Pada masa lalu prinsip yang digunakan dalam menjamin kemampuan daerah otonom membiayai otonominya ialah function follows money (tugas dan kewenangan mengikuti sumber pendapatan daerah). Artinya, makin tinggi kemampuan daerah mendapatkan pendapatan asli daerah, makin besar tugas dan kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom tersebut. Penerapan prinsip seperti ini tidak saja dinilai terlalu mengedepankan faktor ekonomi (efisiensi) dan mengabaikan faktor kultural dan politik tetapi juga dinilai telah menyebabkan eksploatasi ekonomi (terlalu banyak pungutan) terhadap warga daerah demi PAD. Selain itu, penerapan prinsip seperti itu tanpa disertai penyerahan kewenangan mendapatkan pendapatan kepada daerah otonom tidak saja menyebabkan kepincangan antara Pusat dan daerah tetapi juga antar daerah. Kenyataan seperti inilah yang antara lain menjadi penyebab kemunculan tuntutan di sejumlah daerah penghasil devisa negara untuk merdeka, federasi, ataupun otonomi seluas-luasnya.
Untuk merespon fenomena seperti ini, prinsip yang diterapkan dalam UU Pemda yang baru ini bukan lagi function follows money melainkan money follows function. Artinya, pertama-tama sejumlah jenis tugas dan kewenangan yang dipandang sangat penting dan/atau sangat bermanfaat (necessary) ditangani daerah otonom diserahkan kepada daerah otonom. Apa saja yang seharusnya atau lebih efisien ditangani Pusat harus ditangani Pusat sedangkan selebihnya diserahkan kepada daerah otonom. Kewajiban pemerintah pusat dalam negara kesatuan untuk menjamin sumber keuangan untuk membiayai otonomi tersebut. Untuk menjamin sumber keuangan bagi daerah otonom, Pemerintah harus menjamin perimbangan keuangan Pusat dengan daerah. Perimbangan ini dapat ditempuh melalui salah satu dari dua metode berikut :
Pertama, perimbangan keuangan yang ditempuh dengan cara penetapan persentase tertentu bagi daerah otonom dari jenis penerimaan Pusat. Misalnya, dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPn) yang diperoleh Pusat di suatu daerah otonom, maka daerah otonom akan menerima sebesar 25 persen.
Kedua, perimbangan keuangan yang ditempuh dengan cara pembagian kewenangan mencari sumber pendapatan antara Pusat dan daerah otonom. Misalnya, kewenangan menarik Pajak Penghasilan ditangani Pusat tetapi kewenangan menarik Pajak Penjualan (sales tax) atau Pajak Barang Mewah diserahkan kepada daerah otonom.
Metode yang pertama diadopsi dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD), sedangkan metode kedua diadopsi dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang baru. UU PKPD membedakan Dana Perimbangan menjadi tiga kategori : Pertama, bagian/ persentase tertentu yang diterima daerah otonom dari sejumlah Pajak Pusat dan penerimaan Pusat, yaitu PBB, Bea Balik Nama Pemilikan Tanah, penerimaan kehutanan, penerimaan perikanan, penerimaan pertambangan umum, dan penerimaan migas. Kedua, Alokasi Umum (block grant) sebesar 25% dari APBN yong diberikan kepada daerah otonom berdasarkan sejumlah indikator seperti luas wilayah, jumlah penduduk, dan indikator kualitas hidup manusia. Dana ini dimaksudkan demi pemerataan tetapi penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada DPRD dan Pemerintah Daerah. Dan ketiga, Alokasi Khusus (spesific grant) yang penggunaannya sudah ditentukan oleh Pusat dalam APBN. UU Pemda menetapkan sumber pendapatan daerah sebagai terdiri atas Pajak dan Retribusi Daerah seperti yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997, Perusahaan Daerah, Pinjaman dan Obligasi Daerah, Sumber Pendapatan lain yang sah, dan Dana Perimbangan. Selain itu, UU Pemda yang baru juga menetapkan ketentuan no mandating without funding. Artinya, setiap penugasan dalam rangka medebewin (pembantuan) kepada daerah otonom harus disertai sarana, anggaran, dan personilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.