaga sekolah. Sebuah lembaga yang memiliki tujuan tertentu dan memelihara banyak status yang berbeda serta memiliki peran fungsional. Aneka ragam status tersebut dikelola melalui fungsi-fungsi otoritas legal formal dengan memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi. Dua asumsi tersebut yakni:
1) Potensi konflik dalam mengintegrasikan pemahaman satu tujuan sekolah kepada para pemegang status yang berbeda-beda. Untuk satu tujuan pendidikan, masing-masing pengemban posisi akan memiliki daya tangkap sektoral yang berbeda-beda dalam mengartikan hasil maupun proses pencapaian tujuan.
2) Sulitnya meraih kesamaan persepsi mengenai batas peran dan posisi pendidikan. Sebagai dampaknya, keadaan tersebut memicu konflik internal lintas posisi. Yang dimaksud konflik peranan internal adalah konflik harapan antar pihak dari pemegang posisi peran di sekolah. Para guru dihadapkan dengan harapan yang saling bertentangan dengan kepala sekolahnya, penilik, petugas konseling, administratur pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri.
Dari dua pendekatan utama di atas (fungsional struktural dan konflik) dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah bukanlah sekadar kumpulan yang terdiri dari para pelaksana administrasi, guru dan murid dengan segala sifat dan pembawaan mereka masing-masing (Horton dan Hunt, 1999: 333). Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks seperti halnya dinamika sosial masyarakat umum.
Beberapa unsur tersebut memproduk konsep-konsep sosial didalam sekolah yakni sebagai berikut:
Kedudukan dalam Sekolah Sekolah, seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota dalam lingkungannya. Setiap orang didalam sekolah memiliki persepsi dan ekspektasi sosial terhadapkedudukan atau status yang melekat pada diri warga sekolah. Disana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala sekolah, guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi hubungan ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Weber (dalam Robinson, 1981) tentang konsep tindakan sosial, dimana setiap orang memiliki ideal type untuk mengukur dan menentukan parameter mendasar tentang sebuah realitas.
Realitas sosial yang tersebar dalam status sosial menjadi titik tolak kesadaran seorang individu untuk menentukan sikap, pandangan dan tindakan dalam lingkup sosial tertentu. Harapan ideal “kepala sekolah” merupakan kesadaran awal yang mempengaruhi sikap individu seorang pejabat kepala sekolah. Meskipun pada proses selanjutnya harus terkombinasi dengan pembawaan individu, prasangka terhadap status lain, hubungan-hubungan antarstatus serta kaitannya dengan konstruksi total dari susunan status di sekolah.
Dalam mempelajari struktur sosial sekolah kita analisis berbagai anggota menurut kedudukannya dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan dibangun berdasarkan sistem klasifikasi sosial di antaranya adalah:
a) Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan mengidentifikasi pelakunya pada perbedaan seks atau kelamin, bu guru, pak guru, murid putri, siswa lelaki, pak kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik. Pembedaan tersebut merupakan dampak kultural dari masyarakat yang lebih luas, dimana perbedaan kelamin masih mengkisahkan pembagian kerja, hak, serta ruang gerak yang berbeda pula. Namun secara struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu mempengaruhi kualitas penerapan ketentuan formal sebuah lembaga. Seorang kepala sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap para guru lelaki maupun wakasek laki-laki.
b) Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga, misalnya kepala sekolah, guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan serangkaian peran dan pemetaan kewenangan struktural berdasarkan pembagian wilayah kekuasaan yang bersifat hierarkis. Sesuai dengan formasi struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisi menggambarkan tingkat kekuasaan yang bertingkat-tingkat. Posisi teratas menggambarkan puncak pengakuan otoritas tertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada posisi-posisi di bawahnya.
c) Kedudukan berdasarkan usia. Pengakuan terhadap kategori sosial ini didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembaga pendidikan. Berangkat dari pengertian tentang pengajaran sebagai sumber dari keberadaan sekolah dan segala aktivitas kelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak lepas dari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisa ditangkap indikasi kecenderungan dalam lembaga sekolah untuk mengutamakan sistem nilai berdasarkan usia. Mereka yang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan, sumber nilai kebaikan, pengontrol moral, berkemampuan tinggi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali melekat dalam orientasi warga sekolah.
d) Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah. Pada dasarnya tiap-tiap status di sekolah akan membentuk wilayah-wilayah sektoral sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan. Di kelas jenis status yang paling dominan berperan adalah status guru dan murid. Sementara di wilayah birokrasi akan memperlihatkan kontak sosial antara pengurus administrasi baik itu kepala bagian, sekretaris, bendahara sekolah serta staf-stafnya. Di tingkat pelayanan administrasi akan melibatkan pegawai administrasi dengan para siswa, guru-guru dan lain sebagainya.
2.)Interaksi di sekolah
Menurut Horton dan Hunt (1999) sistem interaksi di sekolah dapat ditinjau dengan menggunakan tiga perspektif yang berbeda, yakni:
a) Hubungan antara warga sekolah dengan masyarakat luar
b) Hubungan di internal sekolah lintas kedudukan dan peranannya.
c) Hubungan antarindividu pengemban status atau kedudukan yang sama.
Dalam kategori pertama, hubungan interaktif antara orang dalam dengan orang luar mencerminkan keberadaan sekolah sebagai bagian masyarakat. Para guru, murid dan seluruh warga di sekolah juga pengemban status-status lain di masyarakat. Sehingga interaksi di sekolah merupakan kombinasi berbagai nilai dari masyarakat yang dibawa oleh para warga sekolah. Para guru, kepala sekolah, murid-murid juga bagian dari masyarakat mereka.
Mereka membawa sikap dan perilaku ke sekolah, sebagai hasil dari hubungan dengan tetangga, teman, gereja, partai politik dan berbagai ragam kelompok kepentingan. Sementara secara formal, sekolah memiliki pihak-pihak yang bertanggung jawab mengadakan hubungan antara masyarakat dengan pihak sekolah. Dalam hal ini, pihak yang paling berkepentingan mengadakan hubungan dengan masyarakat adalah pengawas sekolah. Pengawas sekolah bertanggung jawab menjamin kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara ditingkat internal pengawas sekolah juga berkewajiban memberikan perlindungan atas orientasi masyarakat sekolah dari tuntutan-tuntutan luar yang kurang masuk akal. Sebagai pengamat atau evaluator pengawas sekolah juga memiliki tugas memelihara keharmonisan hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di sekolah. Hubungan antar status juga sering kali menimbulkan konflik antar peran.
Di dalam sekolah, tanggung jawab penjaga sekolah menyangkut kebersihan bertentangan dengan keinginan warga sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah semaksimal mungkin. Kebebasan profesional guru juga bertentangan dengan kepentingan pengawas sekolah dalam menciptakan kelancaran pengajaran di tiap-tiap kelas. Keinginan kepala sekolah untuk menerapkan inovasi baru harus berhadapan dengan keengganan guru dan murid untuk menerima perubahan. Salah satu konflik yang cukup krusial saat ini adalah konflik keinginan pengawas sekolah untuk mencapai hasil pengajaran yang terbaik sesuai dengan anggaran biaya yang tersedia berhadapan dengan tuntutan organisasi persatuan guru untuk memperoleh jaminan pekerjaan dan gaji yang memadai.
Namun selain menimbulkan konflik, hubungan antarstatus merupakan bagian dari orientasi lembaga sekolah. Secara fungsional untuk mencapai tujuan yang diharapkan sekolah membutuhkan peran dan kiprah dari berbagai status dan kedudukan. Sehingga kerja timbal balik antar status diprioritaskan untuk melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi. Sekolah membutuhkan hubungan yang harmonis antarguru dan murid agar tujuan pengajaran di kelas dapat tercapai secara maksimal. Sekolah membutuhkan kerja sama antarberbagai pihak agar roda organisasi dapat berjalan dengan lancar. Hubungan antarindividu atau kelompok dalam jenis status yang sama juga tidak lepas dari bagian interaksi di sekolah. Para guru selain memiliki persamaan peran sesuai statusnya juga menggambarkan berbagai perilaku guru yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter, sikap dan pengalaman individu dalam melancarkan aktivitas di sekolah. Kita ketahui bersama untuk status siswa pun juga telah terbentuk aneka ragam karakter dan perilaku individu maupun kelompok yang berbeda-beda.
3.) Klik Antar Siswa Pengelompokan atau pembentukan klik mudah terjadi disekolah. Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih menjalin persahabatan sehingga dalam keseharian telah terikat pada kehidupan bersama baik di dalam maupun di luar sekolah. Mereka saling merasakan apa yang dialami salah satu anggota kelompoknya dan mampu mengungkap perasaan yang selama ini tersembunyi, seperti hubungan mereka dengan orang tua atau dengan jenis kelamin lain serta kesulitan pribadi-pribadi lainnya. Keanggotaan klik bersifat sukarela dan tak formal. Seorang diterima atau ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun klik tidak mempunyai peraturan yang jelas, namun ada nilai-nilai yang dijadikan dasar untuk menerima anggota baru. Anggota klik merasa diri bersatu dan merasa diri kuat, penuh dengan kepercayaan berkat rasa persatuan dan kekompakan. Mereka mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan individual dan sikap ini dapat menimbulkan konflik dengan orang tua, sekolah, dan klik-klik lainnya. Bila klik ini mempunyai sikap anti sosial maka klik itu dapat menjadi “geng”. Orang luar, khususnya orang tua dan guru sering tidak dapat memahami makna klik bagi anggota-anggotanya. Akibatnya mereka justru makin kompak dengan kelompoknya sehingga memicu kesadaran bersama untuk sama-sama membebaskan diri dari kekuasaan dan pengawasan orang tua, sekolah dan lembaga-lembaga lainnya. Dari kelompoknya seorang anggota yakin mendapat bantuan penuh namun sebaliknya harus mampu menunjukkan loyalitas yang tinggi pada kelompok. Mereka yang tidak patuh akan mendapat klaim sebagai pengkhianat.
