Sebagai sebuah konsep, harus diakui bahwa civil society memiliki akar dari proses sejarah Barat. Istilah ini sendiri telahberedar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke-18 di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad ke-19. Untuk waktu yang lama istilah tersebut sempat tenggelam hingga tahun 1990-an muncul kembali dan menjadi bahan perdebatan lagi di Eropa Barat.
Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, istilah civil society pada dasarnya merujuk kepada negara (state), yaitu sebagai suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Namun pada paruh abad ke-18, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat era Pencerahan (E n l i g h t e n m e n t) dan modernisasi, negara dan civil society merupakan dua entitas yang berbeda. Adam Ferguson dan Tom Paine adalah sedikit filsuf Pencerahan
saat itu yang ada dibalik ide pemisahan tersebut. Bahkan dalam perkembangannya kemudian, pemisahan ini berlanjut menjadi berhadapan-hadapannya civil society
dengan aspek kemandiriannya versus kekuasaan negara.1
Pada titik ini, ada baiknya dikutip apa yang menjadi pemikiran Hegel dan Marx mengenai civil society, karena, dari dua tradisi pemikir besar ini kemudian Antonio Gramsci mengadopsi dan mengembangkan gagasan pemikirannya sendiri mengenai civil society. Hegel bisa dibilang filsuf Jerman yang mulai melakukan pembedaan antara negara dan civil society. Menurutnya, civil society adalah wilayah kehidupan orang-orang yang telah meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ia adalah buergerliche Gesellschaft atau masyarakat borjuis yang berada di antara keluarga dan negara yang tersusun dari unsur-unsur keluarga, korporasi/asosiasi, dan aparat admisnistrasi/legal. Ia adalah salah satu bagian saja dari tatanan politik (political order) secara keseluruhan. Sementara itu tatanan politik yang lain adalah negara (state) atau masyarakat politik (political society).
Sebagai pemikir yang mengagungkan peran dan posisi negara, Hegel melihat civil society sebagai pra-political society atau pra-political terrain, sehingga seluruh kegiatan politik hanya mungkin berjalan di dalam domain negara. Civil society, masih menurutnya, adalah kekuasaan yang penuh kerisauan, kesengsaraan, dan korupsi baik secara etis maupun fisik.2 Ia adalah arenadi mana kebutuhan-kebutuhan tertentu dan kepentingan-kepentingan individu saling berbeda, dan bahkan berbenturan. Dikatakan dengan cara lain, ia pada dasarnya adalah sebuah medan laga yang tidak pernah sepi dari perbedaan kepentingan. Ini menimbulkan perpecahan- perpecahan sehingga memiliki potensi besar untuk menghancurkan dirinya sendiri (a self-cripping entity). Karenanya, kembali merujuk Hegel, civil society harus diatur dan didominasi oleh kapasitas intelektual superior dari negara, yang merupakan bentuk tertib moral dan etika manusia yang paling tinggi.3
Marx dan Engles, masih tetap mempertahankan istilah civil society, sebagaimana dinyatakan oleh Hegel, sebagai buergerliche Gesellschaft atau masyarakat borjuis. Tapi dalam penjelasannya kemudian ada pemahaman yang sangat berbeda, bahkan berlawanan sama sekali. Mereka melihat negara sebagai
tertib politik justru merupakan elemen subordinat (suprastruktur), dan sebaliknya, civil society yang direduksi sebagai wilayah hubungan-hubungan ekonomi atau hubungan produksi kapitalis adalah
elemen yang desesif (struktur atau basis). Civil society adalah kelas borjuis itu sendiri. Yang terjadi adalah c i v i l s o c i e t y mendominasi negara atau struktur (basis) menentukan suprastruktur. Dengan lebih tegas dikatakan bahwa civil society yang mendefinisikan negara dan mengelola organisasi dan tujuan-tujuan negara yang dikaitkan dengan hubungan produksi material dalam tahap tertentu dariperkembangan kapitalisme.4
catatan kaki,,
1. Untuk lengkapnya lihat Jean L. Cohen dan Andrew Arato, Civil Society and Political Theory, (Massachusetts Institute of Technology, 1992). Sementara itu, Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim dari University of Southern California dalam salah satu kertas kerjanya, membagi menjadi tiga tradisi pemikiran dalam kaitannya dengan konsep civil society. Yang pertama adalah tradisi (Neo)liberal dengantokohnya yang terkenal antara lain Tocqueville dan Putnam. Kemudian tradisi Habermasian di mana Arato dan Cohen adalah salah satu penggagas utamanya. Yang terakhir adalah tradisi Hegel-Marxis di mana Gramsci adalah salah satu pengikut garis tersebut yang menjadi kajian dari tulisan ini. Lihat Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim, Bringing the Civil Society Back In: The Implication of Civil Society in Democratic Governance, kertas kerja yang dipresentasikan dalam 60th ASPA National
Conference, 10-14 April 1999, Orlando, Florida, Amerika Serikat.
2. Diambil dari Gramsci and the State, dalam Martin Carnoy, The State and Political Theory. (Princeton University Press, 1984), hlm. 65-77.
3. Ibid., hlm. 67.
4. Ibid., hlm. 67-68; dan lihat juga Tom Bottomore, et. al. (eds.), A Dictionary of Marxist Thought, (Harvard University Press, 1983), hlm. 72-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.