Resentralisasi manajemen atau pengelolaan guru pegawai negeri sipil kembali menjadi isu nasional ketika Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia, Dr Sulistyo, mengeluhkan adanya politisasi guru di daerah sebagai dampak langsung pemilihan kepala daerah. Tidak bisa dimungkiri bahwa pada era otonomi daerah, dengan sistem pemilihan bupati/wali kota secara langsung, muncul politisasi massa, termasuk kepada para guru PNS untuk mendukung pencalonan mereka. Mereka yang menjadi bagian dari tim sukses/pendukung bupati/wali kota terpilih akan diperlancar nasibnya atau bahkan diangkat menjadi kepala dinas. Namun mereka yang bukan pendukung bupati/wali kota terpilih akan tersisih, dimutasi ke daerah terpencil. Politisasi itu sekarang sudah dirasakan keterlaluan.
Tentu saja setiap gagasan tentang suatu kebijakan selalu memunculkan pro-kontra. Mereka yang merasa diuntungkan oleh adanya otonomi pengelolaan guru atau PNS lainnya jelas menolak konsep resentralisasi tersebut. Resentralisasi (kembali ke pusat) justru dinilai akan merugikan para guru sendiri. Sedangkan mereka yang merasa dirugikan dengan otonomi daerah tentu senang atas wacana resentralisasi pengelolaan guru PNS tersebut ke pusat. Secara pribadi, saya termasuk orang yang mendukung resentralisasi pengelolaan guru PNS ke pusat. Bahkan saya sudah sejak tiga tahun lalu beberapa kali berbicara di forum seminar/diskusi dan menulis di media massa tentang pentingnya resentralisasi pengelolaan guru PNS tersebut.
Alasan resentralisasi
Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa resentralisasi manajemen guru dirasakan penting, antara lain: pertama, guru mengalami hambatan mobilitas vertikal. Pada masa Orde Baru, yang masih sentralistik, jenjang karier guru jelas. Guru yang terpilih sebagai guru teladan jenjang kariernya jelas sekali: mereka akan menjadi kepala sekolah. Sukses menjadi kepala sekolah, mereka akan diangkat menjadi pengawas di Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dari sana, mereka bisa menjadi kepala kantor kabupaten/kota madya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah sukses sebagai kepala kantor kabupaten/kota madya, mereka akan ditarik ke kantor wilayah lagi menjadi kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bila usianya masih memungkinkan, dari sebagai pejabat kantor wilayah, mereka akan ditarik ke pusat sebagai pejabat di kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pada masa Orde Baru, banyak pejabat di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berasal dari guru.
Namun jenjang karier guru yang vertikal seperti itu tidak ada pasca-otonomi daerah. Guru paling mentok menjadi kepala dinas pendidikan kabupaten/kota, itu pun bila dia menjadi bagian dari tim sukses bupati/wali kota terpilih. Artinya, kriteria pengangkatan seorang guru dari tenaga fungsional menjadi pejabat struktural bukan karena prestasi seperti pada masa Orde Baru, melainkan karena kedekatan dengan bupati/wali kota terpilih saja. Ini jelas bentuk reduksi kualitas guru itu sendiri.
Kedua, hambatan melakukan mobilitas horizontal. Guru pada masa otonomi daerah tidak hanya mengalami hambatan dalam melakukan mobilitas vertikal, mobilitas horizontal (pindah antardaerah) pun terhambat karena kuatnya ego kedaerahan. Akibatnya, meskipun daerah A berbatasan dengan daerah B dan mempunyai jumlah guru lebih, sedangkan daerah B kekurangan guru, tidak mudah bagi guru-guru di daerah A untuk pindah ke daerah B. Sebab, perpindahan guru dari daerah A ke B dapat dipersepsikan oleh bupati/wali kota di daerah B menambah beban. Akibat ego kedaerahan yang kuat itu, bukan hanya guru yang dirugikan, tapi masyarakat pun mengalami nasib yang sama. Sebab, kekurangan guru di daerah B tidak bisa dicukupi dari daerah A, meskipun letaknya berbatasan.