Faktor yang paling penting dalam pembentukan klik adalah usia atau tingkat kelas. Suatu klik jarang beranggotakan anak yang berusia dua tahun lebih. Selain itu klik biasanya beranggotakan murid dari jenis kelamin yang sama. Tidak ada bukti yang menunjukkan pembentukan klik berdasarkan prestasi akademis atau intelegensi. Menurut pengamatan suatu klik merupakan kelompok minat atau kegemaran yang serupa, misalnya musik, olah raga dan sebagainya. Klik juga menggambarkan struktur sosial masyarakatnya. Klik menunjukkan stratifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat tempat sekolah itu berada. Murid-murid pada umumnya memilih teman dari golongan anak yang secara sosial ekonomi memiliki kedudukan sama. Klik-klik yang muncul di sekolah beragam wujudnya, tergantung pada perbedaan murid. Ada kemungkinan terbentuknya kelompok berdasarkan kesukuan dari kalangan siswa satu daerah atau karena mereka merupakan minoritas. Ada kelompok “elite” yang terdiri atas anak-anak orang kaya atau menunjukkan prestasi akademis tinggi dan kepribadian tinggi. Adapula kelompok rendahan, yang berasal dari keluarga tidak berpendidikan.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
A. Penutup
Sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen- komponennya.
Maka dari itu, fungsi semua kompenen pendidikan itu harus dimaksimalkan, agar dapat memperoleh sinergitas diantara komponen-komponen itu sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain.
Demikian makalah ini kami buat, semoga sumbangan karya kecil kami ini dapat mempunyai pengaruh pada rekonstruksi pengetahuan dan menambah keluasan ilmu setiap orang yang membacanya. Dan tak lupa kritik dan saran dari pembaca kami tunggu untuk bahan evaluasi kami ke depan.
B. Kesimpulan
Sekolah merupakan institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik, termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya disebut dengan kebudayaan sekolah. Sedangkan Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama.
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Maka dari itu, sebagai studi kasus terhadap kajian ini, kita coba membaca realita yang ada di masyarakat hari ini, mengapa masih banyak masyarakat yang tidak berminat unntuk menyhekolahkan putrinya di sekolah tertentu?. Apakah sistem sosial yang dibangun dalam sekolah itu yang terimplementasikan dalam interaksi di kelas-kelas sudah sesuai dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sekitar apa belum?.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
HAR Tilaar (2000), Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Padil, Moch. dan Triyo Supriyatno (2007), Sosiologi Pendidikan. Malang: UIN Press.
http/www.sosiologi pendidikan.com
Perkembangan peserta didik merupakan suatu aspek pendidikan dimana seorang guru dituntut untuk memahami dan mengawal dalam setiap tahap perkembangan, agar proses pendidikan dapat berhasil sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pendidik dan peserta didik.
Perkembangan itu pun harus dikawal dalam semua lingkungan peserta didik, meliputi: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Lingkungan-lingkungan itu yang banyak mempengaruhi pola pikir dan dan tingkah laku seorang peserta didik. Dan suasana yang diciptakan dari lingkungan-lingkungan tersebut itu yang akan menjadi budaya bagi peserta didik.
Kebudayaan sekolah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pola perilaku anak didik, terutama dalam proses belajar mengajar. Ternyata apa yang dihayati oleh siswa seperti sikap dalam belajar, sikap terhadap kewibawaan, dan sikap terhadap nilai-nilai tidak berasal dari kurikulum sekolah yang formal, melainkan berasal dari kebudayaan sekolah itu.
Maka dari tu, segala aspek yang menjadi unsur sekolah berpengaruh pada pola pikir peserta didik. Baik berupa lokasi sekolah, tata kelas, sistem sosial yang ada di sekolah, dan lain sebagaimana.
PEMBAHASAN
KELAS DAN SEKOLAH SEBAGAI SISTEM SOSIAL
A. Kelas sebagai Sistem Sosial
Sekolah merupakan institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik, termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya disebut dengan kebudayaan sekolah.
Dalam struktur kelas terdapat dalam perspektif sosiologi, kelas merupakan bagian dari mikrososiologi yang menelaah kehidupan kelompok sosial di sekolah dengan keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya. Di sana terdapat gabungan dari individu-individu yang membentuk suatu kelompok sosial yang teratur dan memiliki fungsi dan peran yang kompleks dalam kacamata pendidikan.
Menurut Emile Durkheim, sebagaimana dikutip oleh Sanapiah Faisal, bahwa kelas dikenal sebagai masyarakat kecil, moralitas yang seimbang dengan besar ukuranya, corak elemen, dan fungsinya. Di pihak lain, masyarakat kelas agak berbeda dengan masyarakat keluarga. Masyarakat kelas lebih banyak mendekati kelas orang dewasa pada umumnya. Dalam kenyataannya, jumlah orang dalam masyarakat kelas relatif lebih besar dibandingkan dengan masyarakat keluarga.
Ruang kelas memenuhi standar definisi kelompok sosial karena sekumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi (Horton dan Hunt, 1984). Hakikat keberadaan kelompok sosial bukan tergantung dari dekatnya jarak fisik, melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi, sehingga kelas bersifat permanen dan tidak hanya suatu agregasi atau kolektivitas semata. Pada akhirnya, peran dan fungsi yang diembannya dalam struktur pendidikan lebih terjamin.
1. Struktur Sosial Kelas
Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama. Beberapa ciri khas struktur kelas yang memiliki kesamaan dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
Komposisi Anggota Heterogenitas adalah aspek umum yang hampir selalu ada dikelas manapun. Di sana, selain latar belakang kehidupan yang berbeda-beda, juga terdapat perbedaan jenis kelamin (seksualitas) kecuali di sekolah khusus, keberagaman agama, sampai pada karakteristik individu yang saling berlainan secara fisik maupun psikis yang ditandai dengan perbedaan antar personalnya. Keberagaman komposisi kelas merupakan warna yang biasa, seperti halnya dalam masyarakat karena institusi pendidikan berlaku universal yang memberi kebebasan bagi siapa saja yang memenuhi syarat untuk bergabung.
Struktur Birokratis Berupa Peran dan Status Di dalam kelas yang majemuk itu, terdapat suatu tata aturan kelas yang diikat oleh sekolah dan diperankan oleh wakil-wakil siswa yang disebut pengurus kelas. Lahirlah berbagai “jabatan” yang terbentuk secara hierarkis sesuai dengan tugas dan kewenangan mereka di dalam kelas, baik itu oleh guru yang berperan sebagai wali kelas maupun siswa-siswanya yang terakumulasi dalam jabatan ketua kelas, sekretaris, bendahara, dan seterusnya. Pola imitatif yang dibawa dari lingkup luar masyarakat ini tersusun karena diperlukannya sistem penegakan tata aturan institusi serta pola pengendalian sosial yang ketat mengingat fungsi dunia pendidikan yang sedemikian nyata sehingga memerlukan tindakan konkret untuk pelestarian fungsi institusi dan segenap norma-norma kelas dan sekolah tersebut. Salah satu bentuknya adalah penetapan status birokratis dari unsur-unsur kelas yang merepresentasikan anggota-anggotanya sebagai wujud dari masyarakat kecil.
2. Pola Komunikasi dalam Kelas
Komunikasi menjadi elemen penting dalam segala kegiatan dikelas karena memungkinkan adanya pertukaran interaksi timbal balik antara warga kelas (murid-murid ataupun murid-guru). Selain itu, arti penting komunikasi dalam pencapaian tujuan belajar di kelas adalah untuk mengkomunikasikan dan menyalurkan informasi dan keterampilan.
Konsekuensi logisnya, setiap kelas memerlukan adanya pola alur komunikasi yang berjalansecara lancar dan efektif dari masing-masing pihak. Aktivitas penyampaian informasi dari guru dijelaskan dalam berbagai paparan tentang materi pelajaran beserta penjelasannya yang kadang disertai dengan berbagai tugas dan pertanyaan yang disampaikan kepada murid sebagai bentuk komunikasi dari guru. Sebaliknya siswa bisa merespon dengan bertanya, menjawab, berdiskusi dengan teman sekelas dan sebagainya, manapun dengan aktivitas di luar pelajaran.
Namun, aspek ini tidak sesederhana itu, melainkan dititikberatkan pada peran komunikasi dalam keberlangsungan kelas, sesuai dengan beberapa eksperimen tentang komunikasi kelas oleh beberapa ahli, antara lain oleh Bavelas dan Leavit (dalam Horton dan Hunt, 1999), yang menghasilkan beberapa pola komunikasi yang telah diuji dalam eksperimennya tahun 1958. Hasil eksperimen tersebut mendeskripsikan 4 bentuk komunikasi yang terskema (Horton dan Hunt, 1999).
