Kamis, 13 Oktober 2011

Guru Utama sebagai Puncak Karier Guru

Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan perhatian pada pendidik atau guru patut diapresiasi. Setelah hak dan kewajiban guru semakin jelas menyusul keluarnya Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyatakan bahwa guru adalah tenaga profesional dengan berbagai implikasinya, kini pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional mengeluarkan kebijakan baru tetang karier guru, yakni guru bisa mencapai jenjang karier puncak akademik layaknya guru besar di perguruan tinggi, yakni dengan menjadi GURU UTAMA. Dengan kebijakan baru ini, jenjang karier tertinggi guru tidak lagi terbatas menjadi kepala sekolah atau pun pengawas, tetapi seorang guru mata pelajaran, termasuk guru bimbingan konseling bisa meniti karier puncak hingga menjadi guru utama. Kabarnya kebijakan tersebut sudah memperoleh persetujuan Menpan (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) dan BKN (Badan Kepegawaian Negara). Karena itu, sekarang tinggal tahap sosialisasi dan merumuskan ketentuan teknis yang mengatur implementasinya.

Bagi para guru, kebijakan tersebut juga patut disambut gembira dan disyukuri. Sebab, selama ini karier tertinggi guru adalah menjadi kepala sekolah. Jika tidak bisa menjadi kepala sekolah atau pengawas, guru tidak akan bisa menggapai karier yang lebih tinggi hingga pensiun. Padahal, tidak sedikit guru yang berkualitas, berdedikasi tinggi dan bekerja dengan penuh integritas untuk memajukan pendidikan di Tanah Air. Mereka adalah orang-orang yang terpanggil hatinya untuk mendarmabaktikan hidupnya untuk menjadi pendidik. Karena itu, sayang jika karier mereka berhenti hanya karena tidak ada payung regulasi yang mengakomodasi mereka untuk maju. Beberapa guru memang ada yang bernasib baik dengan menjadi pejabat di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan setempat, atau ada yang terjun ke politik dan menjadi anggota dewan, kepala daerah, seperti bupati atau walikota. Tetapi jumlahnya sangat sedikit. Jumlah kepala sekolah juga sangat terbatas, sehingga meniti karier hingga menjadi kepala sekolah bukan pekerjaan gampang. Lebih-lebih di era seperti sekarang ini, menjadi kepala sekolah tidak cukup hanya dengan bermodalkan prestasi akademik, misalnya menjadi guru teladan, guru berprestasi, guru idola, pemenang lomba karya ilmiah dan sebagainya. Guru mesti “kenal” atau setidaknya “dikenal” oleh penguasa di daerahnya.

Dengan adanya kesempatan menjadi guru utama, maka guru yang tidak tertarik pada jabatan struktural seperti menjadi kepala sekolah atau setidaknya wakil kepala sekolah atau karena alasan tertentu tidak bisa menjadi kepala sekolah bisa fokus pada pengembangan akademik untuk mengejar karier menjadi guru utama. Dengan menjadi guru utama, guru bisa fokus dan berkonsentrasi pada peningkatan kompetensi bidang studi yang diajarkan sehingga guru benar-benar menjadi tenaga profesional. Sebagai tenaga profesional, guru tidak boleh lagi mengajar bidang studi yang bukan bidangnya. Guru yang mengajar bidang studi yang tidak dikuasai sebenarnya menjadikan siswa sebagai korban terselubung dari praktik pendidikan. Ini sangat berbahaya karena seolah-olah guru telah menjalankan tugas pendidikan untuk mempersiapkan masa depan siswa, tetapi sejatinya dia belum berbuat apa-apa, malah menjerumuskan masa depan para siswanya. Mengapa? Karena menerima pelajaran dari pendidik yang tidak tepat. Lebih celaka lagi jika ilmu yang diberikan itu salah, karena pengetahuan guru yang tidak memadai. Karena itu, para pimpinan sekolah mesti memberikan perhatian pada masalah tersebut. Jika membuat kebijakan guru mengajar bukan bidang yang dikuasai, apalagi memaksanya, maka kepala sekolah punya andil besar menciptakan pendidikan tidak bermutu. Guru adalah garda terdepan pendidikan. Di pundak mereka, kualitas pendidikan dipertaruhkan.

Kompas beberapa waktu lalu memberitakan bahwa akibat kebijakan sertifikasi di mana guru harus mengajar minimal 24 jam per minggu, banyak guru kekurangan jam mengajar. Untuk memenuhi jam wajib tersebut, terpaksa guru diberi tugas mengajar bidang studi apa saja asal dapat memenuhi jumlah jam wajib tersebut. Misalnya, pengajar sosiologi diambil dari guru sejarah, atau pendidikan kewarganegaraan. Pengajar bahasa Inggris diambil dari guru yang pernah kursus bahasa Inggris. Guru fisika diminta mengajar matematika karena kekurangan jam wajib, dan sebagainya. Mereka sering disebut “guru salah kamar” yang semakin menjauhkan dari cita-cita pendidikan bermutu.

Jika praktik tersebut terus berlangsung dan pemenuhan jam wajib mengajar lebih diutamakan daripada menugaskan guru mengajar sesuai bidang keahliannya, maka apa pun kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan tercapai. Sebab, saya sangat yakin bahwa guru adalah segalanya. Di antara delapan standar komponen pendidikan, guru menempati posisi paling penting. Keberadaan komponen yang lain seperti sarana, isi, manajemen, evaluasi, proses, input, dan beaya, tidak sepenting guru. Di tangan guru, maju mundurnya pendidikan ditentukan. Di tangan guru yang berkualitas unggul, pendidikan bermutu akan bisa diraih. Sebaliknya, di tangan guru yang tidak berkualitas, pendidikan bermutu hanya impian, bagaimana pun hebatnya komponen-komonen yang lain. Sekali lagi, pendidikan bermutu hanya akan lahir dari guru bermutu.

