Senin, 09 April 2012

KONSEP ‘CIVIL SOCIETY’ DALAM LINTASAN SEJARAH


Sebagai  sebuah  konsep,  harus  diakui bahwa civil society memiliki akar dari proses sejarah  Barat.  Istilah  ini  sendiri  telahberedar dalam pembicaraan tentang filsafat sosial pada abad ke-18 di Eropa Barat dan masih berlanjut hingga akhir abad ke-19. Untuk waktu yang lama istilah tersebut sempat tenggelam hingga tahun 1990-an muncul  kembali  dan  menjadi  bahan perdebatan  lagi  di  Eropa  Barat. 

Dalam tradisi Eropa sampai abad ke-18, istilah civil society pada dasarnya merujuk kepada negara (state), yaitu sebagai suatu kelompok/kekuatan  yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain. Namun pada paruh  abad  ke-18,  sejalan  dengan proses pembentukan sosial dan perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat era Pencerahan  (E n l i g h t e n m e n t)  dan modernisasi,  negara  dan  civil  society merupakan  dua  entitas  yang  berbeda. Adam  Ferguson  dan  Tom Paine  adalah sedikit filsuf Pencerahan
saat itu yang ada dibalik ide pemisahan tersebut. Bahkan dalam  perkembangannya  kemudian, pemisahan  ini  berlanjut  menjadi berhadapan-hadapannya  civil  society
dengan  aspek  kemandiriannya  versus kekuasaan negara.1

Pada titik ini, ada baiknya dikutip apa yang menjadi  pemikiran  Hegel  dan  Marx mengenai civil  society,  karena,  dari  dua tradisi pemikir besar ini kemudian Antonio Gramsci mengadopsi dan mengembangkan gagasan pemikirannya sendiri mengenai civil  society.  Hegel  bisa  dibilang  filsuf Jerman yang mulai melakukan pembedaan antara negara dan civil society. Menurutnya, civil  society  adalah  wilayah  kehidupan orang-orang  yang  telah  meninggalkan kesatuan keluarga dan masuk ke dalam kehidupan ekonomi yang kompetitif. Ia adalah  buergerliche  Gesellschaft  atau masyarakat borjuis yang berada di antara keluarga dan negara yang tersusun dari unsur-unsur keluarga, korporasi/asosiasi, dan aparat admisnistrasi/legal. Ia adalah salah satu bagian saja dari tatanan politik (political  order)  secara  keseluruhan. Sementara  itu  tatanan  politik  yang  lain adalah  negara  (state)  atau  masyarakat politik (political society).

Sebagai  pemikir  yang  mengagungkan peran  dan  posisi  negara,  Hegel  melihat civil society sebagai pra-political society atau pra-political  terrain,  sehingga  seluruh kegiatan politik hanya mungkin berjalan di dalam domain negara. Civil society, masih menurutnya, adalah kekuasaan yang penuh kerisauan, kesengsaraan, dan korupsi baik secara etis maupun fisik.2 Ia adalah arenadi mana kebutuhan-kebutuhan tertentu dan kepentingan-kepentingan  individu saling berbeda, dan bahkan berbenturan. Dikatakan  dengan  cara  lain,  ia  pada dasarnya adalah sebuah medan laga yang tidak  pernah  sepi  dari  perbedaan kepentingan. Ini menimbulkan perpecahan- perpecahan  sehingga  memiliki  potensi besar  untuk  menghancurkan  dirinya sendiri (a self-cripping entity). Karenanya, kembali merujuk Hegel, civil society harus ‘diatur  dan  didominasi  oleh  kapasitas intelektual  superior  dari  negara,  yang merupakan bentuk tertib moral dan etika manusia yang paling tinggi.3

Marx  dan  Engles,  masih  tetap mempertahankan  istilah  civil  society, sebagaimana  dinyatakan  oleh  Hegel, sebagai  buergerliche  Gesellschaft  atau masyarakat  borjuis.  Tapi  dalam penjelasannya kemudian ada pemahaman yang sangat berbeda, bahkan berlawanan sama sekali. Mereka melihat negara sebagai
tertib  politik  justru  merupakan  elemen subordinat (suprastruktur), dan sebaliknya, civil society yang direduksi sebagai wilayah hubungan-hubungan  ekonomi  atau hubungan  produksi  kapitalis  adalah
elemen yang desesif (struktur atau basis). Civil society adalah kelas borjuis itu sendiri. Yang  terjadi  adalah  c i v i l   s o c i e t y mendominasi negara atau struktur (basis) menentukan suprastruktur. Dengan lebih tegas dikatakan bahwa civil  society yang mendefinisikan  negara  dan  mengelola organisasi dan tujuan-tujuan negara yang dikaitkan  dengan  hubungan  produksi material  dalam  tahap  tertentu  dariperkembangan kapitalisme.4

catatan kaki,,
 1. Untuk lengkapnya lihat  Jean L. Cohen dan Andrew Arato,  Civil  Society  and  Political  Theory, (Massachusetts  Institute  of  Technology,  1992). Sementara itu, Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim dari University of Southern California dalam salah satu kertas kerjanya, membagi menjadi tiga tradisi pemikiran dalam kaitannya dengan konsep civil society. Yang  pertama  adalah  tradisi  (Neo)liberal  dengantokohnya yang terkenal antara lain Tocqueville dan Putnam.  Kemudian  tradisi  Habermasian  di  mana Arato  dan  Cohen  adalah  salah  satu  penggagas utamanya. Yang terakhir adalah tradisi Hegel-Marxis di mana Gramsci adalah salah satu pengikut garis tersebut yang menjadi kajian dari tulisan ini. Lihat Kwi-Hee Bae dan Joon Hyoung Lim, “Bringing the Civil Society Back In: The Implication of Civil Society in  Democratic  Governance,”  kertas  kerja  yang dipresentasikan  dalam  60th  ASPA  National
Conference,  10-14  April  1999,  Orlando,  Florida, Amerika Serikat.
2.  Diambil  dari  “Gramsci  and  the  State,” dalam Martin Carnoy, The State and Political Theory. (Princeton  University  Press,  1984),  hlm.  65-77.
3. Ibid., hlm. 67.
4. Ibid., hlm. 67-68; dan lihat juga Tom Bottomore, et. al. (eds.), A Dictionary of Marxist Thought, (Harvard University Press, 1983), hlm. 72-74.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.