Hasil kesimpulan dari eksperimen tersebut adalah bahwasanya pola komunikasi mempengaruhi kegiatan, kepuasan, kecepatan dan kecermatan dalam menemukan permasalahan baik pada tingkat individu maupun kelompok. Dua pola keempat (terpusat/setir) di mana dalam pola melingkar terjadi pemerataan peran dan status serta kepemimpinan masing-masing anggotanya, terdapat keaktifan anggota dan seluruh anggotanya puas terhadap kinerja meskipun kelompok masih sedikit melakukan kesalahan dalam memecahkan masalah. Sebaliknya pada tipe yang terpusat, mereka cenderung terorganisasi secara cepat dalam memecahkan masalah dengan kesalahan yang relatif sedikit, kelompok tersebut sangat kuat dan stabil walaupun seluruh kegiatan kelompok itu belum tentu memuaskan semua anggotanya.
Leavit mengatakan bahwasanya pemusatan ini dianggap karena posisi pemimpinnya yang fungsi utamanya menerima, mengorganisasi dan mengirim berita. Dalam hal ini, secara faktor kesemuanya terwujud dalam bentuk kegiatan belajar kelas yang selama ini diterapkan yaitu sentralisasi peran guru yang sangat besar. Selama ini, guru memang menjadi pusat komunikasi kelas dan mendominasi setiap kegiatan penyaluran informasi ini melalui penyampaian materi pelajaran, memberikan pertanyaan, mendeskripsikan penjelasan dan lain sebagainya.
Model komunikasi secara terpusat ini mengandung beberapa implikasi yaitu, pertama, struktur komunikasi kelas dimaksud paling tidak memuaskan seluruh anggota kelompok, kecuali anggota yang paling sentral (dalam hal ini adalah guru). Kedua, tipe kelompok ini dianggap paling produktif dalam menyelesaikan secara tepat tugas-tugas yang jelas strukturnya, akan tetapi hal ini sebenarnya merupakan hasil tindakan orang yang memegang peranan sentral. Pola komunikasi kelompok ini sangat terpusat (highly centralized group) tampak sangat teratur dan efisien dikarenakan tindakan anggotanya yang pasif. Dengan kata lain, komunikasi yang terbentuk hanyalah komunikasi dengan pemimpinnya saja. Dalam sistem ini, pemegang peranan sentral akan banyak bisa belajar dan merasa puas dengan posisi dan kelompoknya akan tetapi efeknya, individu lain tidak banyak memperoleh kesempatan untuk belajar.
3. Iklim Sosial di Kelas
Kelas merupakan perwujudan masyarakat heterogen kecil dimana di dalamnya terdapat variasi komposisi dan hubungan antarpersonal yang melahirkan mekanisme interaksi sosial yang continue. Mekanisme ini terus berlanjut dala lingkup sosialnya (dikelas) dan secara faktual terakumulasi ke dalam bentuk-bentuk hubungan antara individu-individu di dalam suatu kelas ataupun hubungan kelompok. Hal terpenting adalah interelasi yang terjadi antara guru dengan murid yang melambangkan bentuk konkret dari suasana kelas dan membentuk suatu iklim sosial.
Pembentukan iklim sosial kelas sangat bergantung pada variasi hubungan guru-murid serta alur penerimaan informasi dan komunikasi yang kesemuanya dinaungi dalam sebuah koridor gaya kepemimpinan dari seorang guru, baik yang mengikuti kepemimpinan terpusat (sentralistik), demokratis maupun gaya kepemimpinan yang memberi kebebasan penuh (laissez faire) kepada para muridnya. Dari perpaduan itulah terbentuk berbagai macam iklim sosial di kelas yang merefleksikan bentuk hubungan vertikal kelas antara guru- murid dalam kegiatan belajar di dalam kelas yang sangat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar ataupun bersosialisasi didalamnya.
Menurut Faisal dan Yasik (1985) terdapat enam iklim sosial yang timbul di kelas yaitu sebagai berikut:
Iklim Terbuka
Dalam iklim terbuka ini, tingkah laku guru menggambarkan integrasi antara kepribadian seorang guru sebagai individu dan peranannya sebagai pimpinan di dalam kelas. Dia selain memberikan kritik, juga mau menerima kritikan dari para siswa. Hubungan guru dengan siswa bersifat fleksibel sehingga suasana ini dapat mempertinggi kreativitas siswa karena mereka dapat bekerja sama dan berkreasi tanpa adanya beban mental. Kebijaksanaan yang diambil seorang guru biasanya memberikan kemudahan bagi setiap siswa untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Efeknya, setiap murid biasanya dapat memperoleh kepuasan dalam melaksanakan tugas hubungan ini serta dapat memperlancar jalannya organisasi di kelas maupun organisasi di sekolah yang lebih luas.
b) Iklim mandiri
Dalam bentuk ini, masing-masing mendasarkan pada kemampuan dan tanggung jawab yang mereka miliki. Para siswa mendapatkan kebebasan dari guru untuk mendapatkan kebebasan kebutuhan belajar dan kebutuhan sosial mereka. Mereka tidak terlalu dibebani dengan tugas-tugas yang berat dan menyulitkan mereka. Untuk memperlancar tugas siswa, seorang guru membuat prosedur dan peraturan yang jelas, yang dikomunikasikan di dalam kelas. Yang lebih esensial dalam iklim mandiri ini, antara guru dan siswa bekerja sama dengan baik, penuh tenggang rasa, dan penuh kesungguhan hati. Kepercayaan dan tanggung jawab masing-masing membuat guru memberikan kelongggaran-kelonggaran sehingga kontrol yang ketat tidak diperlukan karena para murid dipercaya memiliki moral yang cukup tinggi.
C) Iklim terkontrol
Dalam iklim terkontrol ini, titik sentral kebijakan seorang guru adalah menekankan pada pencapaian prestasi siswa di kelas, tetapi di sisi lain justru mengorbankan kepuasan kebutuhan sosial siswa. Oleh karena tuntutan ini, para guru menjalankan komando mengajar secara kaku dan keras serta siswa diharuskan menjalankan kegiatan belajar dengan keras. Mereka akhirnya sibuk dengan kesibukannya sendiri-sendiri sehingga tidak bisa mendapat kesempatan untuk membentuk hubungan kerja yang lebih akrab dan sosialitas tinggi. Hubungan pribadi sesama siswa jarang dilaksanakan karena mereka sibuk dengan pekerjaan atau tugas mereka sendiri-sendiri yang dituntut prestasi dan keberhasilan nyata. Fungsi pimpinan sangat dominan karena tidak adanya fleksibilitas dalam organisasi kelas tersebut. Setiap pembelajaran yang telah terjadwal dijalankan secara ketat dan full dan untuk menjaga keberlangsungan belajarnya guru menerangkan aturan yang keras dan disertai sanksi fisik atau nonfisik yang berlaku mulai saat itu juga.
d) Iklim persaudaraan
Pada jenis ini, hubungan yang terjadi antara guru dan siswa sangat erat, baik dalam kegiatan belajar maupun kegiatan di luar itu. Kepuasan terhadap pemenuhan kebutuhan sosial sangat menonjol, tetapi umumnya guru kurang mempunyai kegiatan yang berorientasi pada fase oriented. Para siswa tidak dibebani dengan tugas-tugas yang menyulitkan, sebab guru berusaha agar para siswa dapat bekerja semudah mungkin dan merasa bahagia. Kelas merupakan satu ikatan keluarga sehingga di antara mereka banyak terjalin komunikasi dan saling menasihati. Pendekatan guru terhadap anak didiknya sangat personal walaupun masih memerankan diri mereka sebagai pimpinan. Dalam kelas seperti ini tidak banyak aturan yang digunakan sebagai pedoman sehingga akibatnya tugas belajar kurang diperhatikan. Pengaruh lainnya, prestasi belajar kurang optimal karena tidak pernah mendapatkan kritik.
e) Iklim tertutup
Dalam model ini, seorang guru tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada para siswa. Ia mengharapkan agar setiap siswa mengembangkan inisiatif masing-masing. Namun ia tidak memberi kebebasan kepada para siswa untuk merealisasikan inisiatif tersebut secara nyata karena tidak adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Antara siswa yang satu dengan yang lain kurang dapat bekerja sama dengan baik. Akibatnya, prestasi yang dicapai pun rendah karena seringkali timbul perbedaan persepsi dan pandangan tentang prestasi yang harus ditargetkan. Para guru menerapkan aturan-aturan yang semuanya bersifat sepihak dan kurang memperhatikan kepentingan siswa.
B. Sekolah sebagai Sistem Sosial
1. Sekolah sebagai Organisasi Pendidikan Formal
a. Pengertian Organisasi Formal
Organisasi secara umum dapat diartikan memberi struktur atau susunan yakni dalam penyusunan atau penempatan orang-orang dalam suatu kelompok kerja sama, dengan maksud menempatkan hubungan antara orang dalam kewajiban-kewajiban, hak-hak dan tanggung jawab masing-masing. Penentuan struktur hubungan tugas dan tanggung jawab itu dimaksudkan agar tersusun suatu pola kegiatan untuk menuju ke arah tercapainya tujuan bersama. Dengan kata lain organisasi adalah aktivitas dalam membagi-bagi kerja, menggolong-golongkan jenis pekerjaan, memberi wewenang, menetapkan saluran perintah dan tanggung jawab. Sebagaimana terangkum dalam Liweri (1997) beberapa ahli mengemukakan pengertian tentang organisasi.