Ketiga, menjadi kendala pembayaran tunjangan profesional. Seperti kita ketahui, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru termasuk jabatan profesional dan untuk itu memperoleh tunjangan profesional. Tapi syarat penerimaan tunjangan profesional itu bagi guru yang sudah lolos program sertifikasi adalah mengajar 24 jam seminggu sesuai dengan amanat Pasal 35 ayat 2 UU Guru dan Dosen. Persyaratan mengajar 24 jam seminggu tidak mudah terpenuhi bagi guru-guru yang mengajar di daerah yang mempunyai jumlah guru lebih. Di sisi lain, sekolah-sekolah di tetangga daerah yang secara geografis mudah dijangkau dari rumahnya kekurangan guru. Sebagai contoh, guru di Jakarta yang kekurangan jam mengajar tidak bisa menutup kekurangannya dengan mengajar di Depok, Bekasi, Bogor, atau Tangerang, meskipun secara geografis terjangkau, hanya karena guru merupakan pegawai daerah.
Keempat, guru bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri). Sebagai bagian dari Korpri, mestinya guru dapat melakukan mobilitas horizontal maupun vertikal secara leluasa tanpa mengalami hambatan. Namun kenyataannya, di era otonomi daerah, mobilitas vertikal maupun horizontal guru terhambat oleh ego kedaerahan yang amat kuat. Padahal senyatanya gaji guru juga berasal dari pusat.
Kelima, guru diperlakukan sebagai tenaga administratif belaka. Kecenderungan pemerintah daerah sekarang adalah memperlakukan guru sebagai tenaga administratif belaka, yang jam masuk dan pulangnya ditentukan seperti tenaga administratif lainnya. Padahal jelas berbeda. Tugas tenaga administratif melekat pada jam kerja, begitu jam kerja selesai, tugas pun berakhir dan akan dilanjutkan esok harinya. Namun tugas seorang guru melekat pada dirinya, karena guru tersebut di rumah pun harus belajar dan menyiapkan materi pembelajaran untuk esok pagi. Mengatur jam masuk/pulang guru seperti tenaga administrasi lain tanpa disertai dengan penyediaan fasilitas (ruang dan meja kursi yang cukup) justru hanya menyandera guru pada jam kerja. Beberapa alasan itulah yang mendasari usul agar manajemen guru kembali disentralkan seperti pada masa Orde Baru.
Keragaman nasib guru
Fenomena lain yang muncul pada guru PNS pasca-otonomi daerah adalah nasib guru yang beragam. Meskipun sama-sama guru PNS, nasibnya tidak seragam, semua sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan pemda. Bagi daerah-daerah yang mampu, seperti DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau, nasib guru menjadi lebih baik pasca-otonomi daerah karena pemda setempat memberi tunjangan yang cukup signifikan. Namun, bagi daerah-daerah yang miskin, tunjangan non-gaji yang diterima guru mungkin hanya penanda bahwa pemda memperhatikan nasib guru. Tapi, dengan pemberian tunjangan tambahan yang tidak signifikan itu, pemda sudah merasa berhak mengatur guru secara penuh, termasuk mengatur jam kerjanya seperti tenaga administrasi tadi dan mempolitisasinya pada saat pilkada.
Keragaman nasib guru itulah yang mendasari mereka yang menolak resentralisasi. Mereka khawatir, dengan resentralisasi, tunjangan guru dari daerah akan hilang sehingga berkurang pula tingkat kesejahteraan mereka. Mereka lupa bahwa adanya pemerataan guru di setiap daerah akan memperlancar pembayaran tunjangan profesional, yang mungkin lebih besar daripada tunjangan daerah.
Alasan lain yang menolak resentralisasi dikemukakan oleh Profesor Dr Daniel Rosyid, Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember dan mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur. Menurut dia, resentralisasi akan menaikkan maqam guru menjadi pegawai pusat, jadi bisa semakin tidak peduli murid, unsur melayaninya hilang. Tapi kekhawatiran ini tidak perlu terjadi karena, dalam hal melayani murid, sikap para guru pasca-otonomi daerah juga tidak lebih baik. Perbaikan lebih didorong oleh semangat reformasi dalam segala bidang, bukan karena otonomi daerah. Yang terjadi pada era otonomi daerah justru birokrat lebih mudah mengontrol guru, karena secara fisik pun jangkauannya lebih dekat dan mudah dikenali.
DARMANINGTYAS, Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Yogyakarta
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.