Sabtu, 10 Januari 2009

Petaka Lingkungan karena Perang

Ekosistem Irak rusak parah. Bencana jangka panjang yang harus dibayar mahal.

Oleh Agus Hidayat
From http://majalah.tempointeraktif.com/



Burung-burung berwarna kuning berparuh melengkung itu terbang tak beraturan, berusaha menyelamatkan nyawa di tengah ingar-bingar desingan peluru. Delta Sungai Eufrat, yang menjadi rumahnya selama beratus tahun, tak aman lagi. Serbuan pasukan Amerika dan sekutunya di lembah dan aliran Sungai Eufrat untuk merebut Bagdad tak cuma meniscayakan korban manusia. Kehidupan murai penyanyi Irak (Turdoides altirostris) pun ikut tercerabut.

Kini burung cantik itu, bersama 278 spesies burung di 42 habitatnya di Lembah Mesopotamia, terancam punah. Dalam laporannya, organisasi lingkungan internasional Birdlife International akhir Maret lalu menyebut perang telah merusak lingkungan fisik berbagai spesies burung yang tergolong langka di dunia itu.

Pada laporan yang dikirim ke badan PBB untuk lingkungan hidup, UNEP (The United Nations Environment Programme), Birdlife mengidentifikasi tujuh ancaman serius perang atas lingkungan Irak. Ini meliputi kerusakan fisik dan kehancuran ekosistem akibat penggunaan senjata, pergerakan pasukan dan arus pengungsi; pencemaran karena tumpahan minyak dan terbakarnya kilang minyak; kontaminasi zat kimia, biologi, dan radioaktif akibat penggunaan senjata penghancur massa; serta terbakarnya ekosistem lahan basah dan hutan karena pertempuran.

"Kerusakan lingkungan ini terabaikan, kalah oleh konflik itu sendiri," ujar Dr. Michael Rands, Direktur Eksekutif Birdlife International. Wajar kalau Rands amat prihatin. Jika pengalaman Perang Teluk pada 1991 dijadikan patokan, dampak perang kali ini tak jauh berbeda, bahkan mungkin lebih dahsyat lagi.

Dalam catatan, Perang Teluk 1991 telah menumpahkan minyak di lautan sebanyak 6 juta hingga 8 juta barel. Garis pantai yang tercemar terbentang sejauh 560 kilometer. Ini rekor tumpahan minyak di laut terbesar yang pernah terjadi.

Tumpahan minyak mencabut nyawa 30 ribu burung laut, termasuk burung langka Socotra cormorant. Ekosistem laut di utara Teluk Persia rusak berat. Burung-burung migrasi—pelikan dan bangau, yang biasa menjadikan wilayah Teluk sebagai tempat rehat—terpaksa mengubah rute dan menempuh perjalanan lebih jauh. Kerusakan juga dialami bentangan terumbu karang dan biota laut lainnya.

Di daratan, tumpahan minyak juga tak kalah hebat. Hingga perang berakhir pada April 1991, tercatat 650 kilang minyak terbakar atau sengaja dibakar. Sebanyak 25 hingga 30 juta barel minyak tumpah, mencemari wilayah seluas 19 kilometer persegi.

Perang juga menerbangkan 13.700 ton gas beracun. Para ahli memperkirakan, biaya yang diperlukan untuk membersihkan lingkungan akibat tumpahan dan terbakarnya minyak mencapai US$ 700 juta. Gas beracun ini memenuhi langit Timur Tengah dan disebarkan hingga ratusan kilometer jauhnya. Saking hebatnya, setiap tarikan napas akan berubah menjadi penderitaan. Seorang warga Kuwait menuturkan, tiap hirupan napas seakan menarik udara dari knalpot truk diesel. Partikel-partikel gas yang sebagian besar berupa nitrat dan belerang ini menimbulkan ancaman lain berupa hujan asam.

Struktur dataran padang pasir yang rapuh juga berubah drastis. Akibat laju peralatan dan kendaraan militer bertonase besar, 90 persen wilayah padang pasir Kuwait menjadi keras, persis seperti jalan aspal yang disetum. Perubahan ini mempengaruhi berjenis-jenis biota padang pasir yang biasa hidup dalam pasir yang buyar, tidak dalam pasir yang pejal.

