Oleh: DAHONO FITRIANTO, Sumber: http://www2.kompas.com/
Pemanasan global atau "global warming" sudah menjadi kosa kata harian. Tak terhitung peringatan yang sudah diberikan mulai dari ilmuwan, pakar lingkungan hidup, politisi, hingga selebriti, di televisi, radio, koran, internet, sampai pamflet. Namun, tengoklah sekitar kita.
Seorang teman, yang berlibur ke Kebun Raya Bogor (KRB) pada musim libur panjang pekan lalu, menceritakan, kolam-kolamnya yang asri dengan bunga-bunga teratai raksasa dipenuhi botol air mineral dan sampah plastik. "Rasanya ingin menangis," ujar teman yang masih ingat betapa bersih dan anggunnya KRB pada era 1970-an.
Bicara soal sampah, perhatikan perilaku pengemudi mobil. Dari jendela mobil mewah penumpangnya membuang sampah ke jalan aspal. Mungkin dia pikir dunia di luar mobil adalah tempat sampah besar.
Itulah gaya hidup "NIMBY" alias not in my backyard yang makin akut menjangkiti penduduk kota besar. Selama bukan di "halaman belakang rumahnya", berarti bukan urusan dia. Akibatnya, prasarana publik macam taman kota, jalan raya, selokan, sungai, hingga laut, dianggap bukan milik siapa-siapa sehingga boleh diperlakukan seenaknya.
Itu semua masih bicara soal kebersihan. Isu kuno dan klise, yang sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak, tetapi ternyata masih belum bisa dipraktikkan semua orang sampai berumur kakek-kakek.
Di tengah kesadaran yang sangat rendah tentang lingkungan, masih mungkinkah memahami soal perubahan iklim, emisi gas rumah kaca (GRK) dan seluruh dampak pemanasan global?
Paling rentan
Sebagai negara kepulauan yang penduduknya terkonsentrasi di kawasan pantai, Indonesia adalah negara paling rentan terkena dampak pemanasan global. Naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es kutub akan menggenangi hunian di pesisir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebut, sampai tahun 2006, Indonesia telah kehilangan 20 pulau kecil karena abrasi.
Ancaman perubahan iklim sudah kita rasakan bersama saat ini. "Kemarau panjang sebagai dampak pemanasan global akan mempercepat kebakaran hutan yang lebih masif. Ketersediaan air juga terancam," papar Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi.
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup, seperti Walhi dan Yayasan Pelangi Indonesia, tak henti-hentinya menyadarkan semua pihak tentang bahaya kehidupan manusia akibat pemanasan global ini. Mulai pendidikan publik di tingkat akar rumput hingga desakan kepada pemerintah. "Tak kalah penting adalah lobi dan berbagi ilmu pengetahuan dengan pemerintah agar bisa melakukan tekanan internasional kepada negara-negara penyumbang emisi karbon dioksida terbesar," ungkap Chalid.
Kontributor utama
Namun, kendala datang justru dari "halaman belakang" rumah sendiri. Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia pada umumnya belum sepenuhnya menyadari tindakan-tindakan yang memperburuk situasi.
Manajer Informasi dan Komunikasi Yayasan Pelangi Indonesia Nugroho Kurniawan menyebut pola konsumsi dan gaya hidup warga kota besar sangat berpengaruh terhadap pemanasan global. "Kebiasaan boros listrik, menyalakan peralatan listrik yang tak perlu, AC terlalu dingin di mal-mal dan bioskop-bioskop, sekolah yang bangga karena seluruh ruangnya ber-AC, hingga penggunaan kendaraan bermotor untuk transportasi, semuanya menyumbang emisi GRK penyebab pemanasan global," papar Nugroho.
Pembuat kebijakan yang hanya berpikir jangka pendek menyangkut eksploitasi sumber daya alam juga menjadi kontributor utama pemanasan global. "Yang terjadi saat ini adalah akumulasi krisis. Sayangnya, rakyat belum menggunakan hak politiknya untuk menekan pembuat kebijakan," ujar Chalid.
Hal-hal sederhana
Sedemikian sulitkah menyadarkan masyarakat untuk mencegah bencana global ini? Bagi pemain sinetron Shahnaz Haque, penyadaran itu bisa dimulai dari hal-hal sederhana sehari-hari di lingkungan terkecil.
Sejak dini, ia dan suaminya, Gilang Ramadhan, menanamkan kesadaran hemat energi dan air kepada tiga anaknya, mulai dari mematikan lampu kalau tak dipakai, dilarang menggosok gigi sambil membuka keran air, dan dilarang keras buang sampah ke luar mobil.
"Kalau satu orang melakukan dan dilanjutkan satu komunitas melakukan, itu akan baik," ujar Shahnaz, yang lulusan Teknik Penyehatan Universitas Indonesia ini.
Sisanya, menurut konstitusi yang sah, rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini. Rakyatlah yang paling berhak menentukan siapa pemimpin yang bisa dan mau menjaga kelangsungan tanah dan air tempat kita berpijak ini. Karena menjaga bumi adalah menjaga kehidupan. (MH/IVV/XAR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.