Karena itu, kebijakan tentang guru utama harus dipandang sebagai upaya peningkatahn mutu pendidikan melalui peningkatan karier guru. Persoalannya adalah apakah untuk mencapai jenjang karier puncak tersebut, guru harus juga mengumpulkan angka kredit melalui kegiatan-kegiatan akademik sebagaimana dosen, yakni mengajar, meneliti dan melakukan pengabdian kepada masyarakat yang lazim disebut sebagai tri dharma perguruan tinggi? Jika iya, harus ada perubahan paradigma berpikir mengenai siapa sejatinya guru. Selama ini guru didefinisikan sebagai tenaga pendidik dengan hak otonom akademik yang sangat terbatas, tidak seperti dosen yang hak otonom akademiknya begitu luas. Seorang Rektor sekalipun tidak bisa mempengaruhi hak dosen memberikan penilaian kepada mahasiswanya. Selain itu, guru juga tidak dituntut untuk melakukan tugas pengabdian kepada masyarakat. Jika ada, itu karena kesenangan guru yang bersangkutan, bukan karena tugas akademik.

Tetapi menurut Wakil Mendikas, Prof. Fasli Djalal, untuk menjadi guru utama, guru harus memenuhi angka kredit yang dikumpulkan secara benar. Selain untuk merefleksikan prestasi guru tersebut dalam fungsi keguruan, angka kredit tersebut membuat organisasi profesi guru, jurnal-jurnal ilmiah, dan karya tulis ilmiah, menjadi penting. Pemeritah juga akan memfasilitasi agar guru mampu melakukan penelitian, terutama penelitian tindakan kelas, dan kegiatan akademik lainnya seperti seminar, lokakarya, simposium da sejenisnya. Dengan aktivitas seperti itu, guru layaknya dosen.

Persoalannya adalah menyangkut tunjangan profesi. Jika Guru Utama sama dengan Guru Besar di perguruan tinggi, apakah Guru Utama juga akan memperoleh tunjangan profesi sebesar tiga kali gaji pokok seperti halnya Guru Besar? Sebagaimana diketahui, seorang Guru Besar selain menerima tunjangan profesional otomatis (tanpa sertifikasi) sebesar satu kali gaji pokok, juga menerima tunjangan kehormatan sebesar dua kali gaji pokok, sehingga secara keseluruhan seorang Guru Besar menerima tiga kali gaji pokok setiap bulan. Karena tunjangannya cukup besar, maka selain tugas pokoknya, Guru Besar diberi tiga tugas tambahan, yakni melakukan penelitian, pembinaan akademik kepada dosen-dosen yunior, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan yang dikuasai. Asumsinya adalah Guru Besar adalah seorang pakar di bidang ilmu tertentu dan merupakan jabatan akademik puncak yang diperoleh lewat proses penilaian akademik yang panjang.

Jika gaji Guru Utama bisa disetarakan dengan gaji Guru Besar, maka profesi guru akan semakin diminati oleh para anak bangsa terbaik. Guru akan menjadi pekerjaan pilihan, bukan pekerjaan yang diperoleh setelah pekerjaan yang lain gagal. Selain mulia, profesi guru akan sangat terhormat. Selain itu, keinginan guru untuk melimpah ke perguruan tinggi tidak akan terjadi lagi. Sebab, selama ini banyak guru yang sudah diberi beasiswa S2 dan lulus menjadi magister mengajukan mutasi menjadi dosen. Padahal, mereka diberi beasiswa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekokah di mana mereka mengajar. Martabat orang bukan ditentukan oleh tempat di mana dia bekerja, melainkan pada peran dan kontribusi yang telah diberikan kepada masyarakat luas. Menjadi guru yang berprestasi jauh lebih bermartabat daripada menjadi dosen yang tidak banyak berbuat bagi masyarakat luas. Islam mengenal konsep “khoirunnĂ¢s anfa’uhum linnĂ¢s”, artinya “Sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.

Sebuah kebijakan masih memerlukan ketentuan teknis yang menyertainya. Saat ini political will dari pemerintah sudah jelas. Maka yang diperlukan adalah bagaimana merealisasikan kebijakan tersebut agar guru bisa menjadi profesional dengan karier terbaik dengan pendapatan terbaik. Dengan begitu, mereka akan bekerja dengan baik. Tidak ada lagi guru melakukan pekerjaan lain, sehingga guru menjadi sambilan. Tetapi persoalan guru di Indonesia memang kompleks, tidak saja mencakup kualitas tetapi juga penyebaran guru yang tidak merata (sebagian besar menumpuk di Jawa), penggantian guru yang pensiun dalam waktu dua hingga tahun mendatang, persoalan kompetensi, dan menjamin agar guru mengajar bidang yang dikuasainya sebagai wujud guru adalah tenaga profesional sesuai amanat undang-undang. Selamat kepada bapak dan ibu guru!. Kita sambut kebijakan pemerintah tersebut dengan terus bekerja keras sambil menunggu ketentuan teknis pelaksanaannya lebih lanjut.
_________

Malang, 28/7/2011
sumber:http://mudjiarahardjo.com/artikel/357-guru-utama-jenjang-menuju-karier-puncak-guru-.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.