Bencana lain yang mengintip adalah dilepaskannya berjenis-jenis material berbahaya dari pabrik senjata kimia, biologi, dan nuklir yang kena gempuran senjata. Aneka jenis racun ini menyebar dan diterbangkan ke seantero Irak, hingga ke negara-negara tetangganya. Limbah radioaktif juga terserak dan tertanam abadi di bumi Irak.

Dalam perang Irak sekarang, peluru yang memanfaatkan depleted uranium masih menjadi primadona (lihat TEMPO Edisi 31 Maret). Uranium bukan limbah yang menyenangkan; ini bahan yang beradioaktif. Dampaknya akan terus terasa melalui berbagai efeknya hingga puluhan tahun usai perang gila ini berakhir.

Selain kerusakan langsung akibat perang, ancaman akan kelestarian alam di Irak juga datang secara tak langsung. Hancurnya sumber-sumber energi listrik akan membuat masyarakat kembali menggunakan kayu sebagai sumber energi. Laju penggundulan hutan (deforestasi) tak bisa dihindari. Padahal, tanpa ini pun, luas hutan di Irak hanya kurang dari 5 persen luas wilayahnya. Beban penghancuran ini akan makin bertambah seiring dengan mobilitas pengungsi dan tentara.

Itu sebabnya, semakin lama perang berlangsung, kerusakan lingkungan akan bertambah parah dan semakin banyak keanekaragaman hayati hilang dari bumi Irak. Padahal, sebagaimana dicatat The Canadian Nature Federation, keanekaragaman hayati di wilayah ini punya nilai tak tergantikan, baik untuk bangsa Irak maupun warga dunia.

Lembah Sungai Eufrat dan Tigris dikenal memiliki aneka spesies unik. Beberapa jenis di antaranya merupakan hewan endemik Mesopotamia dan tak dijumpai di wilayah lain. Di sini terdapat 16 spesies burung yang tanpa perang pun sudah dalam status terancam punah. Termasuk di situ tiga spesies burung unik lahan basah endemik Eufrat.

Wilayah itu meliputi daerah seluas 15 ribu kilometer persegi. Vegetasinya amat beragam, termasuk terdapat sebuah danau air tawar. Lembah ini menjadi tempat bergantung masyarakat Ma'dan, suatu komunitas tradisional yang menyelaraskan hidupnya dengan alam dan memanfaatkan alam dengan cara tradisional. Lahan basah ini juga tempat berkembang biak bagi udang, yang menjadi sumber protein hewani penting di Irak. Sebanyak 60 persen ikan di Irak dipasok dari wilayah ini.

Sialnya, wilayah eksotis ini terbentang di antara Bagdad di utara dan Basra di selatan, jalur strategis yang dijadikan wilayah tempur pada Perang Iran-Irak, 1980-1988. Perlahan-lahan luas wilayah lahan basahnya rusak dan menyusut dahsyat. Kerusakan dan penyusutan kembali terjadi pada 1991. Ledakan bom, pembakaran hutan, desing peluru, dan asap mesiu merontokkan vegetasi hijau di sini. Banyaknya perang yang berkecamuk turut mempercepat punahnya dua mamalia langka dari keluarga rodentia (pengerat). Para ahli lingkungan memperkirakan, perang kali ini akan membawa kehancuran total pada ekosistem lahan basah Eufrat-Tigris.

Dalam jangka panjang, kerusakan alam di Irak akan menambah beban bagi pemerintahan Irak. Pembersihan bangkai tank, pesawat tempur, kapal, dan peralatan berat yang hancur akibat perang membutuhkan alokasi waktu, tenaga, dan biaya yang besar. Belum lagi buat mengangkat segala macam ranjau yang kadung ditanam, termasuk memadamkan kebakaran dan membersihkan sampah uranium yang ratusan ton banyaknya.

Jika sudah begitu, persoalan merehabilitasi alam dan mengembalikan keanekaragaman hayati akan menjadi prioritas paling buncit. Sebagai negara yang baru dihajar perang, persoalan kemanusiaan lain akan memakan biaya besar. Tak aneh jika Birdlife memprediksi penurunan kualitas hidup akibat rusaknya lingkungan di Irak akan berlangsung lama, teramat lama, bahkan seusai perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.