Jumat, 17 Februari 2012

Sosiologi PembaharuanWahid Hasyim tentang Pemikiran Islam Indonesia


Sampai saat ini belum ada suatu pola sosial budaya yang dapat dipandang sebagai bentuk permanen keindonesiaan, baik sebagai sistem nilai maupun pranata. Dengan demikian untuk pertumbuhan, perkembangan, pertumbuhan dan masa depan Indonesia sendiri, umat Islam sebagai mayoritas diharapkan memberikan kontribudi dan tanggung jawabnya sesuai dengan posisi dan jumlahnya.[1] Dalam pada ini kesadaran sosiologis adalah bagian penting yang tidak bisa tidak untuk menjadi object matter dalam rangka menciptakan model yang sesuai atau khas Indonesia yang ditinjau secara sosiologis. Abdul Wahid Hasyim adalah salah satu tokoh Islam Indonesia yang layak untuk menjadi objek penelitian dalam rangka melakukan framing (pembingkaian) pemikiran besarnya berdasar perspektif sosiologis. 
Sebagai seorang tradisionalis, Abdul Wahid Hasyim meskipun terikat dengan kultur tradisi yang merupakan representasi dari NU (Nahdlatul Ulama) memiliki pemikiran yang sangat khas dimana isu kolaborasi antara tradisi dan komederenan menjadi tema penting yang sering diangkatnya.[2] Oleh karena itulah, pembacaan sosiologi pembaharuan pemikirannya dikemukakan disini melalui teori tertib sosial Weber, agar tidak terjadi justifikasi sepihak yang tidak adil.
Dalam Sosiologi Moderen yang diusung oleh Webber, adalah penting mengemukakan tentang usaha menampilkan tertib realitas sosial seorang pelaku masyarakat beserta penafsiran subjektif si pelaku sendiri. dengan metodologi interpretatif (Verstehende Sociology) sebagai sebuah kritik tajam terhadap keragaman positivisme yang tidak mengindahkan batasan si pelaku tentang realitas yaitu dengan mendesakkan sekehendak hatinya tafsiran dan kategori-kategori tentang realitas sosial itu. Untuk menindaklanjuti model ini maka penulis perlu untuk melakukan beberapa hal terkait dengan menyusun runutan sebagai berikut, tentang Islam dan perubahan di Indonesia, Menyusun fakta-fakta yang sudah diketahui tentang tokoh yang akan merangsang perhatian sosiologis.[3] Dalam pada ini, akan dapat diketahui sumbangan penting Abdul wahid Hasyim terkait gagasan-gagasan pembaharuannya terhadap persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh umat Islam, pemerintah dan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Isu-isu sentral yang hendak dibangunnya akan terlihat jika penelitian dilakukan dalam bingkai sosiologis, yaitu dengan menafsirkan ulang ide-ide pemikiran Abdul Wahid Hasyim, berikut adalah beberapa pokok pemikirannya yang memungkinkan untuk dielaborasi lebih jauh berdasarkan Sosiologi Weber. Berikut adalah ide-ide pembaharuan Wahid Hasyim dalam proses pembentukan model Islam Indonesia yang diinginkannya, sebagai arti penting dari Islam as model for Reality, untuk menghilangkan kesan dangkal pemahaman Agama, dengan menggunakan runutan Sosiologi Agama Weber, penulis akan mengurai beberapa sosiologi pembaharuan Islam Indonesia ala Wahid Hasyim dengan beberapa analisis tentang Islam Indonesia dan respon terhap perubahan, ketokohan Wahid Hasyim dan gagasan-gasan Praksisnya. Dalam masalah ini, perlu dikemukakan Islam dan responnya terhadap pembaharuan yang menjadi prasyarat teori sosial Weber.


[1] M. Syafi’i Anwar, “ Sosiologi Pembaruan Pemikiran Islam Nurcholish Madjid” dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 3, vol. IV. 1993
                                                              
[2] Sebagai tokoh tradisionalis akan dapat diketahui pemikirannya dalam ranah kultural yang ingin menciptakan sebuah tatanan moral terhadap perubahan perkembangan Islam Indonesia. Sebagai tokoh NU, sangat memungkinkan pemikiran Abdul Wahid Hasyim yang terpengaruh dari organisasi Islam tradisional yang berafiliasi aktif dengan negara dewasa ini. Inti dari tradisi tradisi keilmuan NU adalah perpautan organis antara tauhid, fiqh, tasawuf, secara tidak berkeputusan, yang dalam jangka panjang menumbuhkan pandangan tersendiri antara dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan. Yang paling disukai dilingkungan NU adalah ungkapan berikut: “ Hidup didunia sangatlah penting, kalau dijadikan persiapan untuk kebahagian akhirat, dan akan kehilangan artinya jika tidak diperlakukan seperti itu”. Perpautan dimensi duniawi dan ukhrawi dari kehidupan ini merupakan mekanisme kejiwaan yang berkembang dilingkungan NU untuk menghadapi tantangan sekularisme terang-terangan (blatant) yang timbul dari proses modernisasi.
[3] Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber(Jakarta: Rajawali, 1992 ), hlm. xiii-xiv. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.