Written by Istadi
Wednesday, 21 January 2009
Sumber http://www.undip.ac.id/
Sektor industri salah satu penyumbang devisa. Namun sektor itu juga menghasilkan limbah dan emisi. ”Jika tak ditangani dengan baik akan menimbulkan efek negatif bagi lingkungan,” ujar Prof Dr Ir Purwanto DEA. Guru besar ke-159 Undip dari Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik itu mengemukakan hal tersebut saat jumpa pers di rektorat Undip, kampus Pleburan, kemarin. Peraih gelar doktor teknologi proses kimia dari ENSIGC-INP Toulouse, Prancis, itu memperkirakan 645.120 industri di Jawa Tengah (2007) punya potensi limbah bahan berbahaya dan beracun 783.367,5 ton/tahun. Guru besar yang akan dikukuhkan 22 Januari itu menyayangkan persoalan lingkungan acap ditanggapi secara pasif dengan membiarkan limbah. Atau, secara reaktif dengan mengolah limbah untuk memenuhi baku mutu dan menaati peraturan.
”Padahal, produksi bersih memadukan aspek ekonomi dan lingkungan dengan meningkatkan efisiensi dan mencegah pencemaran. Itulah yang menjadi dasar pembangunan sektor industri berkelanjutan,” katanya.
Lima R
Pria kelahiran Demak, 28 Desember 1961, itu menuturkan produksi bersih menggunakan strategi 5R, yakni rethink (berpikir ulang), reduce (pengurangan), reuse (pakai ulang), recycle (daur ulang), dan recovery (ambil ulang). ”Namun upaya mencegah dan mengurangi limbah dari sumbernya belum maksimal. Padahal, saat krisis global seperti saat ini, penerapan 5R akan meningkatkan efisiensi sumber daya bahan, energi, dan air.”
Produksi bersih dapat meningkatkan efisiensi. Dan, itu meliputi tata kelola industri yang baik, penggantian bahan baku ramah lingkungan, perbaikan proses dan teknologi, pemakaian teknologi bersih, dan modifikasi produk yang lebih ramah lingkungan.
Industri skala kecil menengah, ujar dia, lebih mudah menjalankan tata kelola dan perbaikan proses dan teknologi. ”Industri besar dapat mengganti teknologi dengan lebih bersih dan merancang produk yang tak berdampak negatif terhadap lingkungan.”
Ketua Program Magister Ilmu Lingkungan Undip itu menegaskan industri bersih skala makro di kawasan industri harus jadi prioritas pembangunan industri berkelanjutan melalui jejaring dan simbiosis industri. ”Kawasan yang hanya menyediakan lahan industri sudah saatnya memikirkan pemakaian sumber daya dan pelestarian lingkungan demi generasi mendatang
Perunggasan nasional dalam kurun waktu hampir satu dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu antara lain sistem pemeliharaan, dari kandang terbuka menjadi kandang tertutup. Status dan jumlah kepemilikan ternak peliharaan, dari peternak kecil berkembang menjadi peternak menengah hingga besar. Meski demikian, masalah pakan belum banyak berubah karena masih bergantung pada pakan produksi pabrikan.
”Akibatnya, pada saat krisis ekonomi (1997-1998), subsektor peternakan, khususnya unggas, utamanya ayam ras petelur dan pedaging mengalami penurunan populasi karena harga pakan meningkat tajam dan tidak diikuti kenaikan harga daging dan telur,” ungkap Prof Dr Ir Bambang Sukamto SU. Dosen Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Undip itu akan dikukuhkan sebagai guru besar ke-160 Undip, 22 Januari 2009 besok.
Beberapa tahun kemudian, lanjut dia, perunggasan nasional mulai bangkit kembali. Namun pada 2004-2006 kembali terpuruk akibat penyakit flu burung (Avian Influenza/AI) yang menyebar hampir di seluruh kawasan. Tidak saja di Indonesia tetapi juga di negara-negera Asia dan Eropa. ''Kondisi ini berakibat pada ketersediaan protein hewani yang belum mencukupi kebutuhan nasional.”
Sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan daging ayam, dilakukan suplai ayam lokal. Ditinjau dari ketahanan terhadap penyakit, ungkap dia, ayam lokal memiliki kekebalan maternal dan respons kekebalan primer yang lebih tinggi dibandingkan ayam ras. ”Ini merupakan alternatif sebagai penyangga ketahanan pangan asal ternak.”
Sistem Tradisional
Bambang yang meraih gelar doktor ilmu ternak dari Unpad Bandung itu mengakui, prestasi produksi ayam lokal yang dipelihara oleh masyarakat masih relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh sistem pemeliharaan yang masih bersifat semi intensif, bahkan tradisional.
Pakan yang diberikan, ungkapnya, masih belum memenuhi persyaratan gizi. Terlebih dengan pola pemeliharaan umbaran yang sangat tergantung pada ketersediaan pakan di lingkungan setempat yang notabene tidak menentu kualitasnya dan tidak menunjang peningkatan produksi.
Ayam lokal, sambung pria kelahiran Tuban, 16 Februari 1953, itu mempunyai nilai ekonomi yang lebih baik apabila sistem pemeliharaan dan kualitas pakan yang diberikan dapat memenuhi kebutuhannya.
”Oleh karena itu, diperlukan perbaikan pakan yang disusun berdasarkan kebutuhan energi dan protein serta zat-zat pakan lainnya yang berkeseimbangan.”Ketersediaan pangan yang berasal dari dalam negeri seperti keberadaan ayam lokal di tengah masyarakat, tutur Bambang, merupakan kunci sukses sistem ketahanan pangan. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang kondusif untuk mendukung peningkatan produksi pangan dalam negeri. Bantuan teknis produksi, akses permodalan yang mudah dengan bunga lunak bagi para peternak kecil merupakan insentif produksi yang sangat diharapkan.
Suami Siti Rahayuni itu menguraikan, ayam lokal yang dipelihara secara intensif dengan pemberian pakan yang sesuai standar kebutuhan, meningkatkan performa produksi. ''Dan yang penting diketahui, ayam lokal di Jateng, mampu memberikan kontribusi penyediaan telur dan daging dalam rangka membantu ketahanan pangan.''
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.