Victor A.Thompson, 1969 menyatakan bahwa sebuah organisasi adalah integrasi impersonal dan sangat rasional atas sejumlah spesialis yang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Chester I. Barnard,1970 mendefinisikan organisasi sebagai sebuah sistem yang memaksakan koordinasi kerja antara dua orang atau lebih. E. Wright Bakke,1967 mengatakan suatu organisasi adalah suatu sistem yang berkelanjutan atas kegiatan manusia yang bermacam-macam dan terkoordinasi berupa pemanfaatan, perubahan dan penyatuan segenap sumber-sumber manusia, materi dan modal, gagasan dan sumber alam untuk memenuhi suatu kebutuhan manusia tertentu dalam interaksinya dengan sistem-sistem kegiatan manusia dan sumber-sumbernya yang lain, dalam suatu lingkungan tertentu.
Masing-masing pendapat di atas berbeda-beda pendekatan definitifnya, sebab hal itu disesuaikan dengan konteks dan perspektif orang yang “mendefinisikannya”. Meskipun begitu dari perspektif yang berbeda-beda dapat kita tarik kesamaan teoritis mengenai organisasi, yaitu sebagai berikut:
1) Mempunyai tujuan tertentu dan merupakan kumpulan berbagai macam manusia;
2) Mempunyai hubungan sekunder (impersonal);
3) Mempunyai tujuan khusus dan terbatas;
4) Mempunyai kegiatan kerja sama pendukung;
5) Terintegrasi dalam sistem sosial yang lebih luas;
6) Menghasilkan barang atau jasa untuk lingkungan, dan sangat terpengaruh dengan setiap perubahan lingkungan.
b. Sekolah sebagai Organisasi
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Masyarakat modern memanfaatkan fungsi lembaga-lembaga sosialnya dengan pola hubungan dan orientasi sistem jaringan kerja yang sistematis, termekanisasi dalam pola-pola kegiatan yang formal, impersonal, terstruktur dan rasional. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari kita tidak bisa lepas dari organisasi.
Dalam hal pendidikan masyarakat membutuhkan sekolah, universitas maupun institusi departemen yang mengelola sistem pendidikan negara. Pelayanan kebutuhan konsumsi manusia telah diambil alih oleh produk-produk industri barang dan jasa, distribusi dengan sarana transportasi berteknologi tinggi serta melengkapinya dengan lapangan profesi pekerjaan yang spesifik. Masyarakat membutuhkan rumah sakit untuk melayani penderita, “plaza” untuk perbelanjaan, bank untuk menyimpan dan mengambil uang, hotel untuk menginap, kantor pemerintah untuk melayani urusan pemerintah atau pembangunan dan kemasyarakatan. Tidak mengherankan apabila seluruh masyarakat memusatkan perhatiannya terhadap organisasi, terutama melalui tampilan peran, tugas dan fungsi organisasi.
Untuk dunia pendidikan, kerangka sosiologi sebagai ilmu kemasyarakatan menunjukkan bahwa masyarakat sangat memerlukan kehadiran organisasi pendidikan beserta institusi sosialnya guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Oleh karena itu, keberadaan sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan formal merupakan keniscayaan historis dari tingkat perkembangan pranata sosial lembaga pendidikan di zaman modern. Sekolah sebagai inti pranata pendidikan manusia modern sudah seharusnya menggunakan perangkat-perangkat yang dimiliki organisasi modern.
Dari wujudnya, sekolah merupakan organisasi yang memiliki komponen- komponennya dan memenuhi persyaratan sebagai sebuah organisasi formal. Beberapa kriteria organisasi yang diuraikan di bagian atas dapat kita lihat manifestasi spesifik dalam lembaga sekolah. Pertama, seperti halnya organisasi bisnis atau sebuah rumah sakit sekolah memiliki tujuan kelembagaan yang jelas. Kedua, dalam organisasi sekolah juga terdapat pola jaringan kerja dari sejumlah posisi yang saling berkaitan (seperti guru, supervisor dan adminsitrator) dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Analisis organisasional mengetengahkan bahwa sekolah mengemban fungsi sebagai lembaga yang memberi pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik, dengan mengkoordinasikan individu-individu yang memiliki tugas dan peran yang berbeda- beda dalam satuan jaringan kerja yang bersifat fungsional.
Guru secara formal bertugas mengajar dan mengelola pembelajaran dengan para siswanya di kelas Supervisor berfungsi mengadakan pembinaan kepada para guru, agar kinerja mereka berlangsung secara efektif dan efisien, sementara tugas administratur sekolah untuk mengkoordinasikan dan memadukan berbagai ragam aktivitas dalam lingkungan sekolah. Sebagai organisasi, sekolahpun memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi dalam melayani kerja dan agenda-agenda aktivitasnya. Organisasi formal (termasuk sekolah) menggunakan sebuah pola hubungan yang bersifat legal rasional untuk menggerakkan roda organisasi. Sistem jabatan ini dinamakan birokrasi (bureaucracy) yang berarti pengaturan atau pemerintahan oleh pejabat. Menurut Reinhard Bendix,1960 (dalam Robinson,1981) organisasi birokrasi mengandung sejumlah prinsip yaitu sebagai berikut:
1) Urusan kedinasan dilaksanakan secara berkesinambungan;
2) Urusan kedinasan didasarkan pada aturan dalam suatu badan administratif;
3) Tanggung jawab dan wewenang tiap pejabat merupakan bagian dari suatu hierarki wewenang;
4) Pejabat dan pegawai administratif tidak memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas;
5) Para pemangku jabatan tidak dapat memperjualbelikan jabatan; dan
6) Urusan kedinasan dilaksanakan dengan menggunakan dokumentasi tertulis.
Beberapa prinsip birokrasi tersebut diterapkan dalam komposisi peran dan tugas pada masing-masing warga di sekolah. Semuanya disusun menjadi satu susunan struktur kepemimpinan birokratis di mana kepala sekolah menempati pucuk pimpinan formal. Apabila kita amati bersama pusat pelayanan administrasi telah dilimpahkan pada para staf administrasi, para guru dan pejabat struktural lain melaksanakan fungsi tugasnya sesuai status dan wewenangnya. Murid-murid melakukan tertib kegiatan sebagai pelajar dan bahkan sampai petugas kebersihan sekolah sekalipun juga menjadi salah satu bagian penting dari komposisi peran fungsional yang dilembagakan oleh sekolah. Sehingga di lingkungan sekolah tidak ada seorang individupun yang tercecer statusnya dari jangkauan kekuasaan organisasi.
Selain itu posisi kelembagaan sekolah juga tidak bisa lepas dari konstruksi kekuatan sistem pendidikan makro yang menaungi keberadaan sekolah. Baik sekolah negeri maupun swasta selalu menjadi wilayah koordinasi lembaga dinas pendidikan di tingkat kota, provinsi bahkan sampai kepada departemen terkait di lingkup nasional. Meskipun pengaruh susunan kekuatan lembaga tersebut bersifat gradual di mana semakin memuncak maka koordinasi teknis terhadap sekolah semakin menipis namun dari pengertian tersebut dapat ditarik suatu wilayah luas yang memperlihatkan jaringan koordinasi kelembagaan dalam sebuah mekanisme organisasi besar berkapasitas makro dan sekolah merupakan bagian-bagian kecil dari lembaga tersebut.
Terminologi sosiologi juga mengungkapkan bahwa organisasi tidak sekadar dipandang suatu kesatuan yang bersifat statis belaka melainkan merupakan sebuah bentuk kesatuan yang selalu dinamis dan sifatnya tergantung pada makna yang diberikan anggota, masyarakat luar serta para klien yang memanfaatkan jasa organisasi (Miflen, 1985). Sebagaimana penuturan August Comte, 1844 ( dalam Sunarto, 2000) mengungkap bahwa lingkup kajian sosiologi mencakup dua bagian besar yakni statika sosial, yaitu
Suatu kajian terhadap tatanan sosialnya dan dinamika sosial, yaitu suatu kajian terhadap perubahan dan perkembangan sosialnya. Menurut Comte tersebut, kacamata sosiologi melihat organisasi melalui dua aspek pandangan tersebut. Pertama, organisasi dalam koridor statika sosial akan melandasi pembahasan pada aspek struktur, tatanan peran dan fungsi-fungsi formal yang melekat di dalam organisasi. Sedangkan yang kedua yakni segi dinamika sosialnya mengamati dan mempelajari segala bentuk hubungan dinamika para anggota, perubahan-perubahan kontruksi, bermacam interpretasi dan persepsi para anggotanya, ataupun konflik-konflik yang muncul. Sehingga selain memiliki struktur peranan formal, sebuah organisasi akan merangkul pula aneka ragam makna yang ditangkap berbagai macam orang.
Secara sederhana sekurang-kurangnya ada 4 jenis sasaran organisasi sekolah, di mana masing-masing sasaran akan mencakup titik tolak pandangan terhadap organisasi sekolah. Dari empat sasaran tersebut akan kita dapatkan pengertian yang cukup lengkap tentang kompleksitas organisasi sekolah.
