Paham ‘kebebasan’ merupakan konsep yang sangat penting dalam worldview sekuler. Dalam pandangan paham ini jagad raya tidak mempunyai kewujudan dan makna rohani. Tidak ada alam rohani, alam arwah, alam malakut, jabarut. Tidak ada surga dan neraka. Dalam pandangan alam sekuler, semua nilai dianggap tidak memiliki watak sakral, suci, dan kekal abadi. Kegiatan dan tujuan politik hanya terbatas kepada kepentingan dunia saja, tidak ada ukhrawi. Serta alat untuk mencapai kesejahteraan duniawi ini hanyalah akal fikiran manusia dan saling membantu antara mereka.
Menurut Wan Daud, prinsip-prinsip ini disimpulkan setelah Barat melewati pengalaman yang amat memilukan dengan agama Kristen selama lebih seribu tahun. Pengalaman pahit ini kemudian digeneralisasikan sebagai suatu hukum tetap perkembangan manusia, seperti yang diungkapkan Max Weber dan lain-lain. Yakni, sebelum manusia mencapai tahap evolusi intelektual dan saintifik, mereka sangat memerlukan Worldview berbasis magis, kemudian yang berbasis agama untuk menguraikan segala fenomena alam dan menafsirkan jatuh bangun roda kehidupan yang tidak menentu.
Paham ‘kebebasan’ (liberty/freedom) secara resmi digulirkan oleh kelompok Free Mason yang mulai berdiri di Inggris tahun 1717. Kelompok ini kemudian berkembang pesat di AS mulai tahun 1733 dan berhasil menggulirkan revolusi tahun 1776. Patung liberty menjadi simbol kebebasan. Prinsip freedom dijunjung tinggi. Tahun 1789, gerakan kebebasan berhasil menggerakkan revolusi Perancis juga dengan mengusung jargon “liberty, equality, fraternity”. Pada awal abad ke-20, gerakan kebebasan ini menyerbu Turki Ustmani.
Paham ini kemudian merasuk ke jantung dunia Islam dan merusak tatanan syariah yang sudah mapan. Menurut Adian Husaini, secara sistematis liberalisasi Islam di Indonesia sudah dijalankan sejak awal tahun 1970-an. Secara umum, ada tiga bidang penting dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi, yaitu:
1. Liberalisasi bidang aqidah dengan penyebaran paham pluralisme agama
2. Liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, dan
3. Liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur’an
Dalam pembahasan epistemologi, salah satu pembahasan yang paling penting adalah mengenai jawaban dari sebuah pertanyaan: ”apa yang bisa diketahui?” Menurut Dr. Syamsuddin Arif, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, manusia dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah), memilih (ikhtiyaar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan menentukan (hukm) mana yang benar dan yang salah, yang haq dan yang baathil, yang sejati dan yang palsu, yang ma’ruf dan yang munkar, yang berguna dan yang berbahaya. Dengan kata lain, dalam epistemologi Islam, mengetahui itu tidaklah mustahil.
Hal ini berlawanan dengan pemikiran kaum Sofis yang cenderung relativistik. Menurut mereka, kebenaran itu relatif. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran oleh seseorang belum tentu dibenarkan oleh yang lain. Sebagian diantaranya bahkan mengatakan bahwa hanya Tuhan-lah yang mengetahui kebenaran, sedangkan manusia takkan pernah mencapai pengetahuan itu.
Sekularisme adalah aliran pemikiran yang sepenuhnya diimpor dari Barat. Oleh karena pengalaman masa lalu Barat yang dipenuhi dengan pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama, maka mereka pun membedakan antara science (ilmu pengetahuan) dan knowledge (pengetahuan). Ilmu-ilmu yang sifatnya fisik dan dapat dibuktikan secara empiris dimasukkan dalam kelompok science, sedangkan sisanya, termasuk ilmu agama, tidak dianggap ilmiah. Tidak heran jika dari pemikiran yang semacam ini muncul pemikiran bahwa untuk menjadi ilmuwan yang baik harus melepaskan diri dari agama.
Kaum sekuler seringkali beretorika dengan mengatakan bahwa karena agama itu tinggi, maka ia tidak dilibatkan dalam mengatur kehidupan manusia. Ungkapan ini sering dijadikan pembenaran untuk menjauhkan agama dari urusan-urusan sosial dan politik. Sebaliknya, Islam justru mengingatkan manusia akan ketinggian derajatnya sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, dan sebagai makhluk yang hanya boleh menghamba pada-Nya. Konsekuensinya, manusia diajarkan untuk mencintai segala hal yang baik, suci dan mensucikan, luhur dan terhormat. Oleh karena itu, agama justru dilibatkan dalam setiap aspek kehidupannya.
Para pengekor Barat di Indonesia secara terang-terangan mendukung sekularisasi Indonesia, bahkan secara nyata menyatakan persetujuannya pada kemaksiatan. Ulil Abshar-Abdalla, tokoh dari Jaringan Islam Liberal (JIL), telah menyatakan bahwa ”Islam liberal bisa menerima bentuk negara sekular... sebab, negara sekular bisa menampung energi kesalehan dan energi kemaksiatan sekaligus.” Dengan demikian, persetujuan terhadap negara sekuler ternyata berdampingan dengan sikap membiarkan kemaksiatan; sebuah sikap yang sangat tercela bagi seorang Muslim.
Jika sekularisme mencegah agama memasuki ranah sosial-politik, maka liberalisme memaksanya untuk tetap dalam ruang privat. Kebebasan manusia untuk memeluk agama sesuai keyakinannya masing-masing, yang diyakini sebagai hak asasi manusia, ditarik lebih jauh lagi sehingga agama itu sendiri tak memiliki batasan yang jelas. Konkretnya, setiap orang bebas menyatakan dirinya menganut agama apa saja, baik mengikuti secara konsekuen agama-agama yang ada, memodifikasi agama untuk dirinya sendiri, atau bahkan menciptakan agama yang benar-benar baru.
Menurut kalangan sekularis-liberalis, tidak ada orang yang berhak menentukan mana agama yang benar dan mana yang salah. Setiap penafsiran keagamaan harus dianggap relatif. Oleh karena itu, mereka selalu membela aliran-aliran sesat seperti Ahmadiyah dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.