Diskursus seputar modernisasi Islam yang mulai populer pada abad ke-19 M.[1] Ketika ajaran-ajaran Islam dituntut menampakkan kedinamisan dan kearifannya menghadapi peradaban dan tradisi baru sebagai implikasi perkembangan ilmu dan teknologi. Bagi Wahid Hasyim Islam bukanlah sekedar menghargai akal dan otak yang sehat, melainkan juga menganjurkan orang supaya menyelidiki, memikirkan dan mengupas segala ajaran Islam. hal itu dianjurkan Islam karena Islam memberikan ajaran-ajaran yang sehat, Islam tahu bahwa ajaran-ajarannya adalah tahan uji, karenanya tidak takut jika ajaran Islam diselidiki orang, apalagi ketakutan nanti kalau sudah diselidiki digunakan untuk menghancurkan Islam dari dalam.[2]
Keterbukaan Wahid Hasyim terhadap diskursus-diskursus moderen tentang Islam adalah bagian yang tak terelakkan dari pemikirannya. Kaitannya dengan ide bahwa Islam adalah Agama rasional yang Shalih li Kulli Makan wa al-Zaman. Usaha Wahid Hasyim dalam menciptakan model Islam yang rasional tidak lain adalah upayanya untuk melakukan reformasi terhdap kajian-kajian keislaman yang kreatif dan bukan hanya sebagai pengulangan sejarah (tahshil al-Hashil).[3] Bukti konkret dari pendapatnya bahwa Islam sebagai Agama yang rasional, adalah inklusifitasnya terhadap ide-ide yang datang dari luar termasuk ide-ide Barat.[4] Kesadaran Wahid Hasyim serta tesanya bahwa Islam sebagai Agama rasional sebagai sistem berfikir moderen[5] yang merupakan responnya terhadap modernitas dalam konteks komederenan dan keindonesiaan.
[1] Ulya, “Anatomi Pemikiran Islam Modern: Telaah terhadap pemikiran Mukti Ali” dalam Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam,Vol. 4, No. 1, Januari 2004 (Ponorogo: STAIN Ponorogo), hlm. 14.
[2] Mohammad Rifa’i, Wahid Hasyim: Biografi Singkat 1914-1953...hlm.94-96.
[3] Hasan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid: Mawqifuna min al-Turats al-Qadim (Cairo: Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirasat wa al-Tawzi’, 1992), hlm. 96-105.
[4]Indikasi dari penerimaannya terhadap ide-ide Barat adalah tentang pimpinan dalam Islam dengan membagi pemimpin Islam, menurutnya:Pertama, pemimpin politik Islam yang umumnya berpendidikan Barat tapi tidak memiliki pengetahuan Agama yang cukup. Kedua, pemimpin Agama Islam, yakni para ulaama yang pada umumnya tidak mempunya pengetahuanumum dan politik. Sebab itu, Wahid Hasyim mengharapkan perguruan Tinggi Agama Islam tersebut mampu melahirkan cendikiawan yang tidak hanya mendalam ilmu pengetahuan Agama dan Umum serta takwanya kepada Allah, tetapi juga memahami persoalan-persoalan politik. Dengan demikian tidak akan terjadi adanya ulama yang karena tidak sadar menundukan ilmu pengetahuan pada politik. Saiful Umam, “K.H. Wahid Hasyim; Konsolidasi dan Pembelan Eksistensi” dalam Menteri- Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik ...hlm. 94.
[5] Thoha Hamim, Paham Keagamaan Kaum Reformis: Studi Kasus Pemikiran Moenawar Chalil(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hlm. 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.