Pertama, sasaran formal. Ruang lingkup sasaran ini meliputi tujuan formal dari sebuah organisasi. Wujud dari sasaran ini tercantum dalam aturan-aturan tertulis, konstitusi dan segala ketentuan formal yang melandasi orientasi organisasi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan sudah semestinya mempunyai organisasi yang baik agar tujuan pendidikan formal ini tercapai sepenuhnya. Kita mengetahui unsur personal di dalam lingkungan sekolah adalah kepala sekolah, guru, karyawan dan murid. Di samping itu sekolah sebagai lembaga pendidikan formal ada dibawah instansi atasan baik itu kantor dinas atau kantor wilayah departemen yang bersangkutan.
Di negara kita, kepala sekolah adalah jabatan tertinggi di sekolah itu, sehingga ia berperan sebagai pemimpin sekolah dan dalam struktur organisasi sekolah ia didudukkan pada tempat paling atas. Tuntutan formal organisatoris menghendaki agar tugas- tugas dan tanggung jawab dalam menjalankan penyelenggaraan sekolah untuk mencapai tujuan dibagi secara merata dengan baik sesuai dengan kemampuan, fungsi dan wewenang yang telah ditentukan. Melalui struktur organisasi yang ada tersebut, orang akan mengetahui apa tugas dan wewenang kepala sekolah, tugas guru dan karyawan sekolah.
Kedua, sasaran informal. Organisasi pada umumnya tidak sepenuhnya bekerja sesuai ketentuan-ketentuan formal. Dalam banyak hal, mereka dimodifikasi oleh masing-masing anggotanya sesuai dengan kapasitas pemaknaan kesadaran mereka tentang organisasi. Di sekolah, seorang kepala sekolah mungkin mendapat tanggung jawab sebagai pemimpin dan penguasa formal tertinggi. Akan tetapi penerimaan, pola pikir dan tingkah laku kepala sekolah tersebut adalah konstruksi pemahaman subjektifnya dalam melangsungkan hubungan dengan berbagai pihak di lingkungan sekolahnya. Sehingga sasaran informal merupakan interpretasi dan modifikasi sasaran-sasaran formal dari seluruh anggota yang terlibat langsung pada wadah organisasi. Sasaran ini mencakup pula persepsi masing-masing individu dan menjadi tujuan kegiatan pribadi di dalam organisasi. Masing-masing siswa tentunya memiliki tujuan yang bervariasi dalam melangsungkan statusnya sebagai pelajar. Mungkin ada yang berharap mendapat prestasi akademik tinggi atau mengidamkan ijasah dan tidak sedikit pula yang sekadar menjalankan tradisi masyarakat. Seorang guru dapat saja mengajar hanya untuk mencari gaji namun banyak pula yang masih berpegang teguh pada loyalitas pekerjaan sebagai seorang pendidik.
Ketiga, sasaran ideologis. Sebagaimana tersirat di dalam istilah tersebut, sasaran ini menyangkut seperangkat sistem eksternal atau sistem nilai yang diyakini bersama. Dalam hal ini, nuansa budaya pada pengertian sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan dan ide yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai landasan pijak dan pedoman bagi masyarakat itu dalam bersikap dan berperilaku dalam lingkungan alam dan sosial tempat mereka bernaung (Goodenough, 1971; Spradley, 1972; Geertz, 1973) dalam Sairin (2002) merupakan penjabaran dari dari pengaruh ideologis terhadap organisasi. Sasaran ini menyoroti pengaruh interaktif kultur-ideologis yang dianut oleh sebagian besar manusia dalam menangkap, menyikapi dan merespon eksistensi organisasi. Masyarakat kita memiliki semangat yang tinggi untuk meraih prestasi vertikal, sementara sekolah merupakan wadah yang cukup strategis bagi manusia untuk menopang ambisi mobilitas vertikalnya. Maka bisa diasumsikan hampir sebagian besar warga sekolah maupun masyarakat akan mengarahka keyakinan kultural tersebut dalam memaknai keberadaan sekolah.
Keempat, sasaran-sasaran lain yang kurang begitu kuat. Penekanan sasaran ini akan menonjol pada suatu proses aktivitas organisasi yang tengah mempertahankan eksistensinya dalam situasi di luar kondisi biasa. Berkurangnya pendaftaran disekolah-sekolah dan universitas dapat merubah secara luas peran para guru atau organisasi ruang sekolah, termasuk rasio guru terhadap siswa beserta kelas-kelas yang terspesialisasi. Jika tidak, maka sejumlah besar guru akan terancam menganggur. Keempat sasaran atau pandangan organisasi tersebut mengisyaratkan suatu pola pandangan yang berbeda dari pandangan umum tentang sekolah. Sebagai organisasi, sekolah bukan sekadar tumpukan peran-peran struktural yang kaku, statis serta jalur-jalur kerja yang serba mekanistis belaka. Mekanisme tersebut mengalami dinamika aktualisasi melalui aneka ragam penafsiran para anggota yang melatarbelakangi perilaku manusia dalam mengemban peran dan status yang berbeda-beda di dalam organisasi sekolah.
2. Sekolah Sebagai Sistem Sosial
a. Pengertian Sistem
Banyak pendapat tentang pegertian sistem. Namun secara umum pengertian sistem adalah sekelompok bagian-bagian yang bekerja sama secara keseluruhan berdasarkan suatu tujuan ber- sama. Di dalam sistem masing-masing unsur saling berkaitan, saling bergantung dan saling berinteraksi atau suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu dengan yang lainnya, dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam lingkungan yang kompleks. Pengertian tersebut selaras dengan pendapat Johnson, Kast dan Rosenwig,1973 sebagaimana dikutip oleh Soenarya (2000) menyatakan bahwa sistem adalah suatu tatanan yang kompleks dan menyeluruh. Dengan kata lain, satu kesatuan dari sesuatu sehingga merupakan kesatuan yang menyeluruh. Sedangkan Middleton dan Wedemeyer,1985 memandang sistem sebagai kumpulan dari berbagai bagian (unsur) yang saling tergantung yang bekerja sama sebagai suatu keseluruhan untuk mencapai suatu tujuan, di mana hasil keseluruhan lebih berarti dari pada hasil sejumlah bagian (Soenarya, 2000: 12).
Bachtiar (1985) mengemukakan bahwa sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan satu dengan lainnya sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan yang biasanya berusaha mencapai tujuan tertentu. Pada bagian yang sama, Bachtiar menambahkan bawa sistem adalah seperangkat ide atau gagasan, asas, metode dan prosedur yang disajikan sebagai suatu tatanan yang teratur. Cleland dan King (1988) menyatakan bahwa sistem adalah sekelompok sesuatu yang secara tetap saling berkaitan dan saling bergantungan sehingga membentuk suatu keseluruhan yang terpadu. Adapun menurut Poerwodarminto dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 849) menyebutkan bahwa sistem adalah (1) seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas, (2) susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya, dan (3) metode.
Mendasarkan pendapat diatas, sesuatu dapat dinamakan sistem bila terjadi hubungan atau interelasi dan interdependensi baik internal maupun eksternal antar subsistem. Interaksi, interelasi, dan interdependensi itu disebut hubungan internal. Bila interaksi, interelasi, dan interdependensi itu terjadi antarsistem, hubungan itu disebut hubungan eksternal. Bila hubungan antar subsistem atau antarkomponen di mana hubungan itu terjadi dengan sendirinya dan tergantung dari subsistem atau komponen lain, hubungan itu disebut hubungan determenistik. Sebaliknya, bila hubungan itu tidak pasti bahwa sesuatu itu dapat berfungsi, maka suatu komponen tidak perlu bergantung pada suatu komponen yang lain. Bola lampu mempunyai akibat deterministik terhadap penerangan karena tanpa bola lampu dengan berbagai jenis dan bentuknya akan mengakibatkan kegelapan. Namun terang dan gelap lampu tidak ada hubungannnya dengan kipas angin. Hubungan yang demikian itu disebut nondeterministik. Apabila terdapat pengaruh yang menunjang, memperkuat, mempercepat fungsi perubahan atau pertumbuhan suatu sistem atau subsistem, maka hubungan itu menimbulkan pengaruh yang menghambat atau mencegah, maka hubungan itu disebut disfungsional.
Lingkungan merupakan batas antara suatu sistem dengan sistem lainnya. Makin terbuka suatu sistem, makin perilakunya terpengaruh oleh lingkungan. Lingkungan suatu sistem meru- pakan pembeda antara suatu sistem dengan sistem yang lain. Lingkungan dapat merupakan sumber yang memberikan kesempatan kepada suatu sistem untuk berkembang dalam mencapai fungsi dan tujuannya, atau sebaliknya dapat pula merupakan penghambat.
b. Sistem Sosial
Salah satu pendekatan di dalam sosiologi yang menggali konsep sistem sosial adalah pendekatan fungsional struktural. Sudut pendekatan tersebut menganggap bahwa masyarakat, sebagai suatu sistem fungsional yang terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibrium. Fungsional struktural memandang masyarakat seperti layaknya organisme biologis yang terdiri dari komponen-komponen atomistis dan memelihara hubungan integratif-sistemik agar metabolisme kehidupan masyarakat tetap terjaga. Menurut Nasikun (1984) pendekatan fungsional struktural
sebagaimana telah dikembangkan oleh Parson dan para pengikutnya, dapat dikaji melalui sejumlah asumsi dasar sebagai berikut:
1) Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem di mana didalamnya terdapat bagian-bagian yang saling berhubungan antara satu sama lain;
2) Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi antar bagian tersebut bersifat ganda dan interaktif;
3) Meskipun integrasi sosial sulit mencapai kesempurnaan, namun secara mendasar sistem sosial cenderung bergerak ke arah equilibrium yang bersifat dinamis; menanggapi perubahan-perubahan yang datang dari luar dengan kecenderungan memelihara agar perubahan yang terjadi di dalam sistem beserta akibatnya dapat diminimalisasi;
4) Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan dan penyimpangan- penyimpangan senantiasa terjadi, namun dalam jangka panjang keadaan tersebut akan berakhir pula melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi. Dengan kata lain, sekalipun integrasi sosial secara sempurna tidak pernah tercapai, akan tetapi setiap sistem sosial akan senantiasa berproses ke arah tersebut;
5) Pada dasarnya, perubahan-perubahan sosial timbul melalui tiga macam kemungkinan yaitu penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial itu terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra system change), pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional, serta penemuan-penemuan baru oleh anggota-anggota masyarakat; dan
6) Faktor penting yang memiliki kekuatan mengintegrasikan sistem sosial adalah konsensus antar anggota masyarakat tentang nilai-nilai tertentu. Setiap masyarakat, menurut pandangan fungsional struktural selalu memiliki tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip dasar tertentu yang mendapat keyakinan kuat dari sebagian besar anggota masyarakat dan dipercaya memiliki kebenaran mutlak. Sistem nilai tersebut bukan sekadar sumber kekuatan yang menyebabkan integrasi sosial, namun sekaligus merupakan unsur yang menstabilkan sistem sosial budaya tersebut.
Dari beberapa asumsi di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah sistem sosial merupakan sistem dari tindakan-tindakan manusia. Ia terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antar berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang dalam standar penilaian umum serta mendapat kesepakatan bersama dari para anggota masyarakat. Yang paling penting dari berbagai standar penilaian umum adalah apa yang disebut sebagai norma-norma sosial. Norma-norma sosial itulah yang sesungguhnya membentuk struktur sosial. Pengaturan interaksi sosial antaranggota masyarakat tersebut dapat terjadi karena komitmen mereka terhadap norma-norma sosial menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan pendapat dan kepentingan-kepentingan pribadi mereka, proses ini memungkinkan bagi mereka untuk menemukan keselarasan antarsatu sama lain sehingga pada proses selanjutnya menghasilkan suatu tingkat integrasi sosial. Dalam posisi tersebut, equilibrium terpelihara oleh berbagai proses dan mekanisme sosial. Dua macam mekanisme sosial yang mengendalikan hasrat-hasrat para anggota demi terpeliharanya kontinuitas sistem sosial, adalah mekanisme sosioalisasi dan pengawasan sosial (social control).
Dari anggapan-anggapan di atas itulah para penganut fungsional struktural menganggap bahwa disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan- penyimpangan sosial yang mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan masyarakat sehingga memunculkan terjadinya diferensiasi sosial yang semakin komplek, adalah akibat dari pengaruh-pengaruh yang datang dari luar. Namun anggapan-anggapan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang melekat. Kelemahan tersebut terletak pada bahwa pendekatan fungsional struktural mengabaikan beberapa kenyataan, antara lain:
1) Setiap struktur sosial selalu mengandung konflik dan kondiksi-kontradiksi yang bersifat internal, lalu pada gilirannya justru menjadi sumber terjadinya perubahan sosial;
2) Reaksi dari suatu sistem sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar (extra systeme change) tidak selalu bersifat adjustive;
3) Sebuah sistem sosial dalam kurun waktu tertentu dapat juga mengalami konflik-konflik sosial yang bersifat visious circle;dan
4) Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian lunak, akan tetapi juga terjadi secara revolusioner (Nasikun, 1984: 15).
Dari beberapa asumsi tersebut telah jelas bahwa pendekatan fungsional struktural terlalu menekankan asumsi dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dalam menelaah tingkah laku sosial, khususnya proses-proses yang paling mikro di tingkat individu. Pandangan tersebut menegaskan bahwa setiap individu merupakan kontributor teknis yang melembagakan tegaknya norma-norma sosial demi menjamin stabilitas sosial. Pendekatan tersebut telah melupakan hakikat dualistis yang selalu terkandung dalam realitas hidup. Salah satunya realitas sosial bahwa selain kemapanan empiris yang mencerminkan tertibnya tatanan hidup ada sisi gelap yang terselubung dan perlahan-lahan menjadi potensi konflik yang bersifat laten. Dalam konteks sosialnya, istilah tersebut dinamakan sub-stratum, yakni disposisi-disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan life chances dan kepentingan- kepentingan tertentu.
Oleh karena itulah, maka pendekatan fungsional struktural dipandang kurang lengkap dalam menelaah hakikat sistem sosial. Beberapa ahli yang lalu mengkritisi teori fungsional struktural menambahkan analisisnya untuk memperlengkap kajian sosiologi tentang sistem sosial. Oleh masyarakat pendekatan mereka dinamakan pendekatan konflik. Pendekatan tersebut memperhatikan kekurangan-kekurangan yang melekat di dalam fungsional struktural lalu mencoba menemukan formulasi teoretis yang lebih representatif. Beberapa asumsi yang dimiliki oleh pendekatan konflik tersebut antara lain yaitu:
1) Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain, perubahan sosial merupakan gejolak yang melekat dalam setiap masyarakat;
2) Setiap masyarakat selalu mengandung konflik-konflik yang terselubung, atau dengan kata lain konflik adalah gejala yang niscaya ada di masyarakat manapun;
3) Setiap unsur dalam suatu masyarakat selalu memberikan sumbangan terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial; dan
4) Setiap masyarakat terintegrasi di bawah kekuatan atau dominasi golongan tertentu yang memiliki kekuasaan terhadap sebagian besar masyarakat (Nasikun, 1984: 16-17).
Perubahan sosial oleh para penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat pada kehidupan masyarakat, namun lebih dari itu merupakan sumber yang berasal dari faktor-faktor internal di dalam sebuah masyarakat. Perubahan sosial muncul disebabkan oleh pertentangan unsur-unsur sosial. Kontradiksi internal tersebut bersumber pada tegaknya sistem struktur yang tidak merata dalam level kekuasaan. Kenyataan ini menjadi faktor munculnya dua entitas kepentingan yang senantiasa bertentangan yakni, pengemban otoritas dan mereka-mereka yang dikuasai. Dari pendekatan konflik dapat disadari satu substansi kodrat sosial yang tidak bisa dilupakan, yaitu dengan perbedaan serta diferensiasi sosial bukanlah sekadar menjadi sarana penyokong integrasi maupun fungsionalisasi peran. Perbedaan juga memiliki peran kontroversial yang memicu merebaknya disintegrasi sosial. Kenyataan ini mendorong terciptanya akomodasi kepentingan yang mampu merombak tatanan sosial untuk menjadi lebih representatif dan berdaya guna bagi masyarakat.
c. Sistem Sosial di dalam Sekolah
Sebagai sistem sosial, sekolah merupakan akumulasi komponen-komponen sosial integral yang saling berinteraksi dan memiliki kiprah yang bergantung antara satu sama lain. Zamroni (2001), menyatakan bahwa pendekatan microcosmis melihat sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen-komponennya.
Bagian-bagian tersebut diatur dan terintegrasi dalam naungan sistem kendali sosial berwujud organisasi formal. Pedoman formal merupakan rujukan fundamental dari seluruh latar belakang sikap dan perilaku para pengemban status dan peran di sekolah. Pendekatan fungsional struktural melihat lingkungan sekolah pada hakikatnya merupakan susunan dari peran dan status yang berbeda-beda, dimana masing-masing bagian tersebut terkonsentrasi pada satu kekuatan legal struktural yang menggerakkan daya orientasi demi mencapai tujuan tertentu. Tentu saja sistem sosial tersebut bermuara pada status sekolah sebagai lembaga formal.
Keberadaan guru, siswa, kepala sekolah, psikolog atau konselor sekolah, orang tua, siswa, pengawas, administratur merupakan komponen-komponen fungsional yang berinteraksi secara aktif dan menentukan segala macam perkembangan dinamika kehidupan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal. Sehingga disini fungsional strukural melandasi pandangan kita untuk melihat berbagai peran dan status formal di sekolah sebagai satu-satunya
Pedoman mendasar atas segala aktivitas yang dilakukan oleh warganya. Seluruh warga pengemban kedudukan telah tersosialisasi norma-norma sekolah sesuai dengan porsi statusnya sehingga menyokong terbinanya stabilitas sosial dalam sekolah. Manifestasi peran mendasar norma-norma sekolah telah mengikat warganya dalam nuansa integritas kesadaran yang tinggi.
Sementara itu, pendekatan konflik lebih menekankan porspenilaian subjektif para pelaku peran di sekolah dan konsekuensi objektif atas wujud sekolah sebagai lembaga yang memelihara sistem kekuasaan. Pendekatan konflik melihat sisi lain dari tertibnya perilaku masyarakat sekolah dalam mengamalkan hasrat-hasrat individunya yang senantiasa patuh pada kekuatan normatif. Lockwood melihat bahwa setiap situasi sosial selalu mengandung dua hal yakni tata tertib sosial yang bersifat normatif serta sub-stratum yang melahirkan konflik. Tumbuhnya sistem nilainormatif sebagai acuan utama para pelaku peran di sekolah bukan berarti melenyapkan potensi-potensi konflik. Oleh sebab itu, stabilitas sosial yang dicerminkan oleh pengaturan peran dan status seperti guru, kepala sekolah, pejabat struktural sekolah, pengawas sekolah, murid, administratur sekolah, orang tua siswa, petugas kebersihan pada dasarnya mencerminkan bentuk pengaturan manifes atas masing-masing kepentingan yang sebenarnya saling bertentangan.
Secara lebih radikal beberapa penganut pendekatan konflik menegaskan bahwa tatanan sosial yang ada (termasuk di sekolah) merupakan hasil kekuasaan dominan baik itu bersumber dari paksaan secara fisik maupun kekerasan simbolik (symbolic violence). Artinya kelas sosial dominan memiliki simbol-simbol sosial yang menghegomoni kesadaran seluruh anggota agar sejalur dengan sistem nilai objektif yang pada hakikatnya banyak berpihak pada golongan atau kelas yang berkuasa. Di dalam sekolah, seorang kepala sekolah selain memiliki kedudukan formal sebagai pemimpin sekolah ternyata juga mengindikasikan pertentangan kepentingan dan otonomi status lain yang lebih rendah, misalnya para guru, staf-staf administrasi dan sebagainya. Terhadap guru, ketika seorang kepala sekolah menjalankan fungsi formalnya, maka ada titik pertentangan yang menggoyahkan otonomi peran guru dalam mengelola b elajar mengajar. Di satu sisi kepala sekolah breharap agar siswa berhasil dalam belajar dengan proses pengajaran yang efektif, efisien serta mampu mencapai target penguasaan materi yang banyak. Di sisi lain, harapan yang melambangkan kepentingan status kepala sekolah tersebut tentunya membebani peran sekaligus otonomimkedudukan guru dalam mengelola pembelajaran di kelas.
Faisal dan Yasik (1985) menyatakan bahwa dari pendekatan konflik bisa ditarik dua asumsi dasar yang muncul pada lembaga sekolah. Sebuah lembaga yang memiliki tujuan tertentu dan memelihara banyak status yang berbeda serta memiliki peran fungsional. Aneka ragam status tersebut dikelola melalui fungsi-fungsi otoritas legal formal dengan memanfaatkan prinsip-prinsip birokrasi. Dua asumsi tersebut yakni:
1) Potensi konflik dalam mengintegrasikan pemahaman satu tujuan sekolah kepada para pemegang status yang berbeda-beda. Untuk satu tujuan pendidikan, masing-masing pengemban posisi akan memiliki daya tangkap sektoral yang berbeda-beda dalam mengartikan hasil maupun proses pencapaian tujuan.
2) Sulitnya meraih kesamaan persepsi mengenai batas peran dan posisi pendidikan. Sebagai dampaknya, keadaan tersebut memicu konflik internal lintas posisi. Yang dimaksud konflik peranan internal adalah konflik harapan antar pihak dari pemegang posisi peran di sekolah. Para guru dihadapkan dengan harapan yang saling bertentangan dengan kepala sekolahnya, penilik, petugas konseling, administratur pendidikan, orang tua murid dan bahkan dari muridnya sendiri.
Dari dua pendekatan utama di atas (fungsional struktural dan konflik) dapat diambil kesimpulan bahwa sekolah bukanlah sekadar kumpulan yang terdiri dari para pelaksana administrasi, guru dan murid dengan segala sifat dan pembawaan mereka masing-masing (Horton dan Hunt, 1999: 333). Lebih dari itu, sekolah merupakan suatu sistem sosial yang di dalamnya terdapat seperangkat hubungan mapan, interaksi, konfrontasi, konflik, akomodasi, maupun integrasi yang menentukan dinamika para warganya di sekolah. Oleh sebab itu, di dalam sekolah akan selalu mengandung unsur-unsur dan proses-proses sosial yang kompleks seperti halnya dinamika sosial masyarakat umum.
Beberapa unsur tersebut memproduk konsep-konsep sosial didalam sekolah yakni sebagai berikut:
Kedudukan dalam Sekolah Sekolah, seperti sistem sosial lainnya dapat dipelajari berdasarkan kedudukan anggota dalam lingkungannya. Setiap orang didalam sekolah memiliki persepsi dan ekspektasi sosial terhadapkedudukan atau status yang melekat pada diri warga sekolah. Disana kita memiliki pandangan tentang kedudukan kepala sekolah, guru-guru, staf administrasi, pesuruh, murid-murid serta asumsi-asumsi hubungan ideal antarbermacam kedudukan tersebut. Hal ini selaras dengan pendapat Weber (dalam Robinson, 1981) tentang konsep tindakan sosial, dimana setiap orang memiliki ideal type untuk mengukur dan menentukan parameter mendasar tentang sebuah realitas.
Realitas sosial yang tersebar dalam status sosial menjadi titik tolak kesadaran seorang individu untuk menentukan sikap, pandangan dan tindakan dalam lingkup sosial tertentu. Harapan ideal “kepala sekolah” merupakan kesadaran awal yang mempengaruhi sikap individu seorang pejabat kepala sekolah. Meskipun pada proses selanjutnya harus terkombinasi dengan pembawaan individu, prasangka terhadap status lain, hubungan-hubungan antarstatus serta kaitannya dengan konstruksi total dari susunan status di sekolah.
Dalam mempelajari struktur sosial sekolah kita analisis berbagai anggota menurut kedudukannya dalam sistem persekolahan. Beberapa kedudukan di bentuk dan dibangun berdasarkan sistem klasifikasi sosial di antaranya adalah:
a) Kedudukan berdasarkan jenis kelamin, akan mengidentifikasi pelakunya pada perbedaan seks atau kelamin, bu guru, pak guru, murid putri, siswa lelaki, pak kepala sekolah dan lain sebagainya. Secara sosial kedudukan berdasarkan seks merupakan pembedaan ruang orientasi atas dasar perbedaan fisik. Pembedaan tersebut merupakan dampak kultural dari masyarakat yang lebih luas, dimana perbedaan kelamin masih mengkisahkan pembagian kerja, hak, serta ruang gerak yang berbeda pula. Namun secara struktural pembedaan jenis kelamin tidak begitu mempengaruhi kualitas penerapan ketentuan formal sebuah lembaga. Seorang kepala sekolah wanita tetap saja memiliki otoritas atau kewenangan kekuasaan terhadap para guru lelaki maupun wakasek laki-laki.
b) Kedudukan berdasarkan struktur formal di lembaga, misalnya kepala sekolah, guru, staf administrasi, pesuruh, siswa dan lain sebagainya. Kategori kedudukan ini dilandasi oleh ketentuan-ketentuan formal yang melembagakan serangkaian peran dan pemetaan kewenangan struktural berdasarkan pembagian wilayah kekuasaan yang bersifat hierarkis. Sesuai dengan formasi struktur lembaga sekolah maka masing-masing posisi menggambarkan tingkat kekuasaan yang bertingkat-tingkat. Posisi teratas menggambarkan puncak pengakuan otoritas tertinggi lalu secara gradual makin berkurang pada posisi-posisi di bawahnya.
c) Kedudukan berdasarkan usia. Pengakuan terhadap kategori sosial ini didasarkan konstruksi sosial sekolah sebagai lembaga pendidikan. Berangkat dari pengertian tentang pengajaran sebagai sumber dari keberadaan sekolah dan segala aktivitas kelembagaannya. Sementara proses pengajaran tidak lepas dari hubungan antara pengajar dengan yang belajar. Maka bisa ditangkap indikasi kecenderungan dalam lembaga sekolah untuk mengutamakan sistem nilai berdasarkan usia. Mereka yang tua dikontruksikan sebagai pengajar, teladan, sumber nilai kebaikan, pengontrol moral, berkemampuan tinggi dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, pengakuan kedudukan berdasarkan usia sangat kental sekali melekat dalam orientasi warga sekolah.
d) Kedudukan berdasarkan lahan garap di sekolah. Pada dasarnya tiap-tiap status di sekolah akan membentuk wilayah-wilayah sektoral sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan. Di kelas jenis status yang paling dominan berperan adalah status guru dan murid. Sementara di wilayah birokrasi akan memperlihatkan kontak sosial antara pengurus administrasi baik itu kepala bagian, sekretaris, bendahara sekolah serta staf-stafnya. Di tingkat pelayanan administrasi akan melibatkan pegawai administrasi dengan para siswa, guru-guru dan lain sebagainya.
2.)Interaksi di sekolah
Menurut Horton dan Hunt (1999) sistem interaksi di sekolah dapat ditinjau dengan menggunakan tiga perspektif yang berbeda, yakni:
a) Hubungan antara warga sekolah dengan masyarakat luar
b) Hubungan di internal sekolah lintas kedudukan dan peranannya.
c) Hubungan antarindividu pengemban status atau kedudukan yang sama.
Dalam kategori pertama, hubungan interaktif antara orang dalam dengan orang luar mencerminkan keberadaan sekolah sebagai bagian masyarakat. Para guru, murid dan seluruh warga di sekolah juga pengemban status-status lain di masyarakat. Sehingga interaksi di sekolah merupakan kombinasi berbagai nilai dari masyarakat yang dibawa oleh para warga sekolah. Para guru, kepala sekolah, murid-murid juga bagian dari masyarakat mereka.
Mereka membawa sikap dan perilaku ke sekolah, sebagai hasil dari hubungan dengan tetangga, teman, gereja, partai politik dan berbagai ragam kelompok kepentingan. Sementara secara formal, sekolah memiliki pihak-pihak yang bertanggung jawab mengadakan hubungan antara masyarakat dengan pihak sekolah. Dalam hal ini, pihak yang paling berkepentingan mengadakan hubungan dengan masyarakat adalah pengawas sekolah. Pengawas sekolah bertanggung jawab menjamin kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sementara ditingkat internal pengawas sekolah juga berkewajiban memberikan perlindungan atas orientasi masyarakat sekolah dari tuntutan-tuntutan luar yang kurang masuk akal. Sebagai pengamat atau evaluator pengawas sekolah juga memiliki tugas memelihara keharmonisan hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di sekolah. Hubungan antar status juga sering kali menimbulkan konflik antar peran.
Di dalam sekolah, tanggung jawab penjaga sekolah menyangkut kebersihan bertentangan dengan keinginan warga sekolah untuk menggunakan fasilitas sekolah semaksimal mungkin. Kebebasan profesional guru juga bertentangan dengan kepentingan pengawas sekolah dalam menciptakan kelancaran pengajaran di tiap-tiap kelas. Keinginan kepala sekolah untuk menerapkan inovasi baru harus berhadapan dengan keengganan guru dan murid untuk menerima perubahan. Salah satu konflik yang cukup krusial saat ini adalah konflik keinginan pengawas sekolah untuk mencapai hasil pengajaran yang terbaik sesuai dengan anggaran biaya yang tersedia berhadapan dengan tuntutan organisasi persatuan guru untuk memperoleh jaminan pekerjaan dan gaji yang memadai.
Namun selain menimbulkan konflik, hubungan antarstatus merupakan bagian dari orientasi lembaga sekolah. Secara fungsional untuk mencapai tujuan yang diharapkan sekolah membutuhkan peran dan kiprah dari berbagai status dan kedudukan. Sehingga kerja timbal balik antar status diprioritaskan untuk melancarkan proses pencapaian tujuan organisasi. Sekolah membutuhkan hubungan yang harmonis antarguru dan murid agar tujuan pengajaran di kelas dapat tercapai secara maksimal. Sekolah membutuhkan kerja sama antarberbagai pihak agar roda organisasi dapat berjalan dengan lancar. Hubungan antarindividu atau kelompok dalam jenis status yang sama juga tidak lepas dari bagian interaksi di sekolah. Para guru selain memiliki persamaan peran sesuai statusnya juga menggambarkan berbagai perilaku guru yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan perbedaan karakter, sikap dan pengalaman individu dalam melancarkan aktivitas di sekolah. Kita ketahui bersama untuk status siswa pun juga telah terbentuk aneka ragam karakter dan perilaku individu maupun kelompok yang berbeda-beda.
3.) Klik Antar Siswa Pengelompokan atau pembentukan klik mudah terjadi disekolah. Suatu klik terbentuk bila dua orang atau lebih menjalin persahabatan sehingga dalam keseharian telah terikat pada kehidupan bersama baik di dalam maupun di luar sekolah. Mereka saling merasakan apa yang dialami salah satu anggota kelompoknya dan mampu mengungkap perasaan yang selama ini tersembunyi, seperti hubungan mereka dengan orang tua atau dengan jenis kelamin lain serta kesulitan pribadi-pribadi lainnya. Keanggotaan klik bersifat sukarela dan tak formal. Seorang diterima atau ditolak atas persetujuan bersama. Walaupun klik tidak mempunyai peraturan yang jelas, namun ada nilai-nilai yang dijadikan dasar untuk menerima anggota baru. Anggota klik merasa diri bersatu dan merasa diri kuat, penuh dengan kepercayaan berkat rasa persatuan dan kekompakan. Mereka mengutamakan kepentingan kelompok di atas kepentingan individual dan sikap ini dapat menimbulkan konflik dengan orang tua, sekolah, dan klik-klik lainnya. Bila klik ini mempunyai sikap anti sosial maka klik itu dapat menjadi “geng”. Orang luar, khususnya orang tua dan guru sering tidak dapat memahami makna klik bagi anggota-anggotanya. Akibatnya mereka justru makin kompak dengan kelompoknya sehingga memicu kesadaran bersama untuk sama-sama membebaskan diri dari kekuasaan dan pengawasan orang tua, sekolah dan lembaga-lembaga lainnya. Dari kelompoknya seorang anggota yakin mendapat bantuan penuh namun sebaliknya harus mampu menunjukkan loyalitas yang tinggi pada kelompok. Mereka yang tidak patuh akan mendapat klaim sebagai pengkhianat.
Faktor yang paling penting dalam pembentukan klik adalah usia atau tingkat kelas. Suatu klik jarang beranggotakan anak yang berusia dua tahun lebih. Selain itu klik biasanya beranggotakan murid dari jenis kelamin yang sama. Tidak ada bukti yang menunjukkan pembentukan klik berdasarkan prestasi akademis atau intelegensi. Menurut pengamatan suatu klik merupakan kelompok minat atau kegemaran yang serupa, misalnya musik, olah raga dan sebagainya. Klik juga menggambarkan struktur sosial masyarakatnya. Klik menunjukkan stratifikasi sosial yang terdapat dalam masyarakat tempat sekolah itu berada. Murid-murid pada umumnya memilih teman dari golongan anak yang secara sosial ekonomi memiliki kedudukan sama. Klik-klik yang muncul di sekolah beragam wujudnya, tergantung pada perbedaan murid. Ada kemungkinan terbentuknya kelompok berdasarkan kesukuan dari kalangan siswa satu daerah atau karena mereka merupakan minoritas. Ada kelompok “elite” yang terdiri atas anak-anak orang kaya atau menunjukkan prestasi akademis tinggi dan kepribadian tinggi. Adapula kelompok rendahan, yang berasal dari keluarga tidak berpendidikan.
BAB III
PENUTUP DAN KESIMPULAN
A. Penutup
Sekolah sebagai suatu dunia sendiri, yang di dalamnya memiliki unsur-unsur untuk bisa disebut suatu masyarakat, seperti pemimpin, pemerintahan, warga masyarakat atau aturan dan norma-norma serta kelompok-kelompok sosialnya. Sesuai dengan pendekatan fungsional struktural, lembaga sekolah diibaratkan masyarakat kecil yang memiliki kekuatan organis untuk mengatur dan mengelola komponen- komponennya.
Maka dari itu, fungsi semua kompenen pendidikan itu harus dimaksimalkan, agar dapat memperoleh sinergitas diantara komponen-komponen itu sehingga dapat saling melengkapi satu sama lain.
Demikian makalah ini kami buat, semoga sumbangan karya kecil kami ini dapat mempunyai pengaruh pada rekonstruksi pengetahuan dan menambah keluasan ilmu setiap orang yang membacanya. Dan tak lupa kritik dan saran dari pembaca kami tunggu untuk bahan evaluasi kami ke depan.
B. Kesimpulan
Sekolah merupakan institusi sosial yang tidak luput dari pengaruh-pengaruh kebudayaan-kebudayaan. Sebagai institusi, sekolah mempunyai sistem sosial, organisasi yang unik, termasuk pola interaksi sosial diantara para anggotanya, yang selanjutnya disebut dengan kebudayaan sekolah. Sedangkan Ruang kelas merupakan miniatur dari kelompok yang lebih besar, yaitu masyarakat karena di sana berkumpul person-person dari latar belakang status sosial dan ekonomi yang berbeda-beda, meskipun dengan struktur profesi dan peran yang sama.
Pada masyarakat modern kehidupan manusia tidak pernah lepas dari pergulatan aktivitasnya dengan organisasi. Secara historis, keberadaan organisasi merupakan cerminan tingkat kemajuan masyarakat yang sudah tinggi. Masyarakat tersebut telah mengembangkan satu bentuk perekat hubungan yang dinamakan solidaritas organik. Jenis solidaritas ini merupakan bentuk solidaritas yang mengikat masyarakat kompleks, masyarakat yang telah mengenal pembagian kerja secara rinci dan dipersatukan oleh rasa ketergantungan antar bagian. Tiap anggota menjalankan peran berbeda dan di antara berbagai peran tersebut menumbuhkan rasa saling tergantung seperti layaknya sistem hubungan antarbagian dalam organisme biologis.
Maka dari itu, sebagai studi kasus terhadap kajian ini, kita coba membaca realita yang ada di masyarakat hari ini, mengapa masih banyak masyarakat yang tidak berminat unntuk menyhekolahkan putrinya di sekolah tertentu?. Apakah sistem sosial yang dibangun dalam sekolah itu yang terimplementasikan dalam interaksi di kelas-kelas sudah sesuai dengan budaya dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat sekitar apa belum?.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
HAR Tilaar (2000), Pendidikan Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Padil, Moch. dan Triyo Supriyatno (2007), Sosiologi Pendidikan. Malang: UIN Press.
http/www.sosiologi pendidikan.com
Langganan:
Postingan